TARIQAT RIFA’IYAH
TARIQAT
RIFA’IYAH :
TOKOH/
Pendirinya
|
AJARAN
|
Syaikh Ahmad bin Ali-Abul Abbas
|
Tarekat
Rifaiyah mempunyai tiga ajaran dasar, yaitu :
1.
Tidak meminta sesuatu
2.
Tidak menolak
3.
Tidak menunggu
Sementara
itu, menurut asy-Syarani, tarekat ini menekankan pada :
1.
ajaran
asketisme (zuhud)
2.
Makrifat
(puncak tertinggi dalam ajaran tasawuf)
Dalam pandangan Syekh Ar-Rifai, sebagaimana
diriwayatkan asy-Syarani, asketisme merupakan landasan keadaan-keadaan yang
diridhai dan tingkatan-tingkatan yang disunahkan. Asketisme
adalah langkah pertama orang menuju kepada Allah, mendapat ridha dari Allah,
dan bertawakal kepada Allah. Menurut Syekh Ar-
Rifai,
"Barang siapa belum menguasai landasan kezuhudan, langkah selanjutnya
belui lagi benar."
Mengenai
makrifat. Syekh Ar-Rifai berpendapat bahwa penyaksian adalah kehadiran dalam
makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yakin dan tersingkapnya hakikat
realitas-realitas secara benar-benar yakin. Menurutnya, cinta mengantar rindu
dendam, sedangkan makrifat menuju kefanaan ataupun ketiadaan diri.
Irhamni
MA dalam tulisannya mengenai Syekh Ahmad Ar-Rifai mengungkapkan bahwa pendiri
Tarekat Rifaiyah ini semasa hidupnya pernah mengubah sebuah puisi bertema
"Cinta Ilahi".
"Andalkan
malam menjelang, begitu gairah kalbuku mengingat-Mu. Bagai merpa terbelenggu
atau meratap tanpa jemu. Di atasku awan menghujani derita dan putus asa. Di
bawahku lautan menggelora/ kecewa Tanyalah atau biarlah mereka bernyawa.
Bagaimana tawanan-Nya bebaskan tawanar lainnya. Sementara dia bisa dipercaya
tanpa Nya. Dan, dia tidak terbunuh, kematian itu istiroh baginya. Bahkan, dia
tidak dapat mai sampai bebas karenanya."
Syair
di atas merupakan salah satu bentuk asketisme yang dilakukan Syekh Ahmad Rifa
dalam mencapai hakikat tertinggi mengenal
Tentu
saja, wirid dan zikir antara satu tarekat dengan lainnya berbeda-beda.
Termasuk dalam hal lelaku atau gerakan zikir ini. Namun, satu hal yang
menjadi kesamaan hampir dalam seluruh tarekat adalah zikir kalimat tahlil,
yakni La llaha illa! lah (tiada Tuhan kecuali Allah).
Kalimat
ini senantiasa dibaca secara berulang-ulang. Bentuk lainnya berupa zikir
vokal yang diucapkan secara teratur oleh kaum Rifaiyah dalam zawiyah mereka.
Dalam
beberapa cabang Rifaiyah, para pengikut mengucapkan berbagai doa dan selalu
melafalkan nama Allah [asmaulhusna). Misalnya, Allah, Wu (Dia), Hayy (Yang
Hidup), Haqq (Yang Nyata), Qayyum (Yang Mandiri), Rahman (Yang Pengasih),
Rahim (Yang Penyayang), dan lainnya.
Ciri
khas Tarekat Rifaiyah terletak pada zikirnya. Zikir kaum Rifaiyah ini disebut
darwis melolong karena dilakukan bersama-sama dan diiringi oleh suara gendang
yang
ILUSTRASI
DAAN YAHYA/REPU8UKA bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukannya sampai mencapai
suatu keadaan. Saat itu, mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang
menakjubkan, misalnya berguling-guling dalam bara api, tetapi tidak terbakar
sedikit pun.
Sebelumnya,
menurut John L Esposito dalam Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern,
sebagian kaum Rifaiyah terkenal karena mengikutkan praktik upacara, seperti menusuk
kulit dengan pedang dan makan kaca. Praktik seperti ini menyebar bersama
Tarekat Rifaiyah hingga ke kepulauan Melayu. Namun, pada masa kini,
praktik-praktik tersebut tidak lagi dijalankan oleh para pengikut Rifaiyah
karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Di
wilayah Sumatra, para pengikut Rifaiyah memainkan dabus, yaitu menikam diri
dengan sepotong senjata tajam yang diiringi dengan zikir-zikir tertentu.
Dabus dalam bahasa Arab artinya besi yang tajam.
Christiaan
Snouck Hurgronje dalam De Acehers mengatakan bahwa dabus dan rabana yang
kerap dimainkan di wilayah Sumatra ini sangat erat hubungannya dengan Tarekat
Rifaiyah.
Dabus
ini juga berkembang di Tanah Sunda, sebagaimana diungkapkan oleh
C
Poensen dalam bukunya Het Daboes van Santri Soenda. Di Sumatra Barat,
kesenian dabus ini dikenal dengan badabuih. Dalam Encyclopedia van
Nederlandsch Oost India, disebutkan bahwa perkembangan Tarekat Rifaiyah ini
bersama-sama dengan permainan dabus.
Tiga
ajaran dasar
Dalam
beberapa cabang, pengikut Rifaiyah harus mengasingkan diri dan melakukan
penyendirian spiritual [khalwat). Praktik ini biasanya dilakukan paling
sedikit selama satu minggu pada awal Muharram.
Menurut
Sayyid Mahmud Abul al-Faidl al-Manufi,
Sebelumnya, menurut John L Esposito dalam Ensiklopedia Oxford Dunia Islam
Modern, sebagian kaum Rifaiyah terkenal karena mengikutkan praktik upacara,
seperti menusuk kulit dengan pedang dan makan kaca. Christiaan Snouck
Hurgronje dalam De Acehers mengatakan bahwa dabus dan rabana yang kerap
dimainkan di wilayah Sumatra ini sangat erat hubungannya dengan Tarekat
Rifaiyah. Sementara itu, menurut asy-Syarani, tarekat ini menekankan pada
ajaran asketisme (zuhud) dan makrifat (puncak tertinggi dalam ajaran
tasawuf). Dalam pandangan Syekh Ar-Rifai, sebagaimana diriwayatkan
asy-Syarani, asketisme merupakan landasan keadaan-keadaan yang diridhai dan
tingkatan-tingkatan yang disunahkan. Syair di atas merupakan salah satu
bentuk asketisme yang dilakukan Syekh Ahmad Rifa dalam mencapai hakikat
tertinggi mengenal Allah, yakni makrifat.
|
Komentar
Posting Komentar