MAKALAH DALALAH - KONTEKS NON LINGUSTIK 2012 || PASCA IAIN IB




A.    Pendahuluan
Berbicara dilalah yang dikenal dengan semantic  merupakan ilmu yang mengkaji masalah makna. Makna suatu bahasa dapat dipahami dengan memperhatikan teks dan konteks bahasanya.kesalahan dalam mengartikan sesuatu  disebabkan ketidak pahaman terhadap teks dan konteks.
Konteks non linguistic merupakan kajian yang tidak bisa diabaikan dalam memahami suatu makna bahasa, karena suatu teks atau bahasa yang sama diungkapkan dengan cara atau kondisi yang berbeda dapat melahirkan makna  dan pemahaman yang berbeda pula.
Konteks non linguistic membicarakan tentang segala kondisi yang ada diluar kata/ kalimat yang dituturkan bisa berupa  situasi, budaya, dan tingkah laku. Untuk lebih jelasnya pemakalah membatasi permasalahan-permasalahn yang terkait dengan Konteks Non Linguistik diantaranya;
1.     Apa yang dimaksud dengan Konteks Non Linguistik
2.     Macam-Macam Konteks Non Linguistik



























B.    Pembahasan
1.     Pengertian

Konteks secara etimologi bermakna bagian uraian atau kalimat yang dapat mendukung kejelasan makna.[1] secara istilah konteks dimaknai dengan kata-kata dan kalimat-kalimat sebelum dan sesudah kalimat tertentu, atau juga dapat dimaknai dengan keseluruhan lingkungan, tidak hanya lingkungan tutur, tetapi juga lingkungan  keadaan tempat.
Tampa memperhatikan konteks, dapat terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi, jadi dalam berbahasa seseorang harus memperhatikan konteks agar dapat memahami maksud suatu kalimat atau ujaran yang jelas.
Teori konteks merupakan suatu teori kebahasaan yang diperkenalkanoleh aliran London yang disebut dengan Contextual Approach (al-manhaj as-siyaqi) atau Operational Approach (al-manhaj al-‘amali). Firt sebagai aliran tokoh ini telah meletakkan dasar tentang fungsi social bahasa. Tokoh-tokoh yang lain misalnya, Halliday, Mc Intosh, Sinclair,dan Mitchel. Menurut pencetus aliran ini, makna suatu kata terletak pada penggunanya. Selanjutnya Freesh sebagaimana yang dikutip oleh Umar(1982) menegaskan bahwa makna suatu kata tidak akan terungkap tanpa diletakkan kedalam unit bahasa, yakni tanpa diletakkan kedalam konteks yang berbeda pula.[2]

kajian tentang konteks non linguistic dapat diartikan sebagai segala kondisi yang ada diluar kata/ kalimat yang dituturkan, baik itu berupa  situasi,  budaya, dan  tingkah laku dan emosi.
Jadi, ketika kita ingin memaknai suatu kata atau ujaran tentu kita harus memperhatikan situasi terlebih dahulu baru dapat kita artikan ini maknanya ini, karena kata yang sama kita ucapkan dengan intonasi/ situasi yang berbeda akan menimbulkan makna yang berbeda pula, oleh karena itulah pentingnya memaknai suatu kata dengan melihat situasi.











2.     Macam- macam konteks non linguistic
a.      Konteks situasi
Teori yang berkenaan dengan konteks situasi yang digunakan dalam bahasa tidak terlepas dari peran ilmuan yaitu pakar anthropologi Malinowski dan Linguis Firth. Keduanya menggunakan konteks ini dalam memaknai bahasa, meskipun langkah-langkah yang ditempuh diantara keduanya berbeda.[3]
            Malinowski  mulai membicarakan perhatiannya kepada bahasa ketika dirinya berada di pulau Tobriand, Wilayah pasifik selatan. Ia berkepentingan mengkaji masalah makna ketika ia mengalami berbagai kendala dalam menterjemahkan teks-teks bahasa Kiriwinia ke dalam bahasa inggris, agar maknanya sampai dan mudah dipahami. Dalam mengetengahkan teks-teks tersebut, Malinowski  menggunakan berbagai metode. Dia memberikan terjemahan bebas yang dapat dimengerti , tetapi tidak menghasilkan apa-apa yang menyangkut bahasa atau kebudayaannya, kemudian terjemahan harfiah, dengan cara meniru teks aslinya, tetapi tidak dimengerti oleh pembaca inggris. Sehingga ia sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa pemahaman terhadap makna suatu kalimat tidak dapat dilakukan tanpa disertai dengan pemahaman konteks atau situasi di mana atau kapan kalimat itu diutarakan.[4]
Beberapa asumsi Malinowski  tentang bahasa antara lain bahwa bahasa akan sulit dipahami maknanya tanpa pengetahuan tentang apa yang sedang terjadi, sehingga diperlukan konsep konteks situasi.
Gagasan umum tentang konteks situasi untuk pemahaman bahasa inggris atau bahasa besar manapun sama perlunya sebagaimana pemahaman terhadap bahasa Kriwinia. Masalahnya hanyalah pada konteks budayanya yang khas yang berbeda. Kegiatan yang dilakukan orang bisa saja berbeda di satu tempat dengan tempat atau waktu yang lain, tetapi asas umumnya bahwa semua bahasa harus dipahami berdasarkan konteks situasinya, jelas berlaku untuk setiap kelompok masyarakat di setiap tingkat perkembangan.

Meskipun demikian, dalam arti tertentu Firth mengemukakan, bahwa pemikiran Malinowski, tentang konteks situasi tidak begitu lengkap untuk tujuan teori-teori kebahasaan, sebab pandangannya belum bersifat umum. Oleh sebab itu, maka Firth mengembangkan pemikiran Malinowski  dengan pokok pikiran berikut ini.

1)     Pelibat dalam situasi, orang atau tokoh yang berperan utama dalam sebuah situasi.
2)     Tindakan pelibat, sesuatu yang sedang dilakukan baik yang berupa tindak tutur maupun tindakan non-tutur.
3)     Ciri situasi lain yang relevan, berupa benda-benda dan kejadian yang berkorelasi dengan hal yang sedang berlansung.
4)     Dampak tidak tutur, bentuk perubahan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang dituturkan oleh pelibat dalam situasi.[5]

Konteks situasi merupakan segala situasi dan kondisi lingkungan yang muncul bersama-sama dengan hadirnya tuturan. Hal itu dapat berupa media atau saluran yang digunakan, waktu, dan lokasi terjadinya tuturan, pemeran, pelibat, maksud, dan tujuan tuturan. Jadi, konteks situasi ini menunjukkan segala macam aspek yang memungkinkan sebuah tuturan terjadi dan dapat dilaksanakan. Kata " gila", misalnya saja, dapat memiliki makna yang tidak sama manakala muncul dalam konteks tuturan yang berbeda. Orang akan marah besar ketika dikatakan dirinya gila, seperti pada "gila kamu!" dalam konteks tertentu. Tetapi mungkin orang lain akan menaggapi dengan bisa terhadap tuturan yang sama dalam konteks yang berbeda. Orang yang berhasil mencapai prestasi tertentu dalam suatu kondisi tertentu, seiring dikatakan sebagai orang "gila" oleh teman-temannya. Jadi, entitas bahasa yang satu akan bermakna lain dalam konteks tuturan yang tidak sama.[6]

Adapun cirri dari konteks situasi adalah berikut ini.

1)     Medan wacana, menunjukkan pada hal yang sedang terjadi, pada sifat sosial yang sedang belangsung apa sesungguhnya yang disibukkan oleh para pelibat, yang didalamnya bahasa ikut serta sebagai unsure pokok.
2)     Pelibat wacana, menunjukkan pada orang-orang yang mengambil bagian, pada sifat para pelibat, kedudukan dan peran mereka, jenis hubungan tetap dan sementara, dan lain-lain.
3)     Sarana wacana, menunjukkan bagian yang diperankan oleh bahasa, hal yang diharapkan oleh pelibat perankan bahasa dalam situasi itu.

b.     Konteks Budaya
Konteks budaya sebagai salah satu konteks non linguistic merupakan segala aspek yang menunjuk pada keseluruhan jaringan konvensi dan institusi social budaya yang ada dalam sebuah masyarakat dalam kurun tertentu. Istilah merdeka atau mati sepertinya hanya muncul dalam konteks waktu ketika bangsa Indonesia masih berada di bawah cengkeraman penjajah, dan terbukti banyak muncul lagi pada sat-saat sekarang ini. Jadi, jelas sekali pemaknaan suatu teks atau wacana tidak serta dapat dilepaskan dari konteks sosio-kulturalnya. Penidaan terhadap nilai-nilai sosio culturalnya. Peniadaan terhadap nilai-nilai sosio cultural tidak akan mendatangkan makna apa-apa dan siapa belaka.[7]

Jadi, konteks budaya merupakan segala hal yang merujuk kepada budaya dan tataran social sebuah tuturan ditutrkan. Missal lain, kata, uqoilah dalam bahasa arab lebih bergengsi dibandingkan dengan kata zaujah, walaupun  memiliki makna  yang sama, begitu juga dengan penggunaan kata rich dan wealthy dalam budaya inggris yang memiliki makna yang sama tapi berbeda.[8]

c.      Konteks perilaku
Menurut Malinowski  dan Firth, deskripsi terhadap suatu bahasa tidak terjadi secara sempurna kecuali dengan merujuk kepada konteks situasi dari suatu peristiwa bahasa tertentu. Namun , ada beberapa pendapat lain yang dikemukakan oleh para pakar linguis, bahwa maka teks atau wacana dapat diperoleh dengan memperhatikan aspek situasi, namun situasi di sini lebih ditekan kepada tingkah laku, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bloomfield.
Bloomfield menjelaskan teori ini dengan mengemukakan sebuah contoh percakapan anatara "Jack dan Jill" di tengah percakapan Jill merasa lapar, dan ia melihat buah apel, lalu ia menggunakan bahasa untuk memintanya dari Jack untuk dirinya. Seandainya dia dalam keadaan sendiripun, pasti ia akan mengambil buah apel tersebut.
Dari peristiwa tutur di atas, tampak bahwa yang terjadi adalah adanya stimulus, yang mempengaruhi dan respon, yang dipengaruhi, sehingga ia bergerak untuk mendapatkan apel tersebut. Akan tetapi karena Jack sedang bersamanya, maka ia tidak memberikan respon secara langsung berupa gerak, akan tetapi respon bahasa, meminta kepada Jack untuk mengambil apel untuk dirinya.
Dari beberapa contoh di atas, maka Bloomfield berkesimpulan bahwa makna dapat dipahami dari korelasi antara tuturan dan tindakan alami yang dilakukan atau sesudah tuturan tersebut.[9] Pendapat Bloomfield tentang stimulus dan respon ini mendapatkan banyak bantahan dari berbagai pihak, hingga dikatakan bahwa pendapatnya tidak benar karena tidak dapat diterapkan secara umum. Hal ini juga yang menjadikan teorinya tidak mashur, lain halnya dengan teori lain yang lebih dapat menjelaskan makna kalimat, dengan melihat stimulus yang teramati dan respon. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh para psikolog, yaitu yang mungkin dilakukan di laboratorium seperti  yang dilakukan pada tikus atau makhluk lain, dengan cara tertentu dan mendapatkan hasil yang akurat dan terpercaya.
Sedangkan dalam sumber lain dinyatakan bahwa masih ada bentuk konteks yang lain, yaitu konteks emosi. Konteks ini berdasarkan kepada kekuatan dan kelemahan emosionalisme, untuk berbagai tujuan yang diinginkan penuturnya, contoh, kata cinta dalam bahasa inggris tidak bermakna sama dengan kata suka, meskipun dalam tataran makna yang sama yaitu kasih sayang.[10]


















C.    Penutup  
Sebagai kesimpulan makalah ini pemakalah memaparkan beberapa poin diantaranya..
1.     Konteks non linguistic dapat diartikan sebagai  segala kondisi yang terdapat di luar kata atau kalimat yang dituturkan.
2.     Konteks non linguistic dapat berbentuk situasi, budaya, tingkah laku, dan emosi.
Dari berbagai konteks tersebut member peran yang berbeda pada kalimat yang dituturkan, dan dapat melahirkan makna yang berbeda-beda terhadap satu tuturan.


































DAFTAR PUSTAKA




Arifuddin, Nur, Teori PengertianKonteks, Http: Bagus. Blogspot. Com, 2012
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997
Ibrahim Sayid, Sabri, Ilmu Dilalah Itharun Jadid,Iskandar: Darul Ma’arifah al-Jami’iah, 1995
M.A.K. Halliday, Bahasa konteks dan Tek,Yokyakarta:UGM Pres, 1992
Muhtar Umar, Ahmad, Ilmu Dilalah, Kairo: Ilmu Kutub, 1993
Rahardi, kuncana, Dimensi-Dimensi Kebahasaan, Jakarta: Erlangga, 2001





[1] Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1997)h., 522
[2] Nur Arifuddin, Teori Pengertian Kontek s, ( Http: Bagus blogspot. Com, 2013) h.,1
[3] Sabri Ibrahim Sayid, IlmuDilalah Itharun Jadid,( Iskandar: Darul Ma’arif al-Jami’iah 1995),h., 74
[4] M.A.K. Halliday, Bahasa Konteks dan Teks ( Yokyakarta: UGM Pres, 1992), h., 7
[5] Ibid,h., 10-11
[6] Kunjana Rahardi, Dimensi-Dimensi Kebahasaan,( Jakarta: Erlangga, 2001), h., 100
[7] Ibid, h., 101
[8] Ahmad Muhtar Umar, Ilmu Dilalah, ( Kairo: Ilmu Kutub, 1993), h., 71
[9] Sabri Ibrahim Sayid, Op.Cit, h., 81-85
[10] Ahmad Muhtar Umar, Op.Cit, h., 70-71

Komentar

Postingan Populer