MAKALAH DALALAH - الفروق والمساحات الدلالية || PASCA IAIN IB
الفروق والمساحات الدلالية
A.
Pendahuluan
Bahasa
merupakan salah satu dari berbagai tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah
SWT yang dijadikan sarana untuk menciptakan ketenangan dan kedamaian bagi
segenap makhluk ciptaan-Nya. Bahasa ditinjau dari sisi historicalnya merupakan
ilham suci dari Allah sang Maha Pencipta yang Dia sampaikan langsung kepada
Nabi Adam AS.
Ditinjau
dari segi peranannya, bahasa merupakan alat komunikasi antara sesama makhluk
untuk menginformasikan apa yang mereka pikirkan dan rasakan.
Studi
seputar ilmu bahasa dan peranannya adalah sebuah kajian yang memiliki
bahasan yang sangat luas dan tajam.
Disamping meneliti dan mengkaji tentang partikalnya, bahasa juga memiliki sisi
lain yang masih memerlukan penelaahan yang mendalam. Seperti halnya pembahasan
tentang al-Furuq al-Lughawiyah dalam bahasa Arab pada umumnya dan di dalam
al-Qur’an pada khususnya.
Al-Furuq
al-Lughawiyah adalah sebuah materi terpenting dalam ilmu bahasa yang
dimunculkan pertama kali oleh para ahli bahasa dari kelompok yang tidak
menyetujui adanya taraduf dalam bahasa Arab. Pembahasan al-Furuq al-Lughawiyah
(perbedaan kata dalam makna dan penggunaannya), sangat memiliki keistimewaan
sendiri, yang dengan menyelaminya seseorang akan sampai kepada maksud dan makna
sebenarnya dari sebuah kata, serta dengan menguasainya seseorang akan mampu
menganalisa perbedaan yang jelas dari beberapa kata yang kelihatannya serupa,
sehingga ia tidak akan pernah keliru lagi dalam penggunaan dan pemilihan kosa
kata dalam bahasa komunikasi yang digunakannya.
Pada
makalah ini akan dibahas tentang:
1.
Pengertian
al-Furuq al-Lughawiyah wa Dalalah
2.
Sejarah
Munculnya Istilah al-Furuq al-Lughawiyah
3.
Biografi
Abu Hilal Al-Askari.
4.
Hal-Hal
Yang Menyebabkan Terjadinya Perbedaan Makna pada Beberapa Lafazh yang
Kelihatannya memiliki Makna yang Serupa.
5.
Beberapa
Contoh Tentang al-Furuq al-Lughawiyah dan Cakupan Dalalahnya.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Al-Furuq al-Lughawiyah
Istilah
al-Furuq al-Lughawiyah ini merupakan sebuah istilah yang terbentuk dan tersusun
dari penggabungan dua kata, yaitu kata al-Furuq dan kata al-Lughah. Kata
al-Furuq( الفروق ) adalah bentuk jama’
taksir dari kata al-Farq( الفرق ) yang berarti al-Fashli
wa al-Tamyiz (memisahkan dan membedakan). Dikatakan: فرق بين المتشابهين فلان (Fulan
menjelaskan sisi perbedaan antara dua hal yang serupa).[1]
Sedangkan
kata al-Lughah secara etimologi berasal dari susunan tiga huruf hijaiyyah. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa ia terdiri
huruf ل, غ , و, ada pula yang mengatakan
bahwa ia berasal dari huruf, ي . , غ ل
Ibnu
Manzhur melihat bahwa kata lagha-yalghu-laghwan wa laghan secara bahasa
memiliki arti sesuatu yang gugur dan tidak diperhitungkan atau tidak memiliki manfaat sedikitpun. Baik berupa
ucapan maupun hal lainnya.[2]
Imam
Al-Azhary mengatakan bahwa kata
al-laghwu, al-lagha atau al-laghwa berarti sebuah ucapan yang tidak berasal
dari dalam hati dan tidak terniat untuk mengucapkannya.[3]
Al-Laghwu
dalam masalah sumpah sebagaimana tertera dalam firman Allah SWT:
w ãNä.äÏ{#xsã ª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏY»yJ÷r& `Å3»s9ur Nä.äÏ{#xsã $oÿÏ3 ôMt6|¡x. öNä3ç/qè=è% 3 ª!$#ur îqàÿxî ×LìÎ=ym ÇËËÎÈ
225. Allah tidak
menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah),
tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk
bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun[140].
[140] Halim berarti penyantun, tidak segera menyiksa orang yang
berbuat dosa.
Imam an-Nawawi menjelaskan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan
dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda:
إذا قلت أنصت و الإمام يخطب فقد لغوت . رواه أبو داود.[4]
Artinya:
Jika engkau mengatakan “diamlah” ketika imam sedang berkhutbah maka sesungguhnya
engkau telah melakukan al-laghw. (H.R.
Abu Daud).
Bahwa
yang dimaksud dengan al-laghwa pada hadits ini adalah perkataan yang bathil,
tidak dibenarkan, tidak wajar, merusak ibadah dan tertolak.[5]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kata al-Lughah
secara etimology berarti sesuatu yang jujur, tidak diperhitungkan, bathil,
rusak, menyimpang dan tidak memberi manfaat, baik dari perkataan maupun hal
lainnya.
Adapun secara terminologi, Imam al-Jurjaniy menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan kata al-Lughah adalah:
ما يعبر بها كل قوم عن أغراضهم.[6]
"Adalah ungkapan
yang digunakan setiap kelompok kaum untuk mengutarakan maksud dan tujuan
mereka.
Demikian juga Ibnu Jinni mendefinisikan kata al-lughah, dia
mengatakan bahwa al-lughah itu adalah:
أصوات يعبر بها كل قوم من أغراضهم .[7]
“Yaitu
suara yang digunakan suatu kaum untuk mengutarakan maksud dan tujuan mereka”.
Sedangkan
Ibrahim Anis mendefinisikan al-lughah (اللغة ) yaitu:
“Susunan
adat (‘uruf) untuk rumus suara yang dipergunakan oleh manusia dalam berhubungan
satu sama lain”.
Kata al-Lughawiyyah merupakan bentuk na’at dari kata al-Furuq yang
berada sebelumnya. Ia merupakan na’at jamid dengan cara menambahkan huruf ya
nisbah pada akhir katanya.
Dengan menggabungkan pengertian dari dua kata di atas dapat kita
jelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-Furuq al-Lughawiyyah adalah perbedaan
yang terdapat pada beberapa kata alam satu bahasa serta perbedaan pemakaiannya
yang kelihatan serupa atau berdekatan dari segi makna, sehingga dapat
menghantarkan seseorang kepada keputusan bahwa sebagian kata merupakan
penjelasan atau pengkhususan bagi kata lain yang berdekatan makna dengannya.
Sedangkan pengertian Dalalah/ Dilalah ( الدلالة
) ada dua istilah yang harus dipahami yaitu al-Dal ( الدال
) dan al-Madlul ( المدلول ). Al-Dal adalah Lafazh,
Al-Madlul adalah Makna Lafazh.[9]
Contoh: الصلاة (shalat) ini namanya al-dal, dan madlulnya
adalah adalah do’a (makna bahasa/ lughawi).
Dengan melihat dari pengertian di atas maka dalalah adalah:
الدلالة هي فهم امر من امر ويسمى الأمر الاول مدلولا والامر الثانى دالا
“Dalalah adalah proses pemahaman sesuatu dari sesuatu yang lain,
sesuatu yang pertama disebut madlul (yang ditunjuk), sedangkan yang kedua
disebut dal (yang menunjuk).
Al-Jurjaniy mendefinisikan dilalah:
الدلالة هي كون الشيء بحالة يلزم من العلم به العلم بشيء آخر ،و الشيء
الأول هو الدال ، و الثاني هو المدلول .[10]
Dilalah adalah keadaan sesuatu dengan hal yang melazimi dari ilmu,
yang dengan ilmu itu juga melazimi sesuatu yang lain. Sesuatu yang pertama
disebut al-Dal, dan sesuatu yang kedua disebut al-Madlul.
2.
Sejarah Munculnya Istilah al-Furuq al-Lughawiyah
Istilah al-Furuq
al-Lughawiyah ini muncul sebagai reaksi terhadap perselisihan pendapat tentang
adanya taraduf (persamaan makna kata) dalam bahasa Arab. Taraduf adalah sebuah
istilah yang digunakan untuk mengungkapkan satu benda yang memiliki banyak
nama. Menurut bahasa taraduf (synonyme) berarti kata yang berbeda lafazhnya
namun memiliki makna yang sama atau pemakaian yang bermacam-macam kata untuk
suatu pengertian.[11]
Taraduf berasal dari kata ردف setimbangan تفاعل dengan makna musyarakah.
Sedangkan menurut istilah, taraduf memiliki beberapa pengertian. Diantaranya:
a.
Menurut
al-Jurjani ada beberapa definisi taraduf, yaitu:
·
Taraduf
ialah sesuatu yang berarti satu tetapi maknanya banyak.
·
Taraduf
ialah suatu ungkapan yang memiliki satu pemahaman.
Al-Jurjani
menyebutkan bahwa hal ini dinamakan taraduf karena ia memiliki nama yang banyak
untuk menunjukkan satu makna.
b.
Menurut
Imam Fakhruddin, taraduf ialah lafazh tunggal yang memiliki satu pengertian.
Pendapat lain mengatakan bahwa taraduf ialah satu makna dan berbeda lafazhnya.[12]
Dalam menyingkapi perbedaan pandangan seputar keberadaan taraduf
ini dalam bahasa Arab dan dalam al-Qur’an para pakar linguistik Arab terbagi
menjadi dua kelompok yang berseberangan pendapat, ada yang menyetujui dan
mengakui bahwa taraduf adalah bukti kekayaan kosa kata Arab. Dan yang
mengingkari keberadaannya sehingga mereka melahirkan sebuah kajian baru sebagai
tandingannya, mereka namakan dengan istilah al-Furuq al-Lughawiyyah (perbedaan
pemakaian kata dan maknanya dalam bahasa.). Salah seorang tokohnya yang
terkenal adalah Abu Hilal al-Askari dalam kitabnya “Mu’jam al-Lughawiyyah.
3.
Biografi Abu Hilal Al-Askari
Abu Hilal al-Askari adalah salah seorang tokoh yang sangat
berpengaruh dalam ilmu bahasa, sastra serta ilmu-ilmu lain yang banyak ia
tuangkan dalam karya-karyanya. Al-Askari secara detail menjelaskan tentang
adanya perbedaan antara dua kata berbeda yang mempunyai arti satu. Nama lengkap
beliau adalah Al-Hasan bin ‘Abdillah bin Sahl bin Sa’id bin Yahya bin Mihran
Abu Hilal al-‘Askari, dinisbahkan kepada
“Askari Mukaram” dari Kuri al- Ahwazi.[13] .
seorang ahli bahasa di zamannya. Karangan beliau sangat banyak, ini semua
menunjukkan kehebatannya dalam beberapa ilmu, khususnya ilmu sastra dan bahasa.
Diantaranya karangan beliau adalah: al-Talkhis fil-Lughah, Mu’jam fil-Lughah,
al-Has ‘ala Thalabi al-‘Ilmi, Kitab al-Shina’ataini: al-Nazham wan-Natsar
(Kitab termasyhur diantara kitab-kitabnya), Syarah al-Himasah, al-Awail,
al-Farqu Baina al-Ma’aniy, Al-Furuqu fil Lughah, dan lain-lainnya.[14]
Dapat kita baca dalam kitab al-Furuqu al-Lughawiyah.
Tahun wafatnya tidak diketahui secara persis, namun beliau diketahui masih hidup sampai tahun 395 H
(1005 M). Sedang penyusun Furuq al-Lughat adalah Sayyid Nuruddin bin Sayyid
Ni’matullah al-Jaza’iri, wafat tahun 1158 H.[15]
4.
Hal-hal yang Menyebabkan Terjadinya Perbedaan Makna Pada Beberapa
Lafazh yang Kelihatannya Memiliki Makna yang Serupa.
Ada beberapa hal yang menyebabkan munculnya perbedaan makna kata
dan perbedaan pemakaiannya di dalam bahasa Arab, diantaranya :
a)
Perbedaan
pada tarkib huruf yang dimiliki oleh beberpa lafazh yang berdekatan makna,
seperti kata رجس yang berkaitan dengan amaliyyah dan نجس yang berkaitan dengan zat.
b)
Perbedaan
pada keberadaan mad yang ada di beberapa kata, seperti perbedaan makna جاء yang berarti datang
dengan pelan, dan kata أتى yang berarti datang dengan segera.
c)
Perbedaan
pada shighat dari satu lafazh yang sama, seperti lafazh أنزل yang bermakna ta’diyah
fi daf in wahid, dan lafazh نزل yang bermakna ta’diyah taktsiriyyah.
d)
Perbedaan
pada dalalah yang dimiliki oleh masing-masing lafazh, seperti kata الظهر صلاة yang
berarti ibadah ritual umat Islam dengan kata الصلاة النبى
على yang berarti rahmat.
e)
Perbedaan
pada idiom kata, seperti kataفى رغب yang berarti suka danعن رغب yang berarti benci.[16]
5.
Beberapa
Contoh Tentang al-Furuq al-Lughawiyah dan Cakupan Dalalahnya.
Contoh-contoh
tentang al-Furuq al-Lughawiyah dan cakupan dalalahnya telah beliau jelaskan
dalam karangan beliau yaitu kitab “Al-Furuq al-Lughawiyah yang mencakup 30 bab dilaliyah.
Diantara contoh-contoh tersebut adalah:[17]
1)
Perbedaan antara الدعاء dan اانداء
النداء هو رفع الصوت بماله معنى
“Al-Nida’”
adalah mengangkat/ meninggikan suara dengan tidak ada baginya makna.
Dan orang
Arab berbicara kepada sahabatnya: ناد معي karena itu ia menyeru dengan suara, artinya أبعد له (lebih jauh baginya). Sedangkan : الدعاء adalah:
برفع الصوت و خفضه
“Doa”
adalah mengangkat/ meninggikan suara dan merendahkannya. Contoh: دعوته من بعيد (Aku
menyerunya dari jauh), dan في نفسي الله دعو ت (Aku berdo’a kepada
Allah dalam diriku). Dan tidak dikatakan orang ناديته في نفسي
2)
Perbedaan antara Najwa ( النجوى ), dan Sirru ( السر )
النجوى
اسم للكلام الخفي الذي تناجي به صاحبك كأنك ترفعه عن غيره .
“An-Najwa”
adalah nama untuk
perkataan yang tersembunyi di mana
engkau berbisik-bisik dengan sahabat engkau seolah-olah engkau mengangkatkan
suara dari lainnya. Contoh lain adalah من الأرض ة ةالنجو, Dan dinamakan pembicaraan Allah Ta’ala dengan Nabi Musa As. Munajah, karena perkataannya
tersembunyi dari lainnya.
Sedangkan Sirru
(السر )
adalah: إخفاء
الشيء في النفس “As-Sirru” adalah menyembunyikan
sesuatu dalam diri/ jiwa. Dan jika tersembunyi disebabkan tutup atau di
belakang dinding itu bukanlah dinamakan sir (سر ).
سري عند فلانويقال, ia menginginkan sesuatu itu tersembunyi dalam dirinya, dan
tidak dikatakan: اي عندهنجو
النجوى terbentuk dalam jumlah, sesuatu yang ia
bisikkan berupa perkataan. Sedangkan السر adalah pemahaman maknanya.
Terkadang-kadang ada sir pada ghairu ma’ani yaitu majaz, seperti:
فعل
هذا سرا .وقد أسر الأمر . Dan An-Najwa tidak ada
terjadi kecuali melalui perkataan.
3)
Perbedaan antara al-Ikhtira’ ( الإختراء)
dengan al-Ibtida’ (الإبتداء )
Al-Ibtida’
adalah mewujudkan sesuatu yang belum ada padanan semisalnya sebelum itu.
Dikatakan abda’a fulan, jika dia mendatangkan sesuatu yang asing. Dikatakan
pula abda’ahullahu, maka dia adalah mubdi’ dan badi’ ( yang menciptakan sesuatu
tanpa contoh sebelumnya). Sebagaian orang mengkhususkan makna alibtida’ sebagai
: mewujudkan ( sesuatu ) tanpa sesuatu sebab. Sedangkan Al-Ikhtira’ adalah
mewujudkan ( sesuatu ) tanpa bahan dari sesuatu yang lain.
4)
Perbedaan
antara Al-bar’u dan Al –khalqu.
Al-bar’u adalah memilah atau membeda-bedakan bentuk (fisik) mereka mengatakan
bara’allahu al-khalqa artinya allah memililah atau membeda-bedakan bentuk
makhluknya. Sedangkan al –khalqu secara bahasa berarti menentukan ukuran atau
mengatur bentuk. Dikatakan : khalaqtul adim ( saya mengatur kulit ) jika saya
mengaturnya menjadi sepatu atau benda lainnya. Dikatakan khaliqa ats-tsaubu dan
akhlaqa ats-tsaubu ( baju menjadi usang ) jika tidak tersisa dari baju itu
selain bentuknya saja.
5)
Perbedaan antara al-‘amal dengan al-Ja’lu.
Al-‘amal
adalah mengadakan pengaruh/ efek pada sesuatu. Dikatakan fulan ya’malu
ath-thiina khazafan ( si fulan mengerjakan tanah menjadi forselen). Sedangkan
al-Ja’lu adalah mengubah bentuknya dengan mengadakan suatu pengaruh/ efek
padanya dan juga dengan selainnya.
6)
Perbedaan antara al-Fathru dan al-Fi’lu. Al-Fathru adalah menampakkan sesuatu yang baru dengan
mengeluarkannya dari ketiadaan kepada keberadaan/ wujud, seakan-akan dibelah
sehingga menjadi terlihat. Seperti: Tafaththara asy-syajar, bila dia terbelah
dengan (mengeluarkan) daun-daunan; fathartul inaa’a artinya saya memecahkan
wadah itu; fatharallahu al-khalqa artinya Allah menampakkan makhluk dengan
mengadakan mereka, sebagaimana tampaknya dedaunan bila pohon membelah dirinya
(sehingga dedaunan bersemi darinya). Sedangkan Al-Fi’lu adalah ungkapan yang
menyatakan sesuatu yang didapati dalam suatu keadaan dimana sebelumnya hal itu
telah diatur, baik berasal dari suatu sebab tertentu maupun tidak.
7)
Perbedaan antara al-Kasbu (usaha) dan al-Khalqu.
Al-kasbu adalah perbuatan yang kembali kepada pelakunya sendiri,
entah bermanfaat atau membahayakan. Sebagian orang mengatakan bahwa al-Kasbu
adalah apa yang terjadi melalui latihan dan perlakuan tertentu. Dan al-Khalqu
sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.[18]
C.
PENUTUP
Al-Furuq al-Lughawiyah lahir sebagai reaksi terhadap ketidak
sepakatan para ahli bahasa Arab tentang
keberadaan taraduf dalam bahasa
Arab dan dalam al-Qur’an. Kajian tentang al-Furuq al-Lughawiyah dapat
mengantarkan seseorang kepada makna yang sebenarnya yang dimiliki oleh
masing-masing kata.
Dengan mempelajari al-Furuq al-Lughawiyah ini dapat membantu kita
menemui perbedaan mendasar yang dimiliki oleh masing-masing kata dalam bahasa
Arab dan dalam al-Qur’an, sesuai dengan dalalahnya.
Dari contoh-contoh yang telah dijelaskan di atas dapat kita pahami
bahwa jika ada dua kata yang berbeda tapi berdekatan arti maka maknanya tetap
harus berbeda. Jadi memang tidak ada kata-kata yang benr-benar mempunyai arti
yang sama persis. Sehingga tidak selalu memungkinkan digunakan untuk sebuah
konteks kalimat yang sama.
DAFTAR PERPUSTAKAAN
Al ‘Arabiyah, Mujamma’al Lughah, al-Mu’jam al Wasith, Mesir:
Maktabah al-
Syuruq
al-Mishriyyah, 2004
Abi
Daud, Shahih Sunan, Kuwait: Dar al-Gharas, 2002, Jilid IV
Abdul ‘Alim al-Barkawiy, Abdul Fathah, Madkhal Ila ‘Ilmi
al-Lughah al-Hadits,
Kairo: Darul
Kutub, 2002, Cet. Ke- 3
Al-Dayah, Fayaz, Ilmu al-Dalalah al-Araby Baina al-Nazhariyy wa
al-Tathbiqi,
Dar al-Fikr,
1996
Al-Hamid, Muhammad bin Ibrahim, Fiqh al-Lughah, Riyadh:
Darul Ibnu
Khuzaimah, 1986
Abi Hilal al-Askari, Al-Imam al-Adib al-Lughawiy ditahqiq oleh
‘Imad Zakiy al-
Barudiy, Al-Furuqu
al-Lughawiyah, Kairo: Dar al-Taufiqiyah lil Turas, 2010
Al-Sya’rawiy, Muhammad Mutawalla, Tafsir al-Sya’rawiy,
Kairo: Dar al-Fajr,
2001
Manzhur,
Ibnu, Lisan al-Arab, Kairo: Dar al-Ma’arif, tt
Muhammad Ibn Ahmad al-Azhari, Abu Manshur, Tahzib al-Lughah,
Kairo: al-
Dar al-‘Ilmiyyah,
tt, Jilid VIII
Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhim Abadi, Abu al-Thaib, ‘Aun
al-Ma’bud
Syarh Sunan Abi Daud,
Madinah: Maktabah Salafiyah, 1968, Jilid III
Usman Ibnu Jinni, Abu al-Fath, al-Khashaish, Kairo: Maktabah
al-‘Ilmiyyah,
1996
Ya’kub, Amil Badi’, Fiqh al-Lughat al-‘Arabiyah, Beirut:
Darul Tsaqafah
Islamiyah, 1998
http://www.saaaid.net/book/open.php?cat=90&book=1006
Aryfatmawati.blogspot.com/2011/hakikat-makna-sebagai-objek-semantik.html
http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1129
a.
[2]
Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Kairo: Dar al-Ma’arif, tt), h. 4049
[3]
Abu Manshur Muhammad Ibn Ahmad al-Azhari, Tahzib al-Lughah, (Kairo:
al-Dar al-‘Ilmiyyah, tt), Jilid VIII, h. 197
[4]
Shahih Sunan Abi Daud, (Kuwait: Dar al-Gharas, 2002), Jilid IV, h. 275
[5]Abu
al-Thaib Muhammad Syams al-Haq al-‘Azhim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan
Abi Daud, (Madinah: Maktabah Salafiyah, 1968), Jilid III, h. 461
[7]
Abu al-Fath Usman Ibnu Jinni, al-Khashaish, (Kairo: Maktabah
al-‘Ilmiyyah, 1996), h. 33
[8]
Abdul Fathah Abdul ‘Alim al-Barkawiy, Madkhal Ila ‘Ilmi al-Lughah al-Hadits,(Kairo:
Darul Kutub, 2002), Cet. Ke- 3, h. 19
[9]
Aryfatmawati.blogspot.com/2011/hakikat-makna-sebagai-objek-semantik.html
[10]
Fayaz al-Dayah, Ilmu al-Dalalah al-Araby Baina al-Nazhariyy wa al-Tathbiqi,
(Dar al-Fikr, 1996), h. 8
[11]
Amil Badi’ Ya’kub, Fiqh al-Lughat al-‘Arabiyah, (Beirut: Darul Tsaqafah
Islamiyah, 1998), h. 174
[12]Muhammad
bin Ibrahim al-Hamid, Fiqh al-Lughah, (Riyadh: Darul Ibnu Khuzaimah,
1986), h. 197
[13]
Al-Imam al-Adib al-Lughawiy Abi Hilal al-Askari ditahqiq oleh ‘Imad Zakiy
al-Barudiy, Al-Furuqu al-Lughawiyah, (Kairo: Dar al-Taufiqiyah lil
Turas, 2010), h. 5
[14]
Al-Imam al-Adib al-Lughawiy abi Hilal al-‘Askari, Ibid., h. 6
[15]
http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/1129
[16]
Muhammad Mutawalla al-Sya’rawiy, Tafsir al-Sya’rawiy (Kairo: Dar
al-Fajr, 2001), h. 187
[17]
Fayaz al-Dayah, Ilmu al-Dilalah al-Arabiy, Op. Cit., h. 25-26
Komentar
Posting Komentar