Tujuh indikator mengenai kebahagiaan dunia
Materi Khutbah/Taushiyah/Ceramah
“Tujuh indikator mengenai
kebahagiaan dunia”
Oleh:
Eri Gusnedi, P.St., M.A.
Ma'asyirol Muslimin rahimakumullah ...
Segala
puji bagi Allah, Rabb dan sesembahan sekalian alam, yang telah mencurahkan
kenikmatan dan karuniaNya yang tak terhingga dan tak pernah putus sepanjang
zaman kepada makhluk-Nya. Baik yang berupa kesehatan, kesempatan sehingga pada
kali ini kita dapat menunaikan kewajiban shalat Jum’at.
Semoga
shalawat dan salam tercurahkan kepada pemimpin dan uswah kita Nabi Muhammad,
yang melalui perjuangannyalah, cahaya Islam ini sampai kepada kita, sehingga
kita terbebas dari kejahiliyahan, dan kehinaan. Dan semoga shalawat serta salam
juga tercurahkan kepada keluarganya, para sahabat dan pengikutnya hingga akhir
zaman.
Ma'asyirol Muslimin rahimakumullah ...
Khutbah kali ini mengambil sebuah judul “Tujuh indikator mengenai kebahagiaan dunia”;
Siapa yang tidak kenal dengan Ibnu Abbas.
Sahabat senior yang selalu menyertai baginda Rosulullah sallallahu alaihi
wasallam. Dikalangan para mufassir, beliaulah terunggul di antara yang lain.
pada umur 9 tahun saja ibnu Abbas kecil telah hafal Al-Qur’an dan
menjadi imam masjid. Sampai Nabi pun pernah berdo’a khusus untuk beliau.
“Allahumma faqqohhu fiidaini,wa a’llamhutta’wiila”
artinya:“ya Allah,berilah kepadanya
pemahaman tentang agama dan ajarilah dia tentang takwil”
Suatu hari ia pernah ditanya oleh para tabi’in tentang
mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia.
Ibnu Abbas menjawab, ada 7 indikator mengenai
kebahagiaan dunia:
Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang
selalu bersyukur.
Memiliki jiwa syukur berarti selalu
menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress,
inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur
sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan
Allah ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah.
Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat
sabda Rasulullah SAW yaitu :
“Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari
kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak
amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih
besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan
kemudahan yang lebih besar lagi.
Maka berbahagialah orang yang pandai
bersyukur!
Kedua. Al azwaju shalihah, yaitu pasangan
hidup yang sholeh.
Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan
suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami
(sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri
dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila
memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri
dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang
sholeh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani
suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah menjadi
seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholeh.
Ketiga, al auladun abrar, yaitu anak yang
soleh.
Saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah
SAW bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah
selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : “Kenapa
pundakmu itu ?” Jawab anak muda itu : “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang
sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia.
Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika
istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya”. Lalu anak
muda itu bertanya: ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah
berbakti kepada orang tua ?”
Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan
mengatakan: “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang
berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan
olehmu”. Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita
ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun
minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak
yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita
bila memiliki anak yang sholeh.
Keempat, albiatu sholihah, yaitu lingkungan
yang kondusif untuk iman kita.
Yang dimaksud dengan lingkungan yang
kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai
sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap
keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk
selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan
selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah.
Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang
bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada cahaya
wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada
disekitarnya.
Berbahagialah orang-orang yang selalu
dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.
Kelima, al malul halal, atau harta yang
halal.
Paradigma dalam Islam mengenai harta
bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak
menyuruh umatnya untuk kaya.
Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab
sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa
mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”, kata Nabi SAW, “Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya
didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang
hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal
juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan
kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang
yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.
Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat
untuk memahami agama.
Semangat memahami agama diwujudkan dalam
semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia
terangsang untuk belajar lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan
ciptaan-Nya.
Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang
menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin
tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi
cahaya bagi hatinya.
Semangat memahami agama akan meng “hidup” kan hatinya,
hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat
iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.
Ketujuh, yaitu umur yang baroqah.
Umur yang baroqah itu artinya umur yang
semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah.
Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari
tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan) tentang masa
mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power syndrome).
Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati sisa
hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum
ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang
diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan
diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia
untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan
dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia
ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan
berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat “hidup” orang-orang
yang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya baroqah.
Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra.
mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia.
Bagaimana caranya agar kita dikaruniakan
Allah ke tujuh buah indikator kebahagiaan dunia tersebut ? Selain usaha keras
kita untuk memperbaiki diri, maka mohonlah kepada Allah SWT dengan sesering dan
se-khusyu’ mungkin membaca doa `sapu jagat’ , yaitu doa yang paling sering
dibaca oleh Rasulullah SAW. Dimana baris pertama doa tersebut “Rabbanaa
aatina fid dun-yaa hasanaw” (yang artinya “Ya Allah karuniakanlah aku kebahagiaan dunia “), mempunyai
makna bahwa kita sedang meminta kepada Allah ke tujuh indikator kebahagiaan
dunia yang disebutkan Ibnu Abbas ra, yaitu hati yang selalu syukur, pasangan
hidup yang soleh, anak yang soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh,
harta yang halal, semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang baroqah.
Walaupun kita akui sulit mendapatkan
ketujuh hal itu ada di dalam genggaman kita, setidak-tidaknya kalau kita
mendapat sebagian saja sudah patut kita syukuri.
Sedangkan mengenai kelanjutan doa sapu
jagat tersebut yaitu “wa fil aakhirati hasanaw” (yang artinya “dan juga kebahagiaan akhirat”), untuk memperolehnya hanyalah
dengan rahmat Allah. Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi rahmat Allah,
kasih sayang Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita
masuk surga bukan karena amal soleh kita, tetapi karena rahmat Allah.
Amal soleh yang kita lakukan sepanjang
hidup kita (walau setiap hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk
mendapatkan tiket masuk surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan
seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah.
Kata Nabi SAW, “Amal soleh yang kalian lakukan
tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya
Rasulullah ?”. Jawab Rasulullah SAW : “Amal soleh saya pun juga tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali
bertanya : “Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?”. Nabi SAW kembali menjawab : “Kita dapat
masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”.
Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita
kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat
Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah (Insya Allah,
Amiin).
Rohmat saputra
Mahasiswa STID M.Natsir, Jakarta pusat
Komentar
Posting Komentar