Tarikat Syatiriyah
tarikat Syatiriyah
SUB BAHASAN
|
|
PENGERTIAN/SEJARAH
|
AJARAN
|
Tarekat Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar
(w.1429 M). Tarekat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan
Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim
al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh 'Abd al-Rauf
al-Sinkili ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhan
al-Din ke Minangkabau.
Tarekat Syathariyah sesudah Syekh Burhan al-Din berkembang pada 4
(empat) kelompok, yaitu; Pertama. Silsilah yang diterima dari Imam Maulana.
Kedua, Silsilah yang dibuat oleh Tuan Kuning Syahril Lutan Tanjung Medan
Ulakan. Ketiga, Silsilah yang diterima oleh Tuanku Ali Bakri di Sikabu
Ulakan. Keempat; Silsilah oleh Tuanku Kuning Zubir yang ditulis dalam
Kitabnya yang berjudul Syifa' aI-Qulub.
Berdasarkan silsilah seperti tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa tarekat Syaththariyah di Minangkabau masih terpelihara
kokoh. Untuk mendukung ke1embagaan tarekat, kaum Syathariyah membuat lembaga
formal berupa organisasi sosial keagamaan Jamaah Syathariyah Sumatera Barat,
dengan cabang dan ranting-ranting di seluruh alam Minangkabau, bahkan di
propinsi - tetangga Riau dan jambi. Bukti kuat dan kokohnya kelembagaan tarekat
Syaththariyah dapat ditemukan wujudnya pada kegiatan bersafar ke makam Syekh
Burhan al-Din Ulakan.
|
Adapaun ajaran tarekat Syaththariyah yang berkembang di
Minangkabau sama seperti yang dikembangkan oleh 'Abd al-Rauf al-Sinkili.
Masalah pokoknya dapat dikelompokkan pada tiga:
Bagian Pertama,
Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Paham ketuhanan dalam hubungannya
dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat a1- Wujud, dengan
pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen
dengan alam, bedanya oleh al-Sinkili ini dijelaskannya dengan menekankan pada
trancendennya Tuhan dengan alam. la mengungkapkan wujud yang hakiki hanya
Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukan wujud yang hakiki. Bagaimana hubungan
Tuhan dengan alam dalam transendennya, al-Sinkili menjelaskan bahwa sebelum
Tuhan menciptakan alam raya (al- 'a/am), Dia selalu memikirkan (berta'akul)
tentang diri-Nya, yang kemudian mengakibatkan terciptanya Nur Muhammad
(cahaya Muhammad). Dari Nur Muhammad itu Tuhan menciptakan pola-pola dasar
(a'ayan tsabitah), yaitu potensi dari semua alam raya, yang menjadi sumber
dari pola dasar luar (a/-‘ayan alkharijiyah) yaitu ciptaan dalam bentuk
konkritnya.
Ajaran tentang ketuhanan al-Sinkili di atas, disadur dan
dikembangkan oleh Syekh Burhan al-Din Ulakan seperti yang terdapat dalam
kitab Tahqiq. Kajian mengenai ketuhanan yang dimuat dalam kitab Tahqiq dapat
disimpulkan pada Iman dan Tauhid. Tauhid dalam pengertian Tauhid syari'at,
Tauhid tarekat, dan Tauhid hakekat, yaitu tingkatan penghayatan tauhid yang
tinggi.
Bagian kedua, Insan Kamil
atau manusia ideal. Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan
hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta
Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang sebenarnya manusia adalah esensi
dari esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh karenanya, Adam
diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan
nama-nama-Nya, sehingga "Ia adalah Dia." Manusia adalah kutub yang
diedari oleh seluruh alam wujud ini sampat akhirnya. Pada setiap zaman ini ia
mempunyai nama yang sesuai dengan pakaiannya. Manusia yang merupakan
perwujudannya pada zaman itu, itulah yang lahir dalam rupa-rupa para
Nabi--dari Nabi Adam as sampat Nabi Muhammad SAW-- dan para qutub (wali
tertinggi pada satu zaman) yang datang sesudah mereka.
Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan
bayangannya. Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok:
Pertama; Masalah Hati. Kedua Kejadian manusia yang dikenal dengan a’yan
kharijiyyah dan a’yan tsabitah. Ketiga; Akhlak, Takhalli, tahalli dan
Tajalli.
Bagian ketiga,
jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan
pada rekonsiliasi syari'at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir.
Tauhid itu memiliki empat martabat, yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat,
tauhid zat dan tauhid af'al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimah 1a
ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita hendaklah memesrakan diri dengan La
ilaha illa Allah. Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunya diperlukan
sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyf) guna bertemu dengan
Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari
(kematian sukarela) atau disebut juga al-mawat al-ma'nawi (kematian
ideasional) yang merupakan lawan dari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah).
Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh
seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.
|
Komentar
Posting Komentar