MAKALAH ماهية الدلالة | DALALAH || PASCA IAIN IB



 (ماهية الدلالة)
A.    PENDAHULUAN
Sesungguhnya ilmu Mantiq membahasa tentang fikiran fikiran dan persesuaiannya dengan undang undang berfikir.Dilihat Lafazh (kata) adalah komponen yang tidak bisa terpisahkan dalam sebuah kalimat (kalam), dan lafazh tersebut memiliki arah makna, maksud, pengertian dan lazimnya dizebut dengan “al-Dilalah”  kajian al-Dilalah ini terangkum dalam ilmu Mantiq (logika).
Dalam pembahasan ilmu mantiq, yang dititik-beratkan dan dibahas secara mendalam adalah pembahasan dilâlah lafdziyah wadl’iyah. Karena tema-tema pembahasannya yang dianggap menentu, baik berupa tashawur (pemetaan) yang bertengger pada al-ta’rîf (definisi) ataupun tashdiq (ratifikasi) yang capaiannya adalah al-hujjah (argumen).
Sedangkan macam dilâlah selain yang lafdziyah wadl’iyah ini tidak dibahas secara mendalam dan hanya disebutkan sebagai bagian dari dilâlah saja. Karena dalam pembahasan-pembahasannya terdapat banyak kemungkinan yang tidak menentu, banyaknya perbedaan persepsi serta kebiasaan. Misalnya pada contoh dilâlah lafdziyah aqliyah di atas, suara orang yang berbicara dibalik tembok belum tentu suara orang yang hidup, karena bisa saja suara tersebut suara radio dan sebagainya.[1]
Pada makalah ini akan dibahas tentang defenisi Al-dilalah (makna) dan kedudukan Al-dilalah (makna).








B.    PEMBAHASAN
Secara gambaran umum sudah nampak sekilas tentang ilmu dalalah. Sebelum masuk kepada penjelasan dalalah maka perlu dijelaskan tentang lafazd, karena makna itu berkaitan erat dengan lafaz (kata), tanpa lafaz maka maknapun tidak akan ada dan sebaliknya tanpa makna maka lafazdpun tidak akan ada fungsi.
Lafadz adalah susunan beberapa huruf yang mengandung arti. Istilah lafadz berasal dari bahasa Arab dan diartikan sebagai 'kata' dalam bahasa Indonesia seperti kayu, batu, air dan lain-lain. Lafadz ada dua macam: pertama, lafadz mufrod, ke dua, lafadz murokkab. Lafadz mufrod ialah lafadz yang bermakna tunggal. Terdapat perbedaan pendapat antara: Pertama, Ahli mantiq melihat lafadz pada maknanya, bukan pada jumlah lafadz-nya. Artinya, susunan lafadz yang jumlahnya lebih dari satu kata tetapi menunjukkan makna satu tetap disebut sebagai lafadz mufrod. Meja, kursi, rumah, Amir Syarifuddin, Muhammad Ali adalah contoh lafadz mufrod. Kedua, Ahli nahwu lebih melihat pada bentuk dan jumlah susunan kata, sehingga lafadz seperti Muhammad Abdullah Syafi'i tidak dapat disebut lafadz mufrod.
Pembagian Lafadz[2]
a.      Lafadz Taqabul’, Dalam ilmu Mantiq, lafadz-lafadz yang berlawanan dinamakan dengan “Taqobulul Al Fazh”. Dan yang dimaksud dengan kata-kata yang bertentangan adalah 2 lafadz yang tidak mungkin berkumpul dalam satu benda(tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, dll), dan dalam sau waktu.
Contoh:
·     Hitam merah .
·     Kakak Adik
·     Baik buruk.
Macam-macam Taqobulul Al Fazh.
“Taqobulul Al Fazh” dalam Ilmu Mantik terbagi menjadi 3 yaitu:
1.     Pertentangan Kontradiktif(Taqobul Naqidhain).
Adalah 2 lafadz yang tidak mungkin dapat berkumpul pada suatu benda dalam suatu waktu, dan tidak mungkin pula untuk dapat dipisahkan antara keduanya itu, hal ini sangat bertentangan.
Contoh: “Hidup dan Mati”. Tidak mungkin pada waktu sekarang, dan tidak mungkin bisa terjadi pada suatu benda yaitu tidak hidup dan tidak mati, atau kita katakanan dia hidup dan dia mati.
2.     Pertentangan Kontrari(Taqabul Dhidhain).
Adalah 2 lafadz yang tidak mungkin dapat berkumpul keduanya dalam satu benda dan dalam satu waktu, tetapi ke2 lafadz tersebut bisa saja dilepaskan dari benda itu.
Contoh: “Hitam dan Putih” term ini tidak bisa kita katakan dalam satu benda dan satu waktu, namun kedua term tersebut bisa tidak ada dalam benda tersebut. Misalnya saja benda tersebut warnanya hijau.
3.     Pertentangan Korelasi(Taqabul Muthadhanifain).
Adalah 2 term bila disebutkan salah satunya, maka yang lainnya akan terikut dalam akal pikran, karena keduanya sudah saling bersandar.
Contoh: “Ayah dan Anak” 2 lafadz yang bertentangan dan tidak mungkin untuk dikumpulkan pada satu benda dalam satu waktu sekaligus, tetapi yang satu tidak akan diterima keberadaannya tanpa adanya yang lain. Misalnya kata “ayah dan anak” diatas, seorang anak tidak akan mungkin ada tanpa adanya seoranga ayah, dan begitupun juga, seorang ayah tidak akan bisa disebut ayah apabila tidak ada seorang anak.
b.     Lafadz Kulli, Lafadz kulli adalah suatu lafadz yang mengandung beberapa afrad. Seperti lafadz rumah artinya mencakup segala/semua macam-macam rumah. Lafadz ini terbagi pada beberapa bagian. Ada lafadz kulli yang afradnya wujud/nyata, dan ada yang tidak wujud/nyata atau tidak ada dalam kenyataan atau mustahil (menurut akal atau adat). Contohnya adalah: seperti lafadz sekutu tuan lafadz tersebut kulli, tetapi tidak ada wujudnya menurut akal. Dan adapun yang tidak ada menurut kebiasaan seperti lautan madu. Dan bisa jadi kulli yang ada wujudnya hanya ada satu seperti tuhan, karena menurut akal mustahil ada selain tuhan.
Afrad bisa jadi terbatas karena menurut penelitian demikian. Dan bisa jadi tidak terbatas seperti soal-soal gaib, karena yang demikian bukan wilayah ilmu pengetahuan.
Jadi lafadz kulli memiliki dua pengertian:
•    Sisi pengertian (mafhum)
•    Sisi kenyataan (masadaq).
Contoh:
•    Manusia dari sisi pengertian adalah binatang yang berfikir,
•    Manusia dari sisi kenyataan adalah Ali, Umar, Hasan dll.
Jadi pembahasan mengenai kulliyah sebenarnya adalah pembahasan mengenai penyesuaian pengertian (mafhum) dan kenyataan (masadaq).
Macam-macam kulli[3]
1.     Kulli Dzatiah
Lafadz kulli dzatiah adalah lafadz yang menunjukkan kepada mahiyah (hakekat) sepenuhnya, dan kepadanya diajukan pertanyaan ”apa dia”.
Kulli dzatiah ini dibagi menjadi tiga, yakni:
a.      Jins, adalah kulli yang sesuai dengan afraddari bermacam-macam hakekat yang berlawanan. Jins adalah bagian dari mahiyah yang sama antara satu mahiyah dengan mahiyah yang menjadi tempat bernaungdari macam-macam kulliyah yang lebih khusus. Contoh: Lafadz hewan mengandung makna manusia, hewan-hewan lainnya seperti kerbau, kancil, kuda dll. Sedangkan manusia, kerbau, kancil, kuda, dll adalah hakekat makna yang lebih khusus dari hewan.
b.     Nau’, kata nau’ berasal dari bahasa arab yang berarti ragam, jenis, macam dan sebagainya. Maksudnya adalah, ragamnya suatu hakekat, yang berkumpul pada yang lebih umum, tetapi dibawah kulli, seperti: manusia/insan, hakekatnya Ali, Muhammad, Umar dan lain-lain. Nau’ sendiri dibagi menjadi dua: Pertama, Nau’ haqiqi, adalah lafadz kulli yang berada dibawah jins, sedang masadaqnya merupakan hakekat yang sama, nau’ haqiqi tidak ada lagi dibawahnya kecuali afrad-afrad saja. Kedua, Nau’ Idhafi atau nau’ tambahan, adalah nau’ yang jenisnya dibagi sama, seperti: tinggi, rendah pertengahan atau nau’ yang memiliki sifat tambahanyang tida pasti yang membedakan dengan nau’ haqiqi. Dapat pula dikatakan sebagai lafadz kulli dibawah jins.

Nau’ idhafi ada tiga macam
1)     Safil, berasal dari bahasa arab, artinya bawah. Maksudnya lafadz safil adalah lafadz kulli yang tidak ada dibawahnya kecuali juz’inya, yakni Muhammad, Ali dll.
2)     Mutawasith, berasal dari bahasa arab yang berarti pertengahan. Maksudnya nau’ mutasith adalah lafadz kulli yang diatas dan dibawahnya terdapat nau’. Seperti: hewan, diatasnya ada nau’ al-nami’ sedang dibawahnya ada nau’ yaitu manusia. Demikian pula di atas nami’ ada nau’ jisim dan dibawahnya manusia.
3)     ’Ali, berasal dari bahasa arab yang artinya tinggi. Maksudnya disini lafadz ’ali adalah nau’ yang tertinggi, tidak ada lagi nau’ diatasnya, contoh: jisim. Lafadz jisim tidak ada lagi diatasnya ia jins Ali yakni Jauhar.
c.      Fashal, berasal dari bahasa arab yang artinya beda, pisah atau isolasi. Maksudnya adalah dengan fashal kita dapat membedakan hakekat sesuatu dengan hakekat lainnya yang terdapat dalam satu jenis (jins). Dalam ilmu mantiq fashal adalah suatu sifat dari beberapa sifat kulliyah, dimana suatu hakekat bersatu dalam satu jenis. Fashal terbagi menjadi dua, yakni:
1)     Fashal gharib, adalah satu ciri yang membedakandari sesuatu yang menyamainyadalam jenisnya yag dekat. Contoh: Lafadz berfikir, karena ia membedakan dari yang menyamainya dalam satu jenis, yakni hewan.
2)     Fashal baid, adalah ciri yang membedakan dari sesuatu yang menyamainya dalam jenisnya yang jauh. Contoh: Lafadz merasa, adalah lafadz baid bagi manusia yang membedakan dengan hewan.
d.      Kulli Irdhiyah.  adalah lafadz abstrak yang menyifati benda. Lafadz irdhiyah dibagi menjadi dua, yakni:
1)     Irdhiyah Khashah, adalah sifat tambahan yang hanya berlaku satu dzat tertentu atau term yang menyamakan sifat hakikat dari suatu spesia sebagai akibat dari sifat pembeda yang dimilikinya. Contoh: Sifat pembeda yang dimiliki manusia adalah berfikir.dari sifat berfikir ini timbul sifat khusus, seperti: kawin, membentuk pemerintah, adanya peradaban, pakaian, dan mengembangkan kebudayaan. Irdhi khas (sifat khusus) adalah sifat atau sejumlah sifat yang dimiliki secra khusus oleh hakekat-hakekat (mahiyah)yang sama.bariyah, bakar, usman, mustafa adalah hakekat-hakekat mahiyah yang sama.contoh:mampu berbahasa/belajar satu bahasa/beberapa bahasa.adalah irdhi khas (sifat khusus) bagi manusia.
2)     Irdhiyah Ammah, adalah sifat tambahan yang dapat ditemukan pada beberapa zat atau golongan. Contoh: Sifat melihat pada manusia.meliahat ini juga dimiliki oleh hewan yang lain.

1.     Pengertian Dalalah (Makna)
Dilalah (penanda)dalam bahasa Arab al Dilalah jika diartikan secara etimologi adalah alhidayah (petunjuk) Dalalah / dilalah (الدلا لة ), ada dua istilah yang harus dipahami yaitu: al-dal (الدال) dan al-madlul (المدلول ). Al-dal adalah lafadz. Al-madlul adalah makna lafadz.[4]
Contoh : الصلاة  ( sholat ) ini namanya al-dal. dan madlulnya adalah do'a (makna bahasa atau lughawi). Atau perbuatan yang diawali dengan takbir dan dan diakhiri dengan salam (makna istilah ).  Dan yang dimaksud dengan dilalah atau dalalah adalah hubungan antara al-dal dan al-madlul. Contoh kedua dalam praktek bahasa indonesia : ada kata Jam tangan. Jam tangan ini namanya al-dal. Saya tulis "kata" karena yang saya maksud bukan barangnya (wujudnya jam tangan ), "tapi ada tulisan jam tangan ". ma'na Jam tangan adalah suatu jenis barang yang digunakan untuk mengetahui waktu yang bisa dipasang ditangan. Maka penunjukkan ma'na jam tangan terhadap suatu  jenis barang yang digunakan untuk mengetahui waktu yang bisa dipasang ditangan namanya al-dilalah. Pembahasan al-dilalah sangat amat penting untuk mengetahi maksud suatu dalil. ohya, Cara kita dalam mengambil suatu dalil namanya istidlal (الإستدلال). Jadi antara al-dal, al-madlul,al-dilalah, dan al-istidlal itu tidaklah sama.
Dengan melihat dari pengertian di atas maka dalalah adalah:
الدلالة هى فهم امر من امر ويسمى الامر الاول مدلولا والامر الثّانى دالاّ
Dalalah adalah proses pemahaman sesuatu dari sesuatu yang lain, sesuatu yang pertama disebut madlul (yang ditunjuk), sedangkan yang kedua disebut dal (yang menunjuk).
Abi Hilal al-Askari mendefenisikan dilalah sebagai berikut:
الدلالة هى مايؤدى النظر فيه الى العلم
Dilalah adalah satuan fenomena yang teramati dalam membentuk pengetahuan ilmiah.
Dilalah dibagi kepada 2 bagian:
a.      Dilalah lafziyyah
ماكان الدال فيها لفظا أو صوتا
Dilalah lafziyah adalah makna yang difahami berupa kata-kata atau suara.

Dilalah lafziyah ini terbagi kepada tiga bagian:
1)     Dilalah lafziyyah thabi’iyyah
ماكان الدال فيها عرضا طبيعيا
Dilalah yang dal nya berupa suara yang bersifat alami.
Contoh: difahaminya ungkapan “terkejut” dari “waw” atau “rasa sakit” dari “aduh”.
2)     Dilalah lafziyyah ‘aqliyyah
ماكان الدال فيها عقلا
Dilalah yang dalnya berupa suara yang rasional.
Contoh: adanya orang di dalam kamar dapat dipahami dari adanya percakapan di kamar itu.
3)     Dilalah lafziyyah wadh’iyyah
ماكان الدال فيها وضعا واصطلاحا
Dilalah yang dalnya berupa kata yang ditunjukkan untuk suatu makna tertentu.
Contoh: segala sesuatu yang dating dari nabi, baik berupa perkataan, perbuatan maupun penetapan Nabi atas perbuatan  sahabat (takrir) dari istilah al-sunnah.

Kemudian Dilalah Lafziyyah Wadh’iyyah ini dikelompokkan menjadi tiga bagian:
1)     Dilalah lafziyyah wadh’iyyah muthabaqiyyah
دلالة اللفظ على تمام معناه الموضوع له
Penunjukan kata atas kesempurnaan makna yang dibakukan untuknya
Contoh:
الكلام هو اللفظ المركب المفيد بالوضع
Kalam adalah kata yang tersususn, memberi faedah, dan kesengajaan orang arab.
2)     Dilalah lafziyyah wadh’iyyah tadhammuniyah
دلالة اللفظ على جزء معناه الموضوع له
Penunjukkan kata atas sebagian makna yang dibakukan untuknya.
Contoh: “kalam” adalah kata yang memberi faedah.
3)     Dilalah lafziyyah wadh’iyyah iltizamiyyah
دلالة اللفظ على شيء خارج عن معناه لازم له
Penunjukkan kata atas sesuatu di luar kandungan maknanya yang merupakan keharusan bagi sesuatu tersebut.
Contoh: “kalam” menunjukkan adanya “komunikasi”.

b.     Dilalah ghairu lafziyah
ماكان الدال فيها غير لفظ أو صوت
Dilalah yang dal-nya bukan berupa kata-kata atau suara
Dilalah ghairu lafziyyah, seperti halnya dilalah lafziyyah, terbagi kepada tiga macam, sebagai berikut:
1)     Dilalah ghairu lafziyyah thabi’iyyah
ماكان الدال فيها عرضا طبيعيا
Dilalah yang dalnya bersifat alami
Contoh: dipahaminya “malu” dari “wajah merah”
2)     Dilalah ghairu lafziyyah ‘aqliyyah
ماكان الدال فيها عقلا
Dilalah yang dalnya berupa sesuatu yang rasional
Contoh: dipahaminya “ada orang yang masuk kamar” dari keadaan kamar yang berantakan (padahal semula keadaan kamar itu rapi).
3)     Dilalah ghairu lafziyyah wadh’iyyah
ماكان الدال فيها شيئا اصطلاحيا وضع ليدل على المعنى المفهوم منه
Dilalah yang dalnya berupa sesuatu yang sudah baku sehingga dapat dipahami suatu arti tertentu
Contoh: dipahaminya “tidak setuju” dari “menggelengkan kepala”.
Menurut teori yang dikembangkan dari pandangan Ferdinand de Saussure, makna adalah ’pengertian’ atau ’konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda-linguistik. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie, signified) sebenarnya tidak lain dari pada konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. Sedangkan yang mengartikan (signifiant atau signifier) adalah bunyi-bunyi yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain, setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual).
Menurut Chaer (1994), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Antara lain:
1)     Makna Leksikal dan Makna Gramatikal (makna berdasarkan jenis semantiknya)
Leksikal adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu, dapat pula dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Chaer, 1994). Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus.
Makna leksikal biasanya dipertentangkan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik, melahirkan makna ’dapat’, dan dalam kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal ’tidak sengaja’.
2)     Makna Referensial dan Nonreferensial
Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang bermakna referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut ’meja’. Sebaliknya kata karena tidak mempunyai referen, jadi kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
3)     Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Oleh karena itu, makna denotasi sering disebut sebagai ’makna sebenarnya’(Chaer, 1994). Umpama kata perempuan dan wanita kedua kata itu mempunyai dua makna yang sama, yaitu ’manusia dewasa bukan laki-laki’.
Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai ”nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti ’cerewet’, tetapi sekarang konotasinya positif.
4)     Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai makna yang jelas, yang pasti, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat dilihat dari contoh berikut
a.      Tangannya luka kena pecahan kaca.
b.     Lengannya luka kena pecahan kaca.
Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim atau bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata itu memiliki makna yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan; sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.
5)     Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi makna konseptual dan makna asosiatif. Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ’sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Jadi makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial. Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
6)     Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh dari idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja hijau dengan makna ’pengadilan’. Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya peribahasa Seperti anjing dengan kucing yang bermakna ’dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur’. Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
7)     Makna Kias
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk seperti puteri malam dalam arti ’bulan’, raja siang dalam arti ’matahari’.
8)     Relasi Makna
Disebut relasi makna. Relasi makna dapat berwujud macam-macam. Berikut ini diuraikan beberapa wujud relasi makna.
9)     Sinonim
Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sinonimi sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanuya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah du buah kata yang bersinonim; bunga, kembang, dan puspa adalah tiga kata yang yang bersinonim. Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Namun, dua buah kata yang bersinonim itu; kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih saja. Kesamaannya tidak bersifat mutlak.
10) Antonimi dan Oposisi
Secara semantik Verhaar (1978) mendefenisikan antonimi sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Misalnya kata bagus yang berantonimi dengan kata buruk; kata besar berantonimi dengan kata kecil. Sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya dalam batasan di atas, Verhaar menyatakan ”…yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain” Jadi, hanya dianggap kebalikan. Bukan mutlak berlawanan. Sehubungan dengan ini banyak pula yang menyebutnya oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang bersifat kontras saja. Kata hidup dan mati, mungkin bisa menjadi contoh yang berlawanan; tetapi hitam dan putih mungkin merupakan contoh yang hanya berkontras.
11) Homonimi, Homofoni, dan Homografi
Homonimi adalah ‘relasi makna antar kata yang ditulis sama atau dilafalkan sama, tetapi maknanya berbeda’. Kata-kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda disebut homograf, sedangkan yang dilafalkan sama tetapi berbeda makna disebut homofon. Contoh homograf adalah kata tahu (makanan) yang berhomografi dengan kata tahu (paham), sedang kata masa (waktu) berhomofoni dengan massa (jumlah besar yang menjadi satu kesatuan).
12) Hiponimi dan Hipernimi
Hiponimi adalah ‘relasi makna yang berkaitan dengan peliputan makna spesifik dalam makna generis, seperti makna anggrek dalam makna bunga, makna kucing dalam makna binatang’. Anggrek, mawar, dan tulip berhiponimi dengan bunga, sedangkan kucing, kambing, dan kuda berhiponimi dengan binatang.  Bunga merupakan superordinat (hipernimi, hiperonim) bagi anggrek, mawar, dan tulip, sedangkan binatang menjadi superordinat bagi kucing, kambing, dan kuda.
13) Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna (1) bagian tubuh dari leher ke atas; (2) bagian dari suatu yang terletak disebelah atas atau depan merupakan hal yang penting atau terutama seperti pada kepala susu, kepala meja, dan kepala kereta api; (3) bagian dari suatu yang berbentuk bulat seperti kepala, seperti pada kepala paku dan kepala jarum; (4) pemimpin atau ketua seperti pada kepala sekolah, kepala kantor, dan kepala stasiun; (5) jiwa atau orang seperti dalam kalimat Setiap kepala menerima bantuan Rp 5000,-.; dan (6) akal budi seperti dalam kalimat, Badannya besar tetapi kepalanya kosong.
14) Ambiguitas
Ambiguitas sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Umpamanya frase buku sejarah baru dapat ditafsirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu berisi sejarah zaman baru.
15) Redundansi
Istilah redundansi sering diartikan sebagai ’berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Umpamanya kalimat Bola ditendang Si Badrih, maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Bola ditendang oleh Si Badrih. Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai sesuatu yang redundansi, yang berlebih-lebihan dan sebenarnya tidak perlu.
16) Meronimi
Meronimi adalah ’relasi makna yang memiliki kemiripan dengan hiponimi karena relasi maknanya bersifat hierarkis, namun tidak menyiratkan pelibatan searah, tetapi merupakan relasi makna bagian dengan keseluruhan’. Contohnya adalah atap bermeronimi dengan rumah.
17) Makna Asosiatif
Makna asosiatif merupakan asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar kata tertentu. Asosiasi ini dipengaruhi unsur-unsur psikis, pengetahuan dan pengalaman seseorang. Oleh karena itu, makna asosiatif terutama dikaji bidang psikolinguistik. Makna denotatif villa adalah ’rumah peristirahatan di luar kota’. Selain makna denotatif  itu, bagi kebanyakan orang Indonesia villa juga mengandung makna asosiatif  ’gunung’, ’alam’, ’pedesaan’, ’sungai’, bergantung pada pengalaman seseorang.
18) Makna Afektif
Makna afektif berkaitan dengan perasaan seseorang jika mendengar atau membaca kata tertentu. Perasaan yang muncul dapat positif atau negatif. Kata jujur, rendah hati, dan bijaksana menimbulkan makna afektif yang positif, sedangkan korupsi dan kolusi menimbulkan makna afektif  yang negatif.
19) Makna Etimologis
Makna etimologis berbeda dengan makna leksikal karena berkaitan dengan asal-usul kata dan perubahan makna kata dilihat dari aspek sejarah kata. Makna etimologis suatu kata mencerminkan perubahan yang terjadi dengan kata tertentu. Melalui perubahan makna kata, dapat ditelusuri perubahan nilai, norma, keadaan sosial-politik, dan keadaan ekonomi suatu masyarakat.
2.     Hakikat (ماهية ) dalalah
Adapun hakikat makna (dalalah) berpengaruh kepada psikologi dan sosiologi,  antara lain:[5]
a.      Konsep  (tashawwur) dan memori (ingatan), peranan atau fungsi keduanya terletak pada proses bahasa (linguistik) dan interaksi.
Ibnu Sina menjelaskan (373-437 H) bahwa proses makna bahasa (linguistik) itu sangat berpengaruh terhadap keistimewaan ilmiah kontemporer, dan berkaitan erat dengan jiwa dalam kajian ilmu jiwa (psikologi), dengan memfungsikan analisis akal yang menghasilkan berbagai penjelasan.keterangan, dengan hal ini muncullah para filosof dan para dokter.
Konsep ini dibatasi dalam proses makna menjadi 3 bagian:
1)     Materi yang nampak dan materi yang tidak nampak berupa rasa (hissi), pikiran, dan benda-benda.
2)     Tanda dari gerakan audio (pendengaran/bunyi) serta menimbulkan gambaran beberapa makna
3)     Simbol makna, yaitu lafaz (kata) kemudian tulisan yang menjadi pengganti dari lafaz dan bunyi.
Jadi dilalah lafaz bahwa ada makna itu tergambar di dalam khayalan (imajinasi) pendengar satu nama maka tergambarlah pada jiwa satu “makna”, kemudian jiwa mengetahui bahwa yang dengar itulah yang dipahami, kemudian tatkala timbul rasa di dalam jiwa maka terjalinlah makna.    
b.     Istilah dalam makna bahasa (linguistic)
Telah ditetapkan dikalangan ulama-ulama arab suatu pemahaman tentang makna bahasa yaitu adanya sosial dan berbagai kebiasaan. Hal ini karena sesuai dengan pendapat ibn sina bahwa karateristik manusia itu membutuhkan dialog (pembicaraan) karena dialog itu sangat penting untuk kebersamaan dan kedekatan.[6]    
Ibn jinni mendefenisikan bahasa adalah beberapa bunyi yang diungkapkan masing-masing kaum (kelompok) yang memiliki beberapa tujuan.
c.      Perbedaaan-perbedaan makna.
Abu Hilal ah-‘Askari mengatakan di pendahuluan kitabnya bahwa beliau tidak melihat satu jenis dari beberapa pengetahuan (ulum) dan seni dari beberapa sastra kecuali telah tersusun di dalam kitab-kitab yang mengumpulkan keasliannya, dan menyusun bagian-bagiannya kecuali kalimat tentang perbedaan antara makna-makna yang saling berdekatan sampai menimbulkan kesulitan membedakan keduanya, seperti kata “العلم  dan “المعرفة”, dan “الفطنة” dgn “الذَكاَء”, dan “الارادة” dengan “المشيئة”, dan “الغضب” dengan “السَخَط”. Dan lain-lainnya.[7]
Perkataan Abu Hilal tentang perbedaan makna antara lain:
-        Perbedaan antara “” dan “”. “” adalah meninggikan suara dengan sesuat yang memiliki makna, sedangkan “” adalah meningikan suara dan merendahkan suara.
-        Perbedaan antara “” dan “”. “” adalah sebutan untuk ucapan yang rahasia yang berbisik kamu dengan temanmu seolah-olah kamu meninggikan suara kepadanya tentang orang lain, sedangkan “” adalah merahasiakan sesuatu di dalam diri. 
3.     Kedudukan Dalalah (Makna)
Kedudukan dilalah (makna), antara lain:
a.      Kedudukan dilalah (makna) dalam al-Qur’an dan Hadis sebagai dasar hukum Islam
Al-qur’an sebagai landasan hukum dalam Islam, yang terdiri dari nash ayat-ayat yang berupa kata-kata (alfazh). Dan setiap kata dalam Al-qur’an memiliki makna (dalalah) yang berfungsi menghubungkan dan sekaligus memudahkan dalam memahami maksud dari ayat dalam Al-qur’an tersebut.
 Al-nash dalam pengertian sederhananya adalah kumpulan dari al-dal, al-madlul, dan al-dilalah. ayat وأقيموا الصلاة ( maka dirikanlah sholat ) ini al-dal. Al-madlulnya wajibnya kita mendirikan sholat. al-dalalahnya penunjukan ayat pada ma'na dirikanlah sholat. Nah kesemuanya ini namanya al-nash.
Dalam hal ini Al-dilalah nash dalam penunjukannya pada suatu makna (al-dalalah bi'tibari kaifiati dalalatihi 'alal ma'na), menurut imam Abu Hanifah itu ada empat, yaitu:
1)      'ibaratu al-nash (عبارة النص)
ibaratu al-nash adalah penunjukan suatu lafadz pada makna yang dimaksud. Penunjukannya itu adakalanya ashalah (أصالة) atau asli, dan ada kalanya taba'an (تباعا) atau mengikuti ma'na yang asli tadi tapi tidak disebutkan dalam nash.
Contoh ayat fankihuu ma thaba lakum minannisai matsna wa tsulasa wa ruba' (maka nikahilah perempuan yang kamu sukai entah itu dua orang, atau tiga atau empat ). Maka 'ibaratu al-nash dari ayat ini yang ashalah adalah bolehnya menikahi perempuan sampai empat orang. sebagaimana disebutkan dalam nash.. Dan makna ibharatu al-nash yang taba'an adalah menikah itu hukumnya boleh. karena hukum menikah boleh itu tidak disebutkan dalam nash. Kemudian bagaimana hukum yang telah dikeluarkan dengan jalan 'baratu al-nash ? hukum istidlal ( mengambil dalil ) dari 'ibaratu al-nash entah yang dimaksud ashalah atau taba'an itu adalah hujjah qat'i (hujjah yang pasti ).
2)      isyaratu al-nash (اشارة النص)
Isyaratu al-nash adalah makna yang dimaksud dari suatu nash selain makna yang dimaksud tapi bukan taba'an.
Contoh : Uhilla lakum lailatassiyami rofatsu ila nisaikum (dihalakan bagimu di malam puasa untuk menyetubuhi istrimu ). "ibaratu al-nash yang ashalahnyanya adalah bolehnya menyetubuhi istri di malam puasa. Lalu yang taba'an adalah Puasa itu Boleh bagi     (sebenarnya wajib. contoh : puasa ramadhan. tapi wajib disini karena ada dalil yang lain. dan bisa juga sunat. contoh puasa senin kamis. tapi dikarenakan ada dalil yang lain juga. Pembahasan ini sudah masuk mutlak muqayyad, dan 'am serta takhsis. tapi itu bukan bahasan kita. Lalu isyaratu al-nashnya kita boleh junub sampai pagi walaupun paginya puasa. Karena boleh menyetubuhi istri dimalam puasa itu otomatis sampai imsak. Dan ketika imsak, secara tidak langsung orang yang bersetubuh masih junub. Hingga orang yang bersetubuh tadi secara otomatis pula sudah keluar dari malam puasa menuju imsak. Hingga dari sini ulama membolehkan orang yang junub untuk tetap puasa walaupun jika sampai imsak belum mandi junub.  Dan hukum isyaratu al-nash juga hujjah qat'i menurut sebagian besar ulama.
3)      dilalatu al-nash (دلالة النص)
Dalalatu al-nash adalah penunjukkan suatu makna terhadap lafadz karena kesesuaian 'illat. "illatnya ada kalanya sesuai dengan yang ada pada nash, atau lebih tinggi.
Contoh : wala taqul lahuma uffin ( janganlah berkata uh pada orangtuamu ). Makna inilah 'ibaratu al-nash. Isyaratu al-nashnya dilarang menyakiti orangtua dengan segala perbuatan yang bisa membuatnya sakit hati. Dan dalalatu al-nashnya : jika 'illatnya sesuai dengan yang ada pada nash : dilarang mendiamkan orangtua. karena kadar mendiamkan orangtua itu sama dengan berkata uh. Adapun yang contoh 'illatnya yang lebih tinggi: memukul orang tua dilarang. karena memukul orang tua itu kadarnya lebih tinggi dari berkata uh. Maka jika berkata uh saja tidak boleh apalagi memukul. Hukum dalalatu al-nas juga hujjah qat'i.
4)     iqtidhau al-nash (اقتضاء النص).
Iqtidhau al-nash adalah penunjukkan suatu lafadz terhadap makna yang tidak terdapat pada nash, dan benar atau tidaknya makna suatu lafadz tadi tergantung dengan iqtidhau al-nash.
Contoh: hurrimat 'alaikum al-maitah ( bangkai haram bagimu )...tapi maknanya tentu bukan hakikat bangkainya yang haram, tapi memakan bangkainya. Maka iqtidhau al-nash disini adalah al akl (memakan ). Contoh lain: hurrimat 'alaikum ummahatukum (ibumu haram bagimu ), iqtidhau al-dalalahnya adalah zawwaj (menikah ). Artinya bukan hakikat ibu anda yang haram, tapi menikahinya yang haram.
b.     Kedudukan dilalah dalam ushul fiqih
Ushul fiqih merupakan dua kata yang mufrad, yaitu “ushul” dan “fiqih” masing-masing kata itu mempunyai pengertian tersendiri . Ushul secara etimologi adalah landasan tempat membangun sesuatu, sedangkan menurut terminologi seperti yang dikemukakakn oleh wahbah az-Zuhaili, guru besar Universitas Damaskus kata “ushul” bermakna dalil, kaidah, al-rajih (yang lebih kuat), asal, dan sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan.[8]
Sedangkan fiqih adalah pengetahuan diri seseorang tentang apa yang menjadi haknya, dan apa yang menjadi kewajibannya (معرفة النفس مالها وما عليها).[9]
  
Sementara itu Ushuliyyah adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan.
Jadi dapat dipahami bahwa kedudukan dilalah dalam ushul fiqih sangat penting dan tidak bisa terpisahkan. Karena dalam ushul fiqih maupun fiqih mengkaji bagian lafaz-lafaz yang harus dikaitkan dengan maknanya yang sesuai.
Pada ushul fiqih terdapat kajian tentang lafaz yang Umum dan Khas. Mujmal dan Mubayyan Hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut lafazh. Agar tidak membingungkan para pelaku hukum, maka lafazh–lafazh yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara ‘itu beraneka ragam, bahkan ada yang kurang jelas (khafa). Suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut mubayyan atau nash. Bila ada dua makna atau lebih tanpa diketahui yang lebih kuat disebut mujmal. Namun bila ada makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir. Dengan demikian yang disebut mujmal adalah lafazh yang cocok untuk berbagai makna, tetapi tidak ditentukan makna yang tidak dikehendaki, baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan pemakaiannya (Al-ghazali:145). Sifat mujmal itu dapat terjadi pada kosa kata (mufradat), seperti lafazh Quru’ (القروء) bisa berarti suci dan haid, dapat juga terjadi pada kata majemuk (murakab) seperti mukhathab yang terdapat pada surat Al-baqarah: 237, yang bisa berarti suami atau wali. Terdapat juga pada kata kerja seperti lafazh asas yang bisa berarti menghadap dan membelakangi, pada huruf seperti pada waw ‘ataf bisa berarti memulai dan menyambungkan (dan). Dan banyak lagi qaidah ushul fiqih yang berkaitan dengan lafaz.
C.    PENUTUP
Dalam urain di atas dapat penulis impulkan bahwa Lafadz adalah susunan beberapa huruf yang mengandung arti. Istilah lafadz berasal dari bahasa Arab dan diartikan sebagai 'kata' dalam bahasa Indonesia seperti kayu, batu, air dan lain-lain. Lafadz ada dua macam: pertama, lafadz mufrod, kedua, lafadz murokkab. Pembagian Lafadz: Lafadz Taqabul, Lafadz Kulli,
Dilihat dari Pengertian Dalalah (Makna) Dalalah / dilalah (الدلا لة ), ada dua istilah yang harus dipahami yaitu: al-dal (الدال) dan al-madlul (المدلول ). Al-dal adalah lafadz. Al-madlul adalah makna lafadz. Dengan melihat dari pengertian di atas maka dalalah adalah:
الدلالة هى فهم امر من امر ويسمى الامر الاول مدلولا والامر الثّانى دالاّ
Dalalah adalah proses pemahaman sesuatu dari sesuatu yang lain, sesuatu yang pertama disebut madlul (yang ditunjuk), sedangkan yang kedua disebut dal (yang menunjuk).  Dilalah lafziyah ini terbagi kepada tiga bagian: Dilalah lafziyyah thabi’iyyah, Dilalah lafziyyah ‘aqliyyah, Dilalah lafziyyah wadh’iyyah. Dilalah Lafziyyah Wadh’iyyah ini dikelompokkan menjadi tiga bagian: Dilalah lafziyyah wadh’iyyah muthabaqiyyah, Dilalah lafziyyah wadh’iyyah tadhammuniyah, Dilalah lafziyyah wadh’iyyah iltizamiyyah. Dilalah ghairu lafziyah antara lain: Dilalah ghairu lafziyyah thabi’iyyah, Dilalah ghairu lafziyyah ‘aqliyyah, Dilalah ghairu lafziyyah wadh’iyyah.
Menurut Chaer (1994), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Antara lain: Makna Leksikal dan Makna Gramatikal, Makna Referensial dan Nonreferensial, Makna Denotatif dan Konotatif, Makna Kata dan Makna Istilah, Makna Konseptual dan Makna Asosiatif, Makna Idiomatikal dan Peribahasa.
Dilalh ini terbgi menjadi tiga
1.Dilalha lafziyah thabiyah
Yaitu dilalah yang berbentuk alami
2.Dilalh lafziyah Aqliyah
Yaitu dilalah yang dibentuk akal fiiran
3.Dilalah lafziyah Wadiyah
Yaitu dilalh yang dengan sengaja dibuat oleh manusia untuk suatu isyarat .Hakikat (ماهية ) dalalah, Adapun hakikat makna (dalalah) berpengaruh kepada psikologi dan sosiologi,  antara lain: Konsep  (tashawwur) dan memori (ingatan), peranan atau fungsi keduanya terletak pada proses bahasa (linguistik) dan interaksi, Istilah dalam makna bahasa (linguistic), Perbedaaan-perbedaan makna.
Kedudukan Dalalah (Makna), antara lain: Kedudukan dilalah (makna) dalam al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam, Kedudukan dilalah dalam ushul fiqih.

















DAFTAR PUSTAKA

Al-Tadzhîb Syarh Al-Khubaishî ‘Alâ Tahdzîbil Manthiq Li Al-Taftâzânî
Baihaki, Ilmu mantik teknik dasar berpikir logic, Jakarta: Darul Ulum Press,2007
Fayiz al-Dayah, Ilmu al-Dalalah al-Arabi, Damaskus: Dar al-Fikri, 1996
aryfatmawati.blogspot.com/2011/hakikat-makna-sebagai-objek semantik.html
Satria Effendi, Ushul Fiqih, Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2005





[1] Al-Tadzhîb Syarh Al-Khubaishî ‘Alâ Tahdzîbil Manthiq Li Al-Taftâzânî
[2] Baihaki, Ilmu mantik teknik dasar berpikir logik (Jakarta: Darul Ulum Press,2007) cet.3, h. 18
[3] Baihaki, Ilmu mantik teknik dasar berpikir logik (Jakarta: Darul Ulum Press,2007) cet.3, h. 38
[4] aryfatmawati.blogspot.com/2011/hakikat-makna-sebagai-objek-semantik.html
[5] Fayiz al-Dayah, Ilmu al-Dalalah al-Arabi (Damaskus: Dar al-Fikri, 1996) h. 13
[6]Fayiz al-Dayah, Ilmu al-Dalalah al-Arabi (Damaskus: Dar al-Fikri, 1996) h. 17
[7] Ibid, h 23
[8] Satria Effendi, Ushul Fiqih (Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP, 2005) cet.3, h. 1-2
[9] Ibid, h. 3

Komentar

Postingan Populer