MAKALAH DALALAH 2012 || PASCA IAIN IB



ABSTRAK

Bahasa semenjak lama telah berhasil menarik perhatian para pemikir, sebab bahasa adalah salah satu roda utama yang menjalankan kehidupan manusia semenjak diciptanya, baik dalam berfikir terlebih lagi dalam hal berkomunikasi antar sesama manusia. Peranan bahasa tak seorang pun akan memungkirinya. Dan dengan bahasa pula sejarah pun tercatatkan dalam buku-buku. Bahkan kitab-kitab suci yang dianggap sakral bagi ummat-ummat terdahulu oleh manusia termaktubkan dengannya. Orang-orang Hindustan sebagai contoh memiliki kitab suci, Weda yang tak lain juga merupakan seumber studi bahasa dan daya ucap khususnya. Dan dari sinilah sejarah permulaan bahasa dianggap sebagai mata perlajaran dan studi.
Namun tak ada yang luput dari perdebatan dan perselisihan terhadap sesuatu yang belum jelas secara pasti keberadaannya atau kelahirannya. Demikian halnya dengan bahasa, sejarah lahirnya pun menuai perdebatan. Banyak pendapat yang dilontarkan oleh para saintis sejarah dan bahasa mengenai kapan dan dari mana awal kemunculan bahasa di tengan manusia. Di antara deretan pendapat itu ada yang mengatakan keberadaan bahasa erat kaitannya dengan hubungan antara kata dan makna, sama halnya eratnya hubungan antara api dan asap. Jadi bahasa ad-dalalah pun lebik fokus pada hubungan erat antara kat dan makna. Olehnya ada dua sisi yang saling kait-mengait dalam bahasan ini, hubungan antara kosakata dan kalimat, hubungan lafaz dan makna.


PENDAHULUAN

Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap disiplin ilmu tidak serta-merta lahir dengan kesempurnaan layaknya manusia yang mengalami pertumbuhan dari satu fase ke fase lainnya. Demikian juga dengan disiplin ilmu ‘Ilmu ad-Dilalah yang notabennya merupakan bagian dari disiplin ilmu ‘Ilmu al-Lughah mengalami hal yang sama dalam kemunculan di tengah kerumunan para saintis bahas. Bermula dari adanya perselisihan antara saintis bahasa yang masih dan senantiasa mempertahankan paham al-ashalah (kemurnian dan keaslian) dan saintis mu’asharah yang ingin melihat adanya perubahan dalam bahasa arab. Selanjutnya saintis teloran baru ini berusaha menembus aral dalam penelitian kebahasaannya tanpa menoleh kearah kemurnian dan kekhususan daya fikir dan daya ucap bahasa arab. Hasilnya mengakibatkan kerancuan pengetahuan antara turats arabi ilmu dan kebutuhan ilmiah lughawiah.
Olehnya, jikalau kita ingin mendasarkan suatu pemikiran arabmua’sharah yang menggeluti pembahasan bidang bahasa, tentunya kita mesti menghilangkan pemikiran secara lughawi terhadap turats; penelitinya; mengklarifikasi bahasanya dan memilah nilai-nilai positif dan negatifnya dalam cakupan standar tingkatan tema dan metode. Namun hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan melihat kembali sejarah pemikiran arab secara umum dan pemikiran bahasa secara khusus, dan pastinya tuk kembali ke sana ada begitu banyak jalan yang mesti kita lewati dan lalui, kita mesti mengetahui sejarah perkembang bahasa dalam pemikiran arab. Hal ini tentunya tidak akan terlepas dari beberapa disiplin ilmu lain yaan langsung dengan bahasa. Dan pada akhirnya, kita dapat menjaga kemurnian dan keaslian turats, disamping mengetahui metode pemikiran yang layak dan pantas dipergunakan dalam pembahasan kebahasaan. Dan hasilnya, lahirlah tDan hasilnya, lahirlah teori daya ucap arab yang berbasis mu’asharah dam mampu memberikan kontribusi bagi pemikiran manusia yang kian lama kian mengalami perkembangan.
Teori daya ucap arab ini tidak akan ada jikalau kita tidak menggabungkan antara teori daya ucap barat dan daya ucap arab sehingga menghasilkan teori daya ucap arab yang bersifat mu’asharah. Dan dalam penggabungan keduanya ada satu hal yang patut kita ingat yaitu corak pemikiran arab, sebab untuk memahami metode arab pada setiap disiplin ilmu turas, mesti mengaitkannya dengan kehidupan pemikiran orang arab, disamping mengenal corak berfikir orang arab secara umum yang tumbuh, berkembang dan mengakar dalam naungan al-Qur’an. Sebagaimana diketahui bahwa para pemikir islam dalam menyikapi setiap cabang suatu disiplin ilmu mereka terlebih dahulu memulainya dengan praktek sebelum meletakkan dasar-dasar metode dan teori.


PEMBAHASAN

A.    Pengertian Dilalah
Istilah ‘ilm ad-dilalah atau semantik dalam bahasa indonesia dan semantics dalam bahasa inggris, berasal dari bahasa yunani sema (nomina) yang berarti tanda atau lambang atau semanio (verba) yang berarti menandai, berarti atau melambangkan. Dalam sumber lain, disebutkan kata semantik itu berasal dari bahasa yunani, semantike, bentuk muannats dari semantikos, yang berarti menunjukkan, memaknai atau to signify. Kridalaksana dalam kamus linguistik memberikan pengertian ilmu semantik, bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna wicara. Sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa dan bahasa pada umumnya.
Semantik merupakan suatu bagian dari tata bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa dan semantik. Semantik diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna. Dalam bahasa arab ‘lmu ad-dilalah terdiri dari dua kata yaitu: ‘ilmu yang berarti ilmu pengetahuan danad-dilalah yang berarti petunjuk atau makna. Jadi ilmu ad-dilalah menurut bahasa adalah ilmu pengetahuan tentang makna.
Secara terminologis, ‘ilm al-dalalah sebagai salah satu cabang linguistik (‘ilm-al-lughoh) yang berdiri sendiri yaitu ilmu yang mempelajari tentang makna suatu bahasa, baik pada tataran mufrodat (kosa-kata) maupun pada tataran tarakib (struktur).
Ahmad Mukhtar ‘Umar mendefinisikan ‘ilm ad-dalalah sebagai berikut :[1]
دراسة المعنى أو العلم الذي يدرس المعنى أو ذلك الفرع من علم اللغة الذي يتناول نظرية المعنى أو ذلك الفرع الذي يدرس الشروط الواجب توافرها فى الرمز حتى يكون قادرا على حمل المعنى
“Kajian tentang makna, atau ilmu yang membahas tentang makna, atau cabang linguistik yang mengkaji teori makna, atau cabang linguistik yang mengkaji syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengungkap lambang-lambang bunyi sehingga mempunyai makna.”[2]
Kajian dilalah hanya berkisar tentang lafaz dan maknanya saja, untuk memahami makna atau maksud dari sebuah ungkapan, seseorang tidak cukup memahami ungkapan yang disampaikan oleh sipembicara terkadang satu ungkapan akan melahirkan makna yang berbeda dikalangan para pendengar. Sebuah ungkapan hanya bisa dipahami secara sempurna dengan kajian kondisi dan kemungkinan-kemungkinan yang berkaitan dengan ungkapan, kondisi sipembicaran sipendengar mesti dipahami lebih dahulu sebelum memahami ungkapan yang disampaikan.
Sebuah ungkapan yang diucapkan akan memberikan pemahaman yang benar jika telah terjalin kesepakatan antara sipembicara dan sipendengar pada kondisi-kondisi yang berada di luar teks sehingga seorang pendengar dapat merespon dengan baik setiap ungkapan yang disampaikan oleh sipembicara.[3]

B.    Pembagian Dilalah
Suatu ungkapan yang disampaikan mengandung berbagai jenis atau bentuk dalalah yang dapat dibagi menurut klasifikasinya sebagai berikut:
1.     Dilalah sautiyah/fonologi
Yaitu dilalah yang lahir dari tabi’at beberapa suara atau ponem yang terkandung dalam sebuah ungkapan, seperti kata تنضخ  menurut pakar linguistik arab klasik kata ini menunjukkan makna air memancar dengan kuar dan tidak beraturan jika dibandingkan dengan kata تنضح  yang menunjukkan makna air mengalir dengan tenang dan lambat. Dengan ini kita dapat memahami bahwa huruf خ pada contoh pertama memiliki peran terhadap dalalah kata tersebut sehingga pendengar dapat memahami kata تنضخ dengan makna air memancar dengn kuat dan tidak beraturan pemahaman ini merujuk kepada pengaruh suatu ponem atau beberapa ponem terhadap ponem yang lain dalam sebuah perkataan yang diungkapkan.
Diantara unsur-unsur penting yang dimiliki oleh dalalah sautiyah ini terdapat sesuatu unsur yang dinamakan dengan النغمة الكلامية (intonasi), unsur intinasi ini memainkan peranan penting dalam berbagai bahasa seperti ungkapan bahasa ‘amiyah لايشخ؟ yang dapat diungkapkan dalam berbagai intonasi iap intonasi memiliki dalalah yang khusus. Ia terkadang dipahami sekedar sebuah pertanyaan atau sebuah ejekan atau sebuah ungkapan keheranan.
2.     Dilalah sorfiyah/morfologi
Ialah dalalah yang dipahami dengan cara menganalisa sighad dan bentuk  sebuah kata seperti perkataan atau kalimat كذاب dan kalimat كاذب kata pertama mengandung makna mubalaghah yang maknanya lebih kuat dari kata كاذب.
3.     Dilalah nahwiyah/sintaksis
Sebuah ungkapan harus tersusun dengan benar. Jika tidak sulit dipahami maksud dari ungkapan itu.
4.     Dilalah mu’jamiyah atai ijtima’iyah/leksikal atau psikologi
Setiap kata dalam sebuah bahasa memiliki dalalah mu’jamiyah atau ijtima;iyah, yang berdiri sendiri dan merupakan dalalah tambahan bagi dalalah asasiyah (dalalah sautiyah dan sorfiyah) yang dimiliki oleh kata itu. Dalalah tambahan ini dinamakan dalalah ijtima’iyah seperti kata-kata كذاب menunjukkan kepada seseorang yang memiliki sifat pendusta, inilah yang dinamakan dengan dalalah ijtima’iyah.
Seorang pendengar dapat memahami sebuah ungkapan dengan benar jika ia telah menguasai semua jenis dalalah di atas ia tidak perlu memahami undang-undang nahu saraf dalam bentuknya yang rumit seperti yang terdapat pada karangan pakar-pakar nahu terdahulu, akan tetapi ia cukup mengetahui semua ilmu itu melalui mendengan dan mengucapkan (talakhi dan musafaha) usaha ini membutuhkan waktu yang panjang sebelum seseorang benar-benar menguasai bahasa sehingga menjadi kebiasaan (adat dalam berbicara) tanpa perlu mendalami sfesifikasi bahasa itu seperti yang dilakukan oleh pakar nahu saraf yang terdahulu.
Dilalah sautiyah, sorfiyah, dan nahwiyah akan dapan menjadi sebuah kebiasaan setelah melakukan latihan yang cukup sehingga ia dapat digunakan sebagai sarana untuk memahami sebuah ungkapan tanpa memerlukan usaha yang besar. Tahapan inilah yang dikenal oleh pakar linguistik dengan istilah saliqah lughawiyah.[4]
C.    Ruang Lingkup Dilalah
Menurut Batir dalam ilmu dilalah dalam paradigma baru, menyatakan bahwa ruang lingkup kajian dilalah/semantik meliputi: penamaan, konsep, pengertian, ragam makna dan satuan semantik.
Menurut Ahmad Muhammad Qadur ruang lingkup ilmu dilalah/semantik adalah studi makna dalam meliputi kosa kata dan tarkib. Meskipun demikian pemahaman utamanya adalah pengkhususan lapangan ilmu semantik pada studi tentang kosakata serta semua masalah yang berkaitan dengannya.[5]
Dilihat dari perspektif metode linguistik historis dan deskriptif, ‘ilm al-dilalah dibagi menjadi dua, yaitu ‘ilm al-dilalah al-tarikhi (semantik historis) dan ‘ilm al-dilalah al-washfi (semantik deskriptif). Yang pertama mempelajari perubahan makna dari masa ke masa, sedangkan yang ke dua mempelajari makna pada kurun waktu tertentu dalam sejarah suatu bahasa. Yang pertama menurut istilah Ferdinan de sausssure, disebut studi diaktorik, yaitu mengkaji tentang perubahan-perubahan makna ( makna yang berubaha), sedangkan yang kedua disebut sinkronik, yaitu mengkaji hubungan-hubungan makna (makna yang tetap) dari suatu bahasa dalam kurun waktu tertentu.
Adapun ruang lingkup kajian ‘ilm al-dilalah berkisar pada:
1.     Bahasa
2.     Ad-daal wa al-madluul (kata dan makna).
3.     Perkembangan makna, sebab dan kaedahnya, hubungan kontekstual dan situasional dalam kehidupan, ilmu dan seni
4.     Majaz (kiasan)
Untuk lebih jelas tentang ruang lingkup ilmu dilalah tersebut ada pembahasan berikutnya yang lebih khusus membahasa tentang ruang lingkup ilmu dilalah.
D.    Pendapat-pendapat para ilmuan yang terpokus pada dilalah
1.     Teori, Metode dan Pemikiran Ibnu Jinni
Seperti umumnya para linguis besar dalam tradisi linguistic Arab, semisal Sibawaih, al-Farra’, al-Farisi, al-Zamakhsyari, dan lainnya yang berlatar belakang teologi Mu’tazilah, Ibnu Jinni pun termasuk dari komunitas tersebut. Mu’tazilah adalah komunitas intelektual yang mengedepankan cara berpikir rasional.
Hanya saja, kerasionlan Ibnu Jinni dicurahkan untuk memikirkan obyek-obyek linguistic dan merumuskan teori-teori yang diharapkan bisa diterima oleh semua mazhab. Meskipun Ibnu Jinni penganut Mazhab Bashrah dan berupaya mempertahankan pandangan-pandangannya, dia tidak fanatik, bahkan ia tak segan mengambil teori-teori dari tokoh Mazhab Kufah, seperti al-Kisa’i dan Sa’lab. Bahasa yang digunakan pun cukup santun, tidak melemparkan kritik pedas layaknya persaingan mazhab nahwu. Dia menghargai pendapat yang bersebrangan dengan pendapatnya atau mazhabnya, karena baginya “…fa al-haqqu ahaqqu ‘an yutba’ ayna halla” ‘kebenaran lebih berhak atau lebih layak untuk diikuti di manapun ia berada’
Oleh karena itu, untuk membangun teori linguistiknya, Ibnu Jinni menggunakan metode ilmiah, menjadikan bahasa sebagai objek ilmiah, menggabungkan metode deskriptif dan filsafati (rasional) sebagai piranti analisisnya. Metode deskriptif ia gunakan dalam melihat realitas dan hakekat bahasa. Baginya, bahasa adalah realitas sosial. Oleh karena itu, semua bahasa yang muncul di tengah masyarakat adalah memiliki status yang sama. Ini seperti terlihat dalam definisinya mengenai nahwu yang menurutnya ialah “meniru cara bertutur orang Arab, segi perubahan I’rab-nya dan pola yang lain, seperti meniru pola bentuk dual (tasniyyah), plural (jamak), tahqir (tasgir), jamak taksir (irregular), idafah, penisbatan (al-nasab), struktur kalimat dan lain sebagainya. Ini semua agar orang non-Arab bisa bertutur sefasih orang Arab…”. Di sini, Ibnu Jinni tidak membatasi bahasa orang Arab dari suku tertentu, atau bahasa Arab dari level tertentu yang dapat ditiru.[6]
Adapun metode filsafati ia gunakan untuk menguraikan alasan-alasan, sebab-sebab (al-ta’lilat) yang tersembunyi di balik gejala atau fenomena bahasa. Meskipun demikian, hamper seluruh ta’lil yang dilakukan oleh Ibnu Jinni adalah ta’lil sosial, artinya, semua alasan-alasan yang ia kemukakan dikembalikan pada para penutur bahasa itu sendiri. Penggabungan dua metode Ibnu Jinni ini, dapat terbaca jelas dari uraian, analisis, juga berbagai definisi yang ia rumuskan tentang “al-qaul, al-kalam, al-lugah, al-nahw, al-I’rab, al-bina, asl al-lugah “ dan lain-lain.
a. Perbedaan Kalam dan Qaul
Jauh sebelum Ferdinand de Saussure , bapak linguistic modern Eropa, khususnya aliran structural-deskriptif, menggagas tiga terminologinya yang masyhur : parole, langage, dan langue, di Bagdad, meskipun dalam konteks dan pengertian yang berbeda dari De Saussure, Ibnu Jinni dengan cerdas dan jeli telah memulai bukunya, al-Khasais, dengan membahas perbedaan antara makna “kalam” dan “qaul”.
Ibnu Jinni mempraktekkan teorinya yang ia sebut al-isytiqaq al-akbar, yaitu penyimpulan makna dari suatu kata yang memiliki suku kata yang sama. Tiga suku kata ق و ل (qaf, wawu,lam) bisa dibolak-balik menjadi enam pola yaitu :
ق و ل – ق ل و – و ق ل – و ل ق – ل ق و – ل و ق
Menurutnya, keenam pola tersebut menunjukkan makna yang sama, yaitu “ringan dan cekatan” (al-khufuf wa al-harakah). Ibnu Jinni lebih lanjut memberikan contoh masing-masing dari semua bentuk tersebut. Sedangkan, tiga suku kata ك ل م meskipun diubah dan dibolak-balik pola dan bentuknya seperti
ك ل م – ك م ل – ل ك م – م ك ل –ل م ك
Dari kelima bentuk tersebut, kecuali bentuk yang terakhir, menunjukkan makna yang sama, yaitu “kuat dan keras” (al-quwwah wa al-syiddah).
Setelah selesai mnguraikan makna kata dari derivasi suku kata qaf, wawu, lam, dan kaf, lam dan mim di atas, selanjutnya Ibnu Jinni mendefinisikan “kalam” dan “qaul”.
Kalam ialah setiap ujaran yang berdiri sendiri dan memiliki makna yang oleh kalangan ahli nahwu disebut “jumlah” seperti ujaran, زيد أخوك، قام محمد، ضرب سعيد، فى الدار أبوك، صه، مه dan lain sebagainya.
Adapun qaul, pada dasarnya ialah setiap ujaran yang mudah diucapkan oleh lidah kita, baik yang berdiri sendiri dan bermakna (jumlah mufidah) maupun tidak. Jadi, pengertian kalam lebih umum daripada qaul, setiap kalam adalah qaul, dan tidak sebaliknya.
Kata “qaul”, digunakan dan mengandung makna keyakinan atau pandangan (al-I’tiqadat wa al-‘ara), seperti, “Fulanun yaquulu bi qauli Abi Hanifata, wa yazhabu ilaa qauli Maalik”. Pernyataan tersebut tidak sekedar menyatakan bahwa si Fulan meniru ucapan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik tanpa menambah atau mengurangi, tetapi yang dimaksudkan ialah bahwa si Fulan itu mengikuti (meyakini) pendapat dan gagasan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik.
Keyakinan dan ide dilambangkan dan diekspresikan dengan “qaul”, bukan dengan “kalam” karena antara keyakinan dan ide lebih mirip dengan qaul daripada dengan kalam. Kemiripannya ialah karena keyakinan dan ide tidak dapat dipahami atau dimengerti kecuali melalui media yang lain, yaitu lambing bunyi atau ujaran. Ini sama dengan qaul yang terkadang maknanya tidak bisa dimengerti kecuali melalui media lain. Contohya ialah jika seseorang berkata, “qaama” ‘berdiri’, maka kata tersebut belum dapat dipahami karena belum sempurna.
Oleh karena itu, agar kata tersebut dapat dipahami, diperlukan bantuan yang lain, yaitu “fail”, qama Zaidun, misalnya. Jadi, antara qaul yang untuk kesempurnaan maknanya memerlukan bantuan yang lain, ini berarti sama dengan keyakinan dan ide yang agar keduanya bisa dimengerti juga memerlukan bantuan yang lain, yaitu lambang kata.
Adapun “kalam” tidak demikian, ia adalah kalimat yang mandiri, sempurna maknanya, tidak memerlukan bantuan yang lain. Oleh karena itu, kata Ibnu Jinni, bahwa bukti adanya perbedaan antara keduanya ialah telah menjadi kesepakatan bersama menyebut al-Qur’an dengan Kalamullah, bukan Qaulullah.
b. Isytiqaq Kabir
Isytiqaq ada dua macam, shaghir dan kabir. Yang pertama (isytiqaq shaghir) dikaji dalam ilmu sharaf , misalnya isim fa’il atau isim maf’ul yang diambil dari masdarnya seprti قائل dan مقول dari kata قول . Yang kedua (isytiqaq kabir) dikaji dalam fiqh lughah. Menurut Ibnu Jinni, kata-kata dalam bahasa Arab yang berasal dari tiga huruf yang sama meskipun urutan hurufnya berbeda memiliki makna umum yang sama. Misalnya kata-kata berikut ini : جبر جرب- بجر- رب- برج رجب mempunyai makna umum yang sama yakni القوة والشدة (kekuatan dan kekerasan ).
c. Tashaqub al-alfaz litashaqub al-ma’ani
Intinya adalah bahwa kata yang hurufnya berdekatan (tidak sama persis) maka maknanya juga berdekatan, misalnya: هزّ ؛ أزّ yang artinya القلق ؛ الإزعاج yakni mengejutkan dan kegelisahan, قطف ؛ قطع juga mempunya arti yang berdekatan yakni memotong dan memetik.
Maka dalam memahami esensi makna kata perkata dapat dilakukan penelusuran terhadap kata-kata lain yang huruf-hurufnya sama atau berdekatan.
d. Dalalah
Dalalah oleh Ibnu Jinni dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Dalalah lafziyyah, yaitu makna yang ditimbulkan oleh lafal atau suara dari kata tersebut, misalnya ضرب menunjukkan suara pukulan (tentunya untuk kata-kata yang berasal dari peniruan suara, atau intonasi untuk kata yang bukan berasal dari peniruan suara).
2. Dalalah shinaiyyah, yaitu makna yang dipengaruhi oleh bentuk kata atau shigah, dalam bentuk madly menunjukkan adanya perbuatan dan waktu perbuatan tersebut . Perbedaan antara kata صابر dan صبور , yang pertama berarti orang yang sabar, yang kedua berarti orang yang sangat sabar. Perbedaan makna ini disebabkan oleh perbedaan shighah.
3. Dalalah ma’nawiyyah, yaitu makna terjadinya pemukulan oleh pemukul terhadap terpukul, yakni penyampaian gagasan (fikrah) melalui simbol bahasa.
e. Al-Lugah ‘bahasa’
Kata لغة mengikuti wazan فعلة berasal dari kata لغوت bermakna ‘saya berbicara’. Akar katanya adalah لغوة seperti كرة dan قلة juga وثبة yang semuanya mengandung huruf lam dan wawu , karena orang Arab mengatakan كروت dan قلوت . Bisa juga kata لغة berasal dari kata لغي – يلغي yang bermakna ‘bicara yang tak berarti’, dimana bentuk masdarnya adalah اللغا atau اللغو .
Adapun definisi bahasa adalah, “aswatun yu’abbiru bihaa kullu qaumin ‘an agraadihim” ‘bunyi yang diekspresikan oleh semua kelompok masyarakat untuk menyatakan maksud mereka’. Aspek bunyi ini yang nampaknya menjadi titik tekan Ibnu Jinni, hal ini diperkuat lagi dalam ulasannya seputar perubahan tanda I’rab yang terjadi pada huruf akhir kata benda dalam sebuah kalimat. Menurutnya, yang menjadi factor pengubah adalah bukan apa yang disebut dalam tradisi nahwu dengan “aamil”, tetapi manusia itu sendiri yang merubah I’rab-I’rab tersebut. Kemudian, dia mencontohkan kalimat ضرب سعيد جعفرا . Kata daraba pada kalimat tadi, sejatinya tidak berpengaruh apa-apa, karena kata daraba ialah kata yang terdiri dari suku kata dad, ra’ dan ba’, mengikuti wazan fa’ala yang hanya merupakan bunyi atau suara, sedangkan suara termasuk sesuatu yang tidak dapat melakukan perbuatan.
Paparan Ibnu Jinni tentang perbedaan kalam dan qaul dari aspek fungsi penggunaannya ialah representasi dari rasionalitasnya yang disukung oleh fakta-fakta, sedangkan definisi bahasa yang melibatkan unsur bunyi, penuturnya, unsure komunikasi dan penegasan perbedaan bahasa setiap suku bangsa adalah mewakili dimensi sosiologis yang mengaitkan bahasa dengan perilaku manusia. Dengan demikian, pengetahuan bahasa pun bersumber dari fakta bahasa, atau hasil deduksi dari fakta atau fenomena bahasa, bukan dari murni akal manusia.
Di sisi lain, pendefiniasian bahasa oleh Ibnu Jinni ini nampaknya menandai perubahan metodologi kajian linguistic Arab. Umumnya, para linguis sebelum Ibnu Jinni atau bahkan mereka yang semasa dengannya, tak satu pun yang membuat definisi bahasa. Indikasinya, hampir semua literature Arab modern ketika mendefinisikan bahasa selalu mengacu pada definisi Ibnu Jinni, baru kemudian mengacu definisi tokoh-tokoh yang muncul setelah Ibnu Jinni, seperti Ibnu Khaldun (1332 M – 1406 M), yang mendefinisikan bahasa sebagai, berbagai peristilahan yang telah digunakan oleh umat (penuturnya) untuk menyatakan maksudnya. Pernyataan ini berupa tindakan verbal, karenanya ia mestilah melekat kuat pada organ yang berfungsi menyatakan, yaitu lisan. Setiap bangsa memiliki bahasa mereka sendiri.
f. Arbitrer sebagai Dasar Pemilihan Huruf dan Penyusunan Kata
Pada umumnya, kata dalam bahasa Arab terdiri dari dari tiga huruf. Komposisi dan pemilihan huruf-huruf tersebut bersifat arbitrer, hal ini seperti diisyaratkan oleh Ibnu Jinni sebagai berikut.
“Ketahuilah, bahwa ketika seorang penggagas atau peletak istilah dalam suatu bahasa hendak melakukan penyusunan sebuah kata, dia akan mengerahkan segenap pikirannya. Dengan inteleknya ia mencermati segi-segi yang universal dan yang particular. Dia sadar harus meninggalkan fonem yang buruk (susah) jika dirangkai seperti kata قج , هع , dan كق , dia juga tahu bahwa kata yang panjang dan membosankan karena memiliki banyak huruf tidak bisa diubah dalam bentuk yang moderat dan paling ringan, yaitu bentuk sulaasi (kata yang terdiri dari tiga huruf). Oleh karena itu, gambaran-gambaran tadi menuntut dia untuk memakai sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. Jadi, huruf-huruf pembentuk kata itulah yang mendorong orang menyeleksinya. Kejadian ini seumpama setumpuk harta yang ditaruh di depan pemiliknya, dia ambil sebagian untuk digunakan dan menyimpan sebagian yang lain, dia seleksi mana benda yang bagus dan mana yang jelek , lalu yang jelek dia buang semua. Ini sama dengan mereka yang membuang huruf-huruf yang tak layak untuk disusun atau dirangkai. Kemudian, apa yang telah dia ambil itu ia tunjukkan sisi baiknya, dan dia gunakan sesuai yang diperlukan, dan meninggalkan sebagian karena alasan seperti yang telah saya kemukaka. Dia juga tahu jika seandainya dia ambil apa yang telah dia buang untuk mengganti yang telah disimpan, itu bisa saja demikian dan dapat juga memenuhi keperluannya, misalnya, jika seseorang mau menggunakan kata لَجَع sebagai ganti dari kata نجع toh bisa saja dan sudah memenuhi maksudnya…”
Penjelasan Ibnu Jinni diatas mengilustrasikan konsepsinya mengenai langkah-langkah pembentukan atau penyusunan kata sebagai berikut:
1. Membuang (mensortir) kata-kata yang susah dibunyikan. Pada umumnya, kasus seperti ini ialah kata-kata yang terbentuk dari huruf yang memiliki makhraj (fonem) yang sama, seperti kata هع di mana huruf ha dan ‘ain sama-sama huruf halaq.
2. Menghindari, bukan membuang sama sekali, kata yang memiliki banyak huruf, seperti yang terdiri dari empat huruf al-ruba’i) dan yang terdiri dari lima huruf (al-khumasi).
3. Melakukan seleksi pada kata-kata yang terdiri dari tiga huruf (al-sulatsi), karena jenis kata sulatsi inilah yang paling banyak ditemukan, dan tak mungkin memakai semuanya.
4. Ukuran atau standar penyeleksian bersifat arbitrer, tidak ada ukuran baku, tergantung peletak atau penyusunnya.
g. Qiyas sebagai Metode Penciptaan Bahasa Baru
Menurut Ibnu Jinni, bahasa adalah sebuah system yang pembentukannya mestilah didasarkan atas kepentingan penggunanya, karena bahasa adalah milik masyarakatnya secara kolektif, bukan milik individu tertentu. Oleh karena itu, tak semestinya seorang individu tertentu menciptakan bahasa di luar yang diperlukan atau tidak disepakati masyarakatnya. Sikap seperti inilah yang nampaknya dipraktekkan oleh masyarakat Arab. Pada umumnya, mereka tidak memiliki perbedaan bahasa antara satu suku dengan yang lain. Perbedaan yang terjadi sangat sedikit dan tidak berarti apa-apa disbanding dengan kesamaannya.
Ibnu Jinni menciptakan metode Qiyas yang sebelumnya dibahas juga oleh gurunya Al-Farisi . Qiyas adalah metode penciptaan bahasa baru, Ibnu Jinni membaginya dalam empat criteria:
1. Umum terjadi dalam qiyas dan penggunaannya sekaligus. Kriteria inilah yang seyogyanya terjadi, seperti mengiaskan pada kalimat “qaama Zaidun, darabtu ‘Amran, dan marartu bi Sa’idin”. Maksudnya, mengiaskan bahwa seiap subyek tunggal (fa’il mufrad) ditandai I’rab rafa’, obyek tunggal (maf’ul bihi) ditandai I’rab nasab, dan kata benda yang dimasuki huruf jar ditandai dengan I’rab kasrah.
2. Umum terjadi dalam qiyas, tetapi jarang digunakan seperti bentuk fi’il madi dari kata يذر dan يدع . Artinya, kedua kata tersebut boleh digunakan dengan cara qiyas, tapi jarang digunakan. Juga seperti kata مبقل dalam perkataan orang Arab مكان مبقل ‘daerah yang penuh dengan rerumputan/daerah subur’. Bentuk kata “mubqil” meskipun digunakan oleh masyarakat dan betul menurut qiyas, tetapi masyarakat lebih memlih menggunakan kata باقل (baaqil), makaanun baaqilun, bukan makaanun mubqilun.
3. Banyak digunakan, tetapi menyimpang dari qiyas, seperti kata استصوب dan استحوذ , sedangkan jika mengikuti qiyas bentuk katanya adalah استصاب dan استحاذ tanpa huruf wawu illat.
4. Menyimpang dari qiyas dan sekaligus jarang digunakan, seperti tetap pempertahankan huruf wawu pada isim maf’ul dalam kata yang ‘ain fi’il-nya berupa wawu, seperti kalimat فرس مقوود dan توب مصوون . Kedua, kata tersebut berasal dari kata dasar قاد dan صان yang asalnya قود dan صون . Menurut qiyas yang standar isim maf’ul-nya ialah مقود dan مصون , dengan satu wawu saja.
Ibnu Jinni juga menjelaskan hubungan antara qiyas dan penggunaannya (al-isti’mal).
1. Jika terjadi benturan (pertentangan) antara qiyas dan penggunaan dalam arti “umum digunakan namun menyimpang dari segi qiyas”, maka yang menjadi acuan atau yang didahulukan adalah segi “umum penggunaan”. Hanya saja, kata yang digunakan tersebut tidak boleh dijadikan parameter qiyas, seperti kata استحوذ dan استصوب. Jadi tidak boleh mengiaskan kata استقام dan استساغ misalnya, menjadi استقوم dan استسوغ.
2. Jika tidak umum digunakan, tetapi umum dalam qiyas, maka ikutilah cara orang Arab saja. Namun, lakukan pada kasus lain yang senada atau se-wazan, di antaranya ialah seperti tidak dipakainya kata وذر dan ودع , sebab orang Arab tidak menggunakan kedua kata tersebut, tetapi kita boleh menggunakan kata lain yang senada dengannya, seperti kata وزن dan وعد .
Selain itu, Ibnu Jinni juga menyentuh aspek atau dimensi sosialnya terkait dengan penggunaan bahasa. Aspek-aspek tersebut bisa ditelusuri dalam berbagai pernyataannya dalam al-Khasa’is sebagai berikut:
1. Yang dimaksud dengan “penggunaan bahasa” ialah digunakan oleh komunitas, bukan oleh individu.
2. Ketika menerima bahasa baru, seseorang akan bersikap menerimanya langsun, atau menolak sama sekali. Meskipun menolak, bila bahasa baru itu didengarnya secara berulang kali, akhirnya bahasa tersebut pun akan melekat padanya .
3. Penerimaan terhadap bahasa (kosakata) baru yang maknanya tidak lazim, maka mestilah diketahui dan dicermati segi asal usul atau proses pemaknaan bahasa tersebut. Ibnu Jinni member contoh kata عقيرة (‘aqirah) dalam perkataan orang Arab: رفع عقيرته yang oleh Abu Ishaq dikatakan bermakna suara, ‘dia meninggikan (mengeraskan) suaranya’, dan menurutnya, kata tersebut berasal dari kata عقر . Akan tetapi, Abu Bakar keberatan dengan penjelasan Abu Ishaq tersebut. Menurutnya, jauh sekali kalau kata aqirah itu bermakna suara dan dikaitkan asalnya dari kata aqara. Namun, lanjut Abu Bakar, kalimat “rafa’a ‘aqiratahu” terkait dengan kisah seorang yang dipotong salah satu kakinya, kemudian dia meletakkan potongan kaki tersebut diatas sebelah kakinya yang masih utuh sambil menjerit keras, mendengar jeritan tersebut, orang-orang di sekelilingnya berkata, “rafa’a ‘aqiratahu’, yakni rafa’a rijalahu al-ma’qurah, ia mengangkat kakinya yang terpotong. Jadi, makna asli dari kata ‘aqirah ialah terluka atau terpotong, dari akar kata ‘aqara yang maknanya melukai.
4. Bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Arab dan telah diolah dengan cara qiyas, maka ia termasuk bahasa Arab, “maa qisa ‘alaa kalaa,m al-Arab fa huwa ‘indahum min kalaam al-‘Arab”.
5. Tidak semua bahasa dapat dideduksi atau diinduksi melalui qiyas, tetapi ada yang mesti diterima apa adanya dari masyarakat.
2.     Abd al-Qahir al-Jirjani dan teori al-nazm
Ia dilahirkan di Jurjan, suatu kota terkenal di Tibristan awal abad 15 H. Sejak kecil ia sudah menciptakan suatu ilmu. Ia mempelajari nahwu, sastra dan fiqh. Ia berguru antara lain, pada sibawaih, al-jahiz, al-mubarrad, ibnu duraid. Ia dikenal sebagai salah satu muassis ilmu balaghah, banyak menulis tentang ilmu balaghah. Di antara karyanya yang terkenal adalah Dalail al-I’jaz wa asrar al-balaghah. Lafal adalah wadah bagi makna, maka lafal akan mengikuti makna. Jika suatu makna itu muncul pertama kali pada diri seseorang, maka begitu pula ia akan muncul pertama kali dalam ucapan.
Sebagai contoh terkait dengan perbedaan susunan kata pada kalimat-kalimat berikut ini (kata-kata أنا, زيد, ضرب ) letaknya berbeda pada masing-masing kalimat, hal ini menyebabkan perbedaan makna seperti berikut:
ما ضربت زيدا
Saya tidak memukul zaid, (tetapi mungkin ada orang lain yang memukulnya, dan mungkin juga tidak ada sama sekali yang memukulnya).
ما زيدا ضربت
Saya tidak memukul zaid, tetapi saya memukul selain dia.
Dengan kata lain teori nazm ini menegaskan bahwa perbedaan struktur kalimat akan membawa perubahan makna, karena lafal itu wadah bagi makna, berbeda wadah, maka berbeda pula mknanya. Ileh karena itu perubahan struktur lafal (kalimat) akan membawa perubahan makna.
Teori yang dikemukakannya terkait erat dengan nahwu tetapi tidak hanya berhenti pada struktur luar (البناء الخارحي), melainkan masuk kedimensi yang lebih dalam lagi, yakni makna yang ada dibalik struktur tersebut (البناء الباطنى).
3.     Al-Jahiz
Dia adalah Abu Usman ‘Amr bin Bahr, lahir dan wafat di Basrah salah seorang sastrawan besar di masa Abbasiyah. Di antara karangannya adalah kitab al-hayawan, makna (gagasan) yang ada dalam benak orang itu, menurut al-Jahiz, sangat tersembunyi dan makna itu berbeda dengan lafal. Makna terhampar luas tanpa batas, sementara tanda-tanda yang menunjukkan makna itu sangat terbatas. Artinya bahwa makna yang disampaikan oleh penulis dan pembicara tidak dapat dijamin sama dengan makna yang diterima oleh pembaca atau pendengar. Ada banyak faktor yang menjadikan terjadinya perbedaan itu menurutnya al-jahiz, ada beberapa macam tanda yang menunjukkan makna yaitu:
a.      Lafal, yakni apa yang diucapkan oleh seseorang.
b.     Isyarat misalnya dengan tangan, mata, kepala dan sebagainya
c.      Tulisan yitu berbagai macam model tulisan untuk menyampaikan makna
d.     Nishbah yakni suatu keadaan yang berbicara tanpa kata dan menunjuk tanpa tangan, tanpa jelas seperti pemciptaan alam semesta yang menunjukkan adanya Sang Maha Pencipta.
4.     Fase modern
Kegiatan para ilmuan di masa klasik dalam mengkaji makna belum bisa dikatakan sebagai kejian semantik, sebagai ilmu yang berdiri sendiri, akan tetapi kajian mereka itu merupakan embrio dari semantik. Baru di akhir abad ke 19 istilah semantik di Barat, sebagai ilmu yang berdiri sendiri ini dikembangkan oleh ilmuan Prancis, Machael Breal. Kajian semantik menjadi lebih terarah dan sistematis setelah tampilnya Ferdinan de Saussure dengan karyanya course de linguistique generale (1916), ia dijuluki sebagai bapak linguistik modern.
Setelah de saussure ada juga ilmuan yang dianggap cukup memberikan corak, warna adan arah baru dalam kajian bahasa yaitu Leonard Bloomfield dalam bukunya Language. Tokoh lain yang berjasa dalam perkembangan linguistik khususnya semantik adalah Noam Chomsky, seorang tokoh aliran tata bahasa transfortasi. Ia menyatakan bahwa makna merupakan unsur pokok dalam analisis bahasa. Kajian semantik bukan hanya menarik perhatian para ahli di luar bahasa, salah satunya yaitu odgen dan richard dengan karyanya yang berjudul the meaning of meaning yang membahas kompleks sebuah makna.
Dalam kalangan linguis arab muncul nama Ibrahi Anis, guru besar bidang linguistik arab di universitas cairo dengan kitabnya yang berjudul Dilalah al-alfadz, yang di antaranya membahas tentang sejarah perkembangan bahasa manusia dan bagaimana hubungan antara lafal dan maknanya serta jenis hubungan keduannya, selain itu dibahas pula tentang macam-macam makna yaitu fonologi, morfologi, sintaksis dan leksikologi. Sebagai bentuk konkrit dari perhatian para ulama arab terhadap semantik adalah upaya penyusunan kamus yang berlangsung melalui beberapa fase. Pertama tahap penyusunan kata-kata dengan penjelasannya yang belum disusun secara teratur. Kedua tahap pembukuan lafaz-lafaz secara teratur, akan tetapi berbentuk risalah-risalah yang terpisah-pisah dengan materi yang terbatas.



PENUTUP

Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa Semantik atau ilmu dilalah telah ada sejak zaman yunani kuno meskipun belum disebut secara jelas dan tegas sebagai ilmu yang berdirir sendiri. Pada akhir abad ke 19 semantik menjadi disiplin ilmu yang berdirir sendiri sebagai cabang linguistik dan yang mempeloporinya adala Michael Brael kemudian disempurnakan oleh Ferdinan de saussure. Demikian juga dikalangan linguis arab klasik telah membahas dilalah, di antara mereka adalah ibnu Jinny, Abd al-Qahir al-Jurjani dan al-Jahiz. Dan pada fase kontemporer juga lahir ilmuan arab yang mengkaji tentang bahasa arab termasuk di dalamnya dilalah yaitu Ibrahim Anis.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mukhtar Hamid, Ilmu Dilalah, Kairo: ‘Umul Kitab, 1993.
Ibrahim Anis, Dalalah al-Faz, Mesir: Maktabah Anjalu Mahdiyah, 1991
Ahmad Muhammad Qadar, Mabadi’ al-Lisaniyah Bairut: Dar al-Fikr al-Mazhir, 1996.
[1] http://haninursyam.wordpress.com/pemikiran -ibnu-jinni//



[1] Ahmad Mukhtar Hamid, Ilmu Dilalah, (Kairo: ‘Umul Kitab, 1993), h 11
[2] Ahmad Mukhtar ‘Umar, Op.Cit. hlm. 11
[3] Ibrahim Anis, Dalalah al-Faz, (Mesir: Maktabah Anjalu Mahdiyah, 1991), h. 44
[4] Ibid.
[5] Ahmad Muhammad Qadar, Mabadi’ al-Lisaniyah (Bairut: Dar al-Fikr al-Mazhir, 1996), h. 279
[6] http://haninursyam.wordpress.com/pemikiran -ibnu-jinni//

Komentar

Postingan Populer