MAKALAH DALALAH - الفروق والمساحات الدلالية || PASCA IAIN IB



الفروق والمساحات الدلالية

A.    Pendahuluan
Bahasa merupakan salah satu dari berbagai tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT yang dijadikan sarana untuk menciptakan ketenangan dan kedamaian bagi segenap makhluk ciptaan-Nya. Bahasa ditinjau dari sisi historicalnya merupakan ilham suci dari Allah sang Maha Pencipta yang Dia sampaikan langsung kepada Nabi Adam AS.
Ditinjau dari segi peranannya, bahasa merupakan alat komunikasi antara sesama makhluk untuk menginformasikan apa yang mereka pikirkan dan rasakan.
Studi seputar ilmu bahasa dan peranannya adalah sebuah kajian yang memiliki bahasan  yang sangat luas dan tajam. Disamping meneliti dan mengkaji tentang partikalnya, bahasa juga memiliki sisi lain yang masih memerlukan penelaahan yang mendalam. Seperti halnya pembahasan tentang al-Furuq al-Lughawiyah dalam bahasa Arab pada umumnya dan di dalam al-Qur’an pada khususnya.
Al-Furuq al-Lughawiyah adalah sebuah materi terpenting dalam ilmu bahasa yang dimunculkan pertama kali oleh para ahli bahasa dari kelompok yang tidak menyetujui adanya taraduf dalam bahasa Arab. Pembahasan al-Furuq al-Lughawiyah (perbedaan kata dalam makna dan penggunaannya), sangat memiliki keistimewaan sendiri, yang dengan menyelaminya seseorang akan sampai kepada maksud dan makna sebenarnya dari sebuah kata, serta dengan menguasainya seseorang akan mampu menganalisa perbedaan yang jelas dari beberapa kata yang kelihatannya serupa, sehingga ia tidak akan pernah keliru lagi dalam penggunaan dan pemilihan kosa kata dalam bahasa komunikasi yang digunakannya.
Pada  makalah ini akan dibahas tentang:
1.     Pengertian al-Furuq al-Lughawiyah wa Dalalah   
2.     Sejarah Munculnya Istilah al-Furuq al-Lughawiyah
3.     Biografi Abu Hilal Al-Askari.
4.     Hal-Hal Yang Menyebabkan Terjadinya Perbedaan Makna pada Beberapa Lafazh yang Kelihatannya memiliki Makna yang Serupa.
5.     Beberapa Contoh Tentang al-Furuq al-Lughawiyah dan Cakupan Dalalahnya.

B.    PEMBAHASAN
1.     Pengertian Al-Furuq al-Lughawiyah
Istilah al-Furuq al-Lughawiyah ini merupakan sebuah istilah yang terbentuk dan tersusun dari penggabungan dua kata, yaitu kata al-Furuq dan kata al-Lughah. Kata al-Furuq( الفروق ) adalah bentuk jama’ taksir dari kata al-Farq( الفرق ) yang berarti al-Fashli wa al-Tamyiz (memisahkan dan membedakan). Dikatakan:  فرق بين المتشابهين      فلان (Fulan menjelaskan sisi perbedaan antara dua hal yang serupa).[1]
Sedangkan kata al-Lughah secara etimologi berasal dari susunan tiga huruf hijaiyyah. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ia terdiri  huruf ل, غ , و, ada pula yang mengatakan bahwa ia berasal dari huruf, ي     . , غ     ل
Ibnu Manzhur melihat bahwa kata lagha-yalghu-laghwan wa laghan secara bahasa memiliki arti sesuatu yang gugur dan tidak diperhitungkan atau tidak  memiliki manfaat sedikitpun. Baik berupa ucapan maupun hal lainnya.[2]
Imam Al-Azhary mengatakan  bahwa kata al-laghwu, al-lagha atau al-laghwa berarti sebuah ucapan yang tidak berasal dari dalam hati dan tidak terniat untuk mengucapkannya.[3]
Al-Laghwu dalam masalah sumpah sebagaimana tertera dalam firman Allah SWT:
žw ãNä.äÏ{#xsムª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏY»yJ÷ƒr& `Å3»s9ur Nä.äÏ{#xsム$oÿÏ3 ôMt6|¡x. öNä3ç/qè=è% 3 ª!$#ur îqàÿxî ×LìÎ=ym ÇËËÎÈ  
225. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun[140].
                                                                                         
[140] Halim berarti penyantun, tidak segera menyiksa orang yang berbuat dosa.
Imam an-Nawawi menjelaskan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda:
إذا قلت أنصت و الإمام يخطب فقد لغوت . رواه أبو داود.[4]
Artinya: Jika engkau mengatakan “diamlah” ketika imam sedang berkhutbah maka sesungguhnya engkau telah melakukan  al-laghw. (H.R. Abu Daud).
Bahwa yang dimaksud dengan al-laghwa pada hadits ini adalah perkataan yang bathil, tidak dibenarkan, tidak wajar, merusak ibadah dan tertolak.[5]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kata al-Lughah secara etimology berarti sesuatu yang jujur, tidak diperhitungkan, bathil, rusak, menyimpang dan tidak memberi manfaat, baik dari perkataan maupun hal lainnya.
Adapun secara terminologi, Imam al-Jurjaniy menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kata al-Lughah adalah:
ما يعبر بها كل قوم عن أغراضهم.[6]                                                    
"Adalah ungkapan yang digunakan setiap kelompok kaum untuk mengutarakan maksud dan tujuan mereka.
Demikian juga Ibnu Jinni mendefinisikan kata al-lughah, dia mengatakan bahwa al-lughah itu adalah:
أصوات يعبر بها كل قوم من أغراضهم .[7]                                                      
“Yaitu suara yang digunakan suatu kaum untuk mengutarakan    maksud dan tujuan mereka”.
Sedangkan Ibrahim Anis mendefinisikan al-lughah (اللغة   ) yaitu:
عرفي لرموز صوتية يستغلها الناس في الإتصال بعضهم ببعض .[8]  نظام
“Susunan adat (‘uruf) untuk rumus suara yang dipergunakan oleh manusia dalam berhubungan satu sama lain”.
Kata al-Lughawiyyah merupakan bentuk na’at dari kata al-Furuq yang berada sebelumnya. Ia merupakan na’at jamid dengan cara menambahkan huruf ya nisbah pada akhir katanya.
Dengan menggabungkan pengertian dari dua kata di atas dapat kita jelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Furuq al-Lughawiyyah adalah perbedaan yang terdapat pada beberapa kata alam satu bahasa serta perbedaan pemakaiannya yang kelihatan serupa atau berdekatan dari segi makna, sehingga dapat menghantarkan seseorang kepada keputusan bahwa sebagian kata merupakan penjelasan atau pengkhususan bagi kata lain yang berdekatan makna dengannya.
Sedangkan pengertian Dalalah/ Dilalah ( الدلالة ) ada dua istilah yang harus dipahami yaitu al-Dal ( الدال ) dan al-Madlul ( المدلول ). Al-Dal adalah Lafazh, Al-Madlul adalah Makna Lafazh.[9]
Contoh: الصلاة  (shalat) ini namanya al-dal, dan madlulnya adalah adalah do’a (makna bahasa/ lughawi).
Dengan melihat dari pengertian di atas maka dalalah adalah:
الدلالة هي فهم امر من امر ويسمى الأمر الاول مدلولا والامر الثانى دالا
“Dalalah adalah proses pemahaman sesuatu dari sesuatu yang lain, sesuatu yang pertama disebut madlul (yang ditunjuk), sedangkan yang kedua disebut dal (yang menunjuk).
Al-Jurjaniy mendefinisikan dilalah:
الدلالة هي كون الشيء بحالة يلزم من العلم به العلم بشيء آخر ،و الشيء الأول هو الدال ،                                و الثاني هو المدلول .[10]                                                                           Dilalah adalah keadaan sesuatu dengan hal yang melazimi dari ilmu, yang dengan ilmu itu juga melazimi sesuatu yang lain. Sesuatu yang pertama disebut al-Dal, dan sesuatu yang kedua disebut al-Madlul.

2.     Sejarah Munculnya Istilah al-Furuq al-Lughawiyah         
Istilah al-Furuq al-Lughawiyah ini muncul sebagai reaksi terhadap perselisihan pendapat tentang adanya taraduf (persamaan makna kata) dalam bahasa Arab. Taraduf adalah sebuah istilah yang digunakan untuk mengungkapkan satu benda yang memiliki banyak nama. Menurut bahasa taraduf (synonyme) berarti kata yang berbeda lafazhnya namun memiliki makna yang sama atau pemakaian yang bermacam-macam kata untuk suatu pengertian.[11] Taraduf berasal dari kata ردف setimbangan  تفاعل dengan makna musyarakah. Sedangkan menurut istilah, taraduf memiliki beberapa pengertian. Diantaranya:
a.      Menurut al-Jurjani ada beberapa definisi taraduf, yaitu:
·       Taraduf ialah sesuatu yang berarti satu tetapi maknanya banyak.
·       Taraduf ialah suatu ungkapan yang memiliki satu pemahaman.
Al-Jurjani menyebutkan bahwa hal ini dinamakan taraduf karena ia memiliki nama yang banyak untuk menunjukkan satu makna.

b.     Menurut Imam Fakhruddin, taraduf ialah lafazh tunggal yang memiliki satu pengertian. Pendapat lain mengatakan bahwa taraduf ialah satu makna dan berbeda lafazhnya.[12]

Dalam menyingkapi perbedaan pandangan seputar keberadaan taraduf ini dalam bahasa Arab dan dalam al-Qur’an para pakar linguistik Arab terbagi menjadi dua kelompok yang berseberangan pendapat, ada yang menyetujui dan mengakui bahwa taraduf adalah bukti kekayaan kosa kata Arab. Dan yang mengingkari keberadaannya sehingga mereka melahirkan sebuah kajian baru sebagai tandingannya, mereka namakan dengan istilah al-Furuq al-Lughawiyyah (perbedaan pemakaian kata dan maknanya dalam bahasa.). Salah seorang tokohnya yang terkenal adalah Abu Hilal al-Askari dalam kitabnya “Mu’jam al-Lughawiyyah.

3.     Biografi Abu Hilal Al-Askari
Abu Hilal al-Askari adalah salah seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam ilmu bahasa, sastra serta ilmu-ilmu lain yang banyak ia tuangkan dalam karya-karyanya. Al-Askari secara detail menjelaskan tentang adanya perbedaan antara dua kata berbeda yang mempunyai arti satu. Nama lengkap beliau adalah Al-Hasan bin ‘Abdillah bin Sahl bin Sa’id bin Yahya bin Mihran Abu Hilal al-‘Askari,  dinisbahkan kepada “Askari Mukaram” dari Kuri al- Ahwazi.[13] . seorang ahli bahasa di zamannya. Karangan beliau sangat banyak, ini semua menunjukkan kehebatannya dalam beberapa ilmu, khususnya ilmu sastra dan bahasa. Diantaranya karangan beliau adalah: al-Talkhis fil-Lughah, Mu’jam fil-Lughah, al-Has ‘ala Thalabi al-‘Ilmi, Kitab al-Shina’ataini: al-Nazham wan-Natsar (Kitab termasyhur diantara kitab-kitabnya), Syarah al-Himasah, al-Awail, al-Farqu Baina al-Ma’aniy, Al-Furuqu fil Lughah, dan lain-lainnya.[14] Dapat kita baca dalam kitab al-Furuqu al-Lughawiyah.
Tahun wafatnya tidak diketahui secara persis, namun beliau  diketahui masih hidup sampai tahun 395 H (1005 M). Sedang penyusun Furuq al-Lughat adalah Sayyid Nuruddin bin Sayyid Ni’matullah al-Jaza’iri, wafat tahun 1158 H.[15]

4.     Hal-hal yang Menyebabkan Terjadinya Perbedaan Makna Pada Beberapa Lafazh yang Kelihatannya Memiliki Makna yang Serupa.
Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya perbedaan makna kata dan perbedaan pemakaiannya di dalam bahasa Arab, diantaranya :
a)     Perbedaan pada tarkib huruf yang dimiliki oleh beberpa lafazh yang berdekatan makna, seperti kata رجس yang berkaitan dengan amaliyyah dan نجس yang berkaitan dengan zat.
b)     Perbedaan pada keberadaan mad yang ada di beberapa kata, seperti perbedaan makna جاء yang berarti datang dengan pelan, dan kata أتى yang berarti datang dengan segera.
c)     Perbedaan pada shighat dari satu lafazh yang sama, seperti lafazh أنزل yang bermakna ta’diyah fi daf in wahid, dan lafazh نزل yang bermakna ta’diyah taktsiriyyah.
d)     Perbedaan pada dalalah yang dimiliki oleh masing-masing lafazh, seperti kata  الظهر  صلاة  yang berarti ibadah ritual umat Islam dengan kata  الصلاة النبى  على yang berarti rahmat.
e)     Perbedaan pada idiom kata, seperti kataفى   رغب yang berarti suka danعن   رغب yang berarti benci.[16]
5.     Beberapa Contoh Tentang al-Furuq al-Lughawiyah dan Cakupan Dalalahnya.
Contoh-contoh tentang al-Furuq al-Lughawiyah dan cakupan dalalahnya telah beliau jelaskan dalam karangan beliau yaitu kitab “Al-Furuq al-Lughawiyah yang mencakup 30 bab dilaliyah. Diantara contoh-contoh tersebut adalah:[17]
1)     Perbedaan antara الدعاء  dan اانداء
النداء هو رفع الصوت بماله معنى                                                 
“Al-Nida’” adalah mengangkat/ meninggikan suara dengan tidak ada baginya makna.
Dan orang Arab berbicara kepada sahabatnya:  ناد معي karena itu ia menyeru dengan suara, artinya  أبعد له  (lebih jauh baginya). Sedangkan :  الدعاء adalah:
 برفع الصوت و خفضه                                                                         
“Doa” adalah mengangkat/ meninggikan suara dan merendahkannya. Contoh: دعوته من بعيد  (Aku menyerunya dari jauh), dan   في نفسي  الله  دعو ت (Aku berdo’a kepada Allah dalam diriku). Dan tidak dikatakan orang  ناديته في نفسي

2)     Perbedaan antara Najwa (  النجوى ), dan Sirru (  السر   )
النجوى اسم للكلام الخفي الذي تناجي به صاحبك كأنك ترفعه عن غيره  .              
“An-Najwa” adalah  nama untuk perkataan yang tersembunyi di            mana engkau berbisik-bisik dengan sahabat engkau seolah-olah engkau mengangkatkan suara dari lainnya. Contoh lain adalah من الأرض  ة ةالنجو, Dan dinamakan pembicaraan Allah Ta’ala dengan Nabi  Musa As. Munajah, karena perkataannya tersembunyi dari lainnya.
Sedangkan Sirru (السر  ) adalah:       إخفاء الشيء في النفس                      “As-Sirru” adalah menyembunyikan sesuatu dalam diri/ jiwa. Dan jika tersembunyi disebabkan tutup atau di belakang dinding itu bukanlah dinamakan sir (سر  ).
 سري عند فلانويقال, ia menginginkan sesuatu itu tersembunyi dalam dirinya, dan tidak dikatakan:  اي عندهنجو
النجوى terbentuk dalam jumlah, sesuatu yang ia bisikkan berupa perkataan. Sedangkan السر adalah pemahaman maknanya. Terkadang-kadang ada sir pada ghairu ma’ani yaitu majaz, seperti:
فعل هذا سرا .وقد أسر الأمر . Dan An-Najwa tidak ada terjadi kecuali melalui perkataan.
3)     Perbedaan antara al-Ikhtira’ ( الإختراء) dengan al-Ibtida’ (الإبتداء  )
Al-Ibtida’ adalah mewujudkan sesuatu yang belum ada padanan semisalnya sebelum itu. Dikatakan abda’a fulan, jika dia mendatangkan sesuatu yang asing. Dikatakan pula abda’ahullahu, maka dia adalah mubdi’ dan badi’ ( yang menciptakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya). Sebagaian orang mengkhususkan makna alibtida’ sebagai : mewujudkan ( sesuatu ) tanpa sesuatu sebab. Sedangkan Al-Ikhtira’ adalah mewujudkan ( sesuatu ) tanpa bahan dari sesuatu yang lain.
4)     Perbedaan antara Al-bar’u dan Al –khalqu. Al-bar’u adalah memilah atau membeda-bedakan bentuk (fisik) mereka mengatakan bara’allahu al-khalqa artinya allah memililah atau membeda-bedakan bentuk makhluknya. Sedangkan al –khalqu secara bahasa berarti menentukan ukuran atau mengatur bentuk. Dikatakan : khalaqtul adim ( saya mengatur kulit ) jika saya mengaturnya menjadi sepatu atau benda lainnya. Dikatakan khaliqa ats-tsaubu dan akhlaqa ats-tsaubu ( baju menjadi usang ) jika tidak tersisa dari baju itu selain bentuknya saja.
5)     Perbedaan antara al-‘amal dengan al-Ja’lu.
Al-‘amal adalah mengadakan pengaruh/ efek pada sesuatu. Dikatakan fulan ya’malu ath-thiina khazafan ( si fulan mengerjakan tanah menjadi forselen). Sedangkan al-Ja’lu adalah mengubah bentuknya dengan mengadakan suatu pengaruh/ efek padanya dan juga dengan selainnya.
6)     Perbedaan antara al-Fathru dan al-Fi’lu. Al-Fathru adalah menampakkan sesuatu yang baru dengan mengeluarkannya dari ketiadaan kepada keberadaan/ wujud, seakan-akan dibelah sehingga menjadi terlihat. Seperti: Tafaththara asy-syajar, bila dia terbelah dengan (mengeluarkan) daun-daunan; fathartul inaa’a artinya saya memecahkan wadah itu; fatharallahu al-khalqa artinya Allah menampakkan makhluk dengan mengadakan mereka, sebagaimana tampaknya dedaunan bila pohon membelah dirinya (sehingga dedaunan bersemi darinya). Sedangkan Al-Fi’lu adalah ungkapan yang menyatakan sesuatu yang didapati dalam suatu keadaan dimana sebelumnya hal itu telah diatur, baik berasal dari suatu sebab tertentu maupun tidak.
7)     Perbedaan antara al-Kasbu (usaha) dan al-Khalqu.
Al-kasbu adalah perbuatan yang kembali kepada pelakunya sendiri, entah bermanfaat atau membahayakan. Sebagian orang mengatakan bahwa al-Kasbu adalah apa yang terjadi melalui latihan dan perlakuan tertentu. Dan al-Khalqu sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.[18]

C.    PENUTUP

Al-Furuq al-Lughawiyah lahir sebagai reaksi terhadap ketidak sepakatan  para ahli bahasa Arab tentang keberadaan taraduf  dalam bahasa Arab dan dalam al-Qur’an. Kajian tentang al-Furuq al-Lughawiyah dapat mengantarkan seseorang kepada makna yang sebenarnya yang dimiliki oleh masing-masing kata.
Dengan mempelajari al-Furuq al-Lughawiyah ini dapat membantu kita menemui perbedaan mendasar yang dimiliki oleh masing-masing kata dalam bahasa Arab dan dalam al-Qur’an, sesuai dengan dalalahnya.
Dari contoh-contoh yang telah dijelaskan di atas dapat kita pahami bahwa jika ada dua kata yang berbeda tapi berdekatan arti maka maknanya tetap harus berbeda. Jadi memang tidak ada kata-kata yang benr-benar mempunyai arti yang sama persis. Sehingga tidak selalu memungkinkan digunakan untuk sebuah konteks kalimat yang sama.










DAFTAR PERPUSTAKAAN
Al ‘Arabiyah, Mujamma’al Lughah, al-Mu’jam al Wasith, Mesir: Maktabah al-
            Syuruq al-Mishriyyah, 2004

Abi Daud, Shahih Sunan, Kuwait: Dar al-Gharas, 2002, Jilid IV
Abdul ‘Alim al-Barkawiy, Abdul Fathah, Madkhal Ila ‘Ilmi al-Lughah al-Hadits,
Kairo: Darul Kutub, 2002, Cet. Ke- 3

Al-Dayah, Fayaz, Ilmu al-Dalalah al-Araby Baina al-Nazhariyy wa al-Tathbiqi,
Dar al-Fikr, 1996

Al-Hamid, Muhammad bin Ibrahim, Fiqh al-Lughah, Riyadh: Darul Ibnu
Khuzaimah, 1986

Abi Hilal al-Askari, Al-Imam al-Adib al-Lughawiy ditahqiq oleh ‘Imad Zakiy al-
Barudiy, Al-Furuqu al-Lughawiyah, Kairo: Dar al-Taufiqiyah lil Turas, 2010

Al-Sya’rawiy, Muhammad Mutawalla, Tafsir al-Sya’rawiy, Kairo: Dar al-Fajr,
2001

Manzhur, Ibnu, Lisan al-Arab, Kairo: Dar al-Ma’arif, tt
Muhammad Ibn Ahmad al-Azhari, Abu Manshur, Tahzib al-Lughah, Kairo: al-
            Dar al-‘Ilmiyyah, tt, Jilid VIII

Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhim Abadi, Abu al-Thaib, ‘Aun al-Ma’bud
            Syarh Sunan Abi Daud, Madinah: Maktabah Salafiyah, 1968, Jilid III

Usman Ibnu Jinni, Abu al-Fath, al-Khashaish, Kairo: Maktabah al-‘Ilmiyyah,
            1996

Ya’kub, Amil Badi’, Fiqh al-Lughat al-‘Arabiyah, Beirut: Darul Tsaqafah
Islamiyah, 1998

http://www.saaaid.net/book/open.php?cat=90&book=1006
Aryfatmawati.blogspot.com/2011/hakikat-makna-sebagai-objek-semantik.html
http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1129




a.      


                [1] Mujamma’al Lughah al ‘Arabiyah, al-Mu’jam al Wasith, (Mesir: Maktabah al-Syuruq al-Mishriyyah, 2004), h. 715
[2] Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt), h. 4049
[3] Abu Manshur Muhammad Ibn Ahmad al-Azhari, Tahzib al-Lughah, (Kairo: al-Dar al-‘Ilmiyyah, tt), Jilid VIII, h. 197
[4] Shahih Sunan Abi Daud, (Kuwait: Dar al-Gharas, 2002), Jilid IV, h. 275
[5]Abu al-Thaib Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, (Madinah: Maktabah Salafiyah, 1968), Jilid III, h. 461
                                            
[7] Abu al-Fath Usman Ibnu Jinni, al-Khashaish, (Kairo: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1996), h. 33
[8] Abdul Fathah Abdul ‘Alim al-Barkawiy, Madkhal Ila ‘Ilmi al-Lughah al-Hadits,(Kairo: Darul Kutub, 2002), Cet. Ke- 3, h. 19
[9] Aryfatmawati.blogspot.com/2011/hakikat-makna-sebagai-objek-semantik.html
[10] Fayaz al-Dayah, Ilmu al-Dalalah al-Araby Baina al-Nazhariyy wa al-Tathbiqi, (Dar al-Fikr, 1996), h. 8
[11] Amil Badi’ Ya’kub, Fiqh al-Lughat al-‘Arabiyah, (Beirut: Darul Tsaqafah Islamiyah, 1998), h. 174
[12]Muhammad bin Ibrahim al-Hamid, Fiqh al-Lughah, (Riyadh: Darul Ibnu Khuzaimah, 1986), h. 197
[13] Al-Imam al-Adib al-Lughawiy Abi Hilal al-Askari ditahqiq oleh ‘Imad Zakiy al-Barudiy, Al-Furuqu al-Lughawiyah, (Kairo: Dar al-Taufiqiyah lil Turas, 2010), h. 5
[14] Al-Imam al-Adib al-Lughawiy abi Hilal al-‘Askari, Ibid., h. 6
[15] http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1129
[16] Muhammad Mutawalla al-Sya’rawiy, Tafsir al-Sya’rawiy (Kairo: Dar al-Fajr, 2001), h. 187
[17] Fayaz al-Dayah, Ilmu al-Dilalah al-Arabiy, Op. Cit., h. 25-26
               [18] http://www.saaaid.net/book/open.php?cat=90&book=1006

Komentar

Postingan Populer