Tarikat Suhrawardiyah



Tarikat Suhrawardiyah
SUB BAHASAN

PENGERTIAN/SEJARAH
AJARAN
Pendirinya Shihab al-Din Abu Hafs Umar al-Suhrawardi

Ketika sufisme berkembang dan mengarah kepada sifatnya yang praktis, sejak abad 6 H/12 M dengan lahirnya tarikat-tarikat seperti Tarikat Qadiriyah, Tarikat Rifa’iyah, Tarikat al-Suhrawardiyah dan lain-lain.[1] Di antara tarikat-tarikat yang berkembang ada yang dinisbahkan kepada pendirinya, seperti Ahmadiyah yang dinisbahkan kepada Sayyid Ahmad al-Badawi, Tijaniyah dinisbahkan kepada Syeikh Abu Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Muhtar Ibn Salim al-Tijani dan sebagainya, namun diantaranya ada tarikat yang dinisbahkan kepada guru dari si pendiri seperti tarikat Suhrawardiyah yang dinisbahkan kepada Dhiya’ al-Din Abu Najib al-Suhrawardi tapi didirikan oleh keponakannya yang juga muridnya, Shihab al-Din Abu Hafs Umar al-Suhrawardi
Syihab al-Din Abu Hafs Umar al-Suhrawardi, lahir di Suhraward pada tahun 539 H/1144 M dan wafat di baghdad[2] pada tahun 632 H/1234 M, pada awalnya, ia memperoleh bimbingan agama dan Tarikat dari pamannya
Dhiya al-Din Abu Najib al-Suhrawardi (w.564 H/1168 M) disebuah Ribath yang terletak ditepi sungai Tigris setelah itu ia pergi ke Bashrah dan Baghdad, untuk menimba berbagai pengetahuan dari sejumlah syekh, seperti Syekh Abd al-Qadir al- Jailani, Syekh Abu Muhammad ibn Abd Allah dan syekh Abd al-Qasim Ibn Fadlan .[3]
Setelah itu ia ditugaskan pamannya sebagai pengajar di Ribath, ke masyhuran Suhrawardi di dukung oleh pemerintah di zamannya, Khalifah Nasir (1180-1225 m) yang menginginkan bangkitnya kehidupan rohani yang lebih baik di seluruh dunia islam dan terciptanya persatuan atau hubungan baik di antara penguasa-penguasa muslim demi menghadapi ancaman tentara mongol. Dan khalifah menunjuk Abu Hafs al-Suhrawardi sebagai dutanya ke sejumlah penguasa muslim dan membangkitkan semangat futuwah (semangat kepemudaan) di kalangan umat, syekh al-Suhrawardi bersedia dan menemui beberapa khalifah, seperti Sultan Ala’ al-Din Kaiqubad I (Sultan Bani Saljuk), Sultan al-Malik al-Adil (Sultan Bani Ayyub) dan Syah Khwarizmi.Ibarat “sambil menyelam minum air”, Suhrawardi yang menunaikan tugas khalifah juga menggunakan kesempatan tersebut untuk memperkenalkan Ajaran Tarikat suhrawardiyah yang dibinanya pada jemaah-jemaah yang menyambutnya di berbagai kota yang dilewatinya dan dikunjunginya[4] ia juga berkoresponden dengan para sufi tentang berbagai permasalahan yang di hadapi tasawuf, ini di karenakan baiknya hubungannya dengan para pendukungnya baik di Baghdad maupun tatkala ia mengadakan perjalanan ke berbagai Ribath di Negeri Allepo, Damaskus dan lain-lain.[5]
                                                                                                                        
Ajaran Dan Ritual
Seperti yang ditulis sebelumnya, Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani menyebutkan bahwa ajaran dan ritual Tarikat Suhrawardiyah, terdapat pada kitab Awarif al-Ma’arif, yang banyak membicarakan tentang latihan-latihan rohani praktis., maka dengan merujuk kitab tersebut, penulis mengenengahkan ajaran, yaitu:
a. Ma’rifah
Mengenal Allah (ma’rifatullah) bergantung pada, dan berhubungan dengan, mengenal diri sendiri (ma’rifah an-nafs). Mengenal Allah berarti mengenal sifat-sifatnya Allah dalam bentuk keadaan secara terinci, berbagai kejadian, dan musibah. Kemudian, diketahui (secara ringkas) bahwa Dia sajalah Wujud Hakiki dan Pelaku Mutlak.[11]
Karena itu Ma’rifah ialah menaruh kebenaran kepada perbuatan Allah, yang diawali dengan menaruh amalan-amalan, kemudian meningkat ke ahwal, dari ahwal dan amal dapat mengikuti kecintaan hati kepada Allah SWT, suatu cinta yang bergerak dan berdiri dengan Allah dan sujud di hadapannya. Jika hati sujud dan jiwa sudah tersungkur, terjadilah Mahabbah antara manusia dengan Allah dan antara Allah dengan manusia. Seluruh badan bergetar dan hidup merasakan kelezatan dengan berdzikir kepada Allah.[12]
Mengenal Allah (ma’rifatullah) mempunyai berbagai tingkatan : a) setiap akibat yang diperoleh, ia mengetahuinya sebagai berasal dari Pelaku Mutlak (yakni, Allah); b) setiap akibat yang berasal dari Pelaku Mutlak, ia mengetahuinya sebagai hasil dari sifat tertentu Allah; c) dalam keagungan setiap sifat-nya, ia mengetahui maksud dan tujuan Allah; d) sifat ilmu Allah, ia ketahui dalam ma’rifah-nya sendiri; dan jauhkan dirinya dari lingkaran ilmu (‘ilm), makrifat (ma’rifah), dan eksistensi.[13]
b. Faqr
Dalam tahap kefakiran (faqr), yakni tidak memiliki harta, seorang penempuh jalan hakikat (haqiqah) tidak bakal tiba di tujuan kecuali bila ia sudah melewati tahap kezuhudan. Bagi seorang yang menginginkan dunia, meski tak memiliki harta, nama faqr hanyalah sekedar angan-angan belaka. Faqr adalah suatu nama, kebiasaan, dan kebenaran. Namanya bermakna tidak mengumpulkan harta, meski sangat menginginkannya ; kebiasaannya adalah tidak memiliki harta, meski bersikap zuhud ; kebenarannya adalah kemustahilan memiliki harta.[14]
Karena seorang pemilik hakikat (haqiqah) melihat segala sesuatu dengan sarananya dalam kekuasaan Allah, maka ia memandang bahwa menyerahkan harta kepada orang lain adalah dibolehkan.[15]
Faqr dalam diri manusia-manusia pemilik hakikat (haqiqah) adalah sebuah sifat alami yang – meskipun memiliki atau tidak memiliki harta – tidak berubah. Seandainya seluruh dunia berada dalam genggaman kekuasaan mereka, maka mereka pun bebas mengambilnya. Faqr dalam diri para pengamat yang hanya menemukan kesan tentang kebenaran faqr, yang dalam hati mereka maknanya tidak dihiasi dengan mutiara, adalah sebuah sifat aksidental. Dengan memiliki harta, mereka pun berubah dan merasa dikuasai olehnya.[16]
Ada beberapa golongan orang-orang fakir (faqara’) ; a) mereka yang memandang dunia dan hartanya sebagai bukan kekayaan. Jika mereka mampu memperolehnya, maka mereka memberikannya kepada orang lain ; sebab, mereka tidak menginginkannya dalam kehidupan dunia ini dan akhirat nanti ; b) mereka yang tidak memperhatikan amal-amal dan ibadahnya sendiri, meskipun dari mereka semuanya itu bersumber, mereka tidak mengetahui kekayaannya sendiri dan tidak mengharapkan ganjaran apa pun ; c) mereka yang, dengan dua kualitas atau sifat ini, tidak memandang hal dan maqam mereka sendiri sebagai milik mereka. Mereka memandang semuanya itu sebagai anugerah Allah ; d) mereka yang tidak menganggap dzat dan eksistensi mereka sendiri sebagai milik mereka ; tidak juga diri mereka sendiri. Dzat, kualitas, Hal, maqam, dan amal mereka tidaklah ada dan bukan apa-apa. Mereka tidak meninggalkan apa-apa di dunia dan akhirat.[17]
Kebutuhan adalah sifat seorang miskin dan ada dalam dirinya. Di sini tidak ada penegasan watak atau sifat. Inilah makna faqr, yang tidak dimiliki oleh sebagian sufi. Tidak ada yang mengetahui pemilik faqr ini kecuali Allah, sebab Tuhan semesta alam pun cemburu. Karena itu, Dia menyembunyikan orang-orang pilihan –Nya dari pandangan orang-orang asing sehingga mereka tak bisa memandang diri mereka sendiri. Faqr ini adalah tahapan “orang-orang peringkat akhir,” dan bukan para penempuh jalan sufi. Sebab, sesudah melewati tahapan-tahapan itu, dalam setiap tahapan, langkah yang diayunkan (sesuai dengan keadaannya) kadang-kadang bukan dilakukan oleh sang penempuh jalan sufi.[18]
Seperti tobat (tawbah), yang adalah tahapan pertama yang harus dilalui oleh para penempuh jalan sufi, tempat berpijaknya inilah yang (sesudah melewati semua tahapan dan kedudukan) akhirnya bisa dicapai dan dijangkau
c. Tawakkul
Tawakkul berarti mempercayakan segala urusan kepada pelaku mutlak (Allah) ; mempercayakan di dalam jaminan rezeki kepada-Nya. Tahap ini terletak sesudah harapan (raja’) ; sebab, yang pertama akan memahami rahmat-Nya. Tawakkul adalah hasil dari kebenaran keimanan melalui pertimbangan yang baik dan takdir.[19]
Inilah keimanan dalam derajat keyakinan (yaqin), yang pemiliknya mengetahui bahwa segala urusan telah ditentukan dan ditetapkan oleh takdir (taqdir), kehendak yang sempurna, ketentuan yang adil, dan sama sekali tidak ditambah dan dikurangi. Tandanya adalah bahwa ia mempercayakan kendali pertimbangannya kepada genggaman takdir. Dalam hal ini, ia tidak berdaya sedikit pun. Demikianlah apa yang dikatakan oleh Dzun-Nun, Sari, Junayd, Hamdun al-Qashshar, Sahl ‘Abdullah at-Tustari.[20]
Setiap tahapan mempunyai awal dan kebaikkan dihadapannya. Ia juga mempunyai akhir dan bencana di belakangnya – kecuali tahapan tawakkul, yang berupa awal dan kebaikan, dan yang tak pernah berhenti dalam akhir dan bencana, yang berarti kepercayaan tawakal dalam anugerah (tawakkul al-‘inayah) kepada keindahan dari kehendak Allah ; bukan tawakal dalam kecukupan (tawakkul al-Kifayah) yang masuk dan tidak pernah kembali dari tawakkul al-‘inayah.[21]
Sang mutawakkil (yakni, orang yang bertawakal) sejati adalah seorang yang hanya melihat wujud penyebab dari segala sebab. Tawakkul-nya tidak pernah berubah oleh ada atau tidak adanya berbagai sebab.[22]
Ini adalah tawakkul seorang yang bakal mencapai tahapan tauhid (keesaan allah). Hingga ia mencapai tahapan ini, sang mutawakkil, dalam meningkatkan maqam-nya, ia perlu mengabaikan segala sebab ; karena, dalam tawakkul-nya, kepercayaan pada adanya berbagai sebab adalah tercela. Karenanya, ia harus berjuang keras menghalau berbagai sebab.[23]
Orang-orang berpikir bahwa mereka di kuasai oleh berbagai sebab ; mereka bersama dengan penyebab dari segala sebab dalam khalwal kebersatuan, senang dengan bermunajat di malam hari, dan dengan dzawq penampilan serta kehadiran (Ilahi). Nabi Muhammad telah menetapkan ketentuan berkenaan dengan hal sang mutamakkil. sang pemilik yaqin dan tamkin tidak akan gentar dan takut kepada kesusahan atau kesengsaraan apa pun.[24]
d. Ridha
Ridha bermakna mengangkat (dan menghilangkan ) kebencian pada qadha’ dan qadr ; dan memandang kepahitan dalam berbagai ketentuannya sebagai terasa manis. Sesudah melewati tahapan-tahapan tawakkul (mempercayakan segala urusan kepada Allah), tahap berikutnya adalah ridha.
Sebab sekalipun ada keyakinan (yaqin) ihwal takdir dan kepercayaan kepada Allah, tetap tidak ada boleh kebencian dalam menerimanya, dan kepahitannya mestilah dipandang sebagai terasa manis. Yang demikian ini bisa ditemukan dalam doa-doa Nabi Muhammad. Dengan perbedaan ini, beliau memohon “keyakinan pertama,” yang dengannya bisa diketahui bahwa tidak ada seorang pun bisa meraih apa yang telah ditetapkan oleh nasib dan takdir di zaman azali.[25]
Untuk sampai pada keyakinan pertama, mestilah ditambahkan doa-doa untuk memohon ridha agar diketahui bahwa ridha atas nasib (qismah) tidaklah ditentukan oleh qismah itu sendiri. Kedudukan ridha adalah akhir dari maqam yang ditempuh para penempuh jalan sufi. Orang yang tidak sabaran dan tergesa-gesa tidak akan sanggup bergabung dengan kemuliaannya yang luhur dan puncaknya yang tak terjangkau. Dalam maqam ini, barang siapa bergegas menempuh jalan ini, maka ia akan segera tiba di surga. sebab, dalam ridha dan yaqin, mereka memantapkan ruh (ruh) dan kegembiraan.[26]
Maqam ridha adalah maqam orang-orang yang bergabung dengan Allah – bukan tahapan para penempuh jalan sufi, sebagaimana dikatakan oleh Bisyr al-Hafi dalam menjawab pertanyaan Fudhayl. Hal cinta sangat penting bagi maqam ridha, sebab ketika semua amalan jatuh ke dalam tempat ridha, di mana sang kekasih adalah pelaku. Semua amalan Kekasih sangat disukai dan disenangi. Ridha dan mahabbah tak akan berpisah dari sang hamba di dunia maupun di akhirat nenti ; bertolak belakang dengan ketakutan dan harapan, yang akan barpisah darinya di akhirat nanti.[27]
e. Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan bagi segenap kemuliaan hal, sama seperti tobat (tawbah) adalah dasar bagi kemuliaan maqam. karena mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutkan sebagai anugerah-anugerah (mawahib). Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan. ada dua jenis mahabbah : a) mahabbah ‘am ; b) mahabbah khashsh.[28]
Berikut ini adalah sifat-sifat dari setiap jenis mahabbah. Sifat-sifat mahabbah ‘am adalah; a) kecenderungan hati untuk memperhatikan keindahan sifat-sifat ; b) sebuah bulan muncul karena memandang sifat-sifat keindahan ; c) seberkas cahaya yang menghiasi wujud ; d) sebuah tanda yang berkata “Aku meniru apa yang murni dan mengucapkan selamat tinggal pada apa yang sangat gamblang” ; e) anggur terbaik, tersegel, dan terperam oleh waktu ; f) sejenis anggur (karena temperamennya dan di kuasai oleh keinginan) yang murni dan tidak murni, jernih dan kotor, ringan dan berat[29]
Sementara itu, sifat-sifat mahabbah khash, adalah : a) kecenderungan jiwa untuk menyaksikan keindahan zat ; b) bagaikan matahari, yang terbit dari horizon zat ; c) api yang memurnikan wujud ; d) sebuah tanda yang berkata, “jangan hidup dan jangan terbakar” ; e) benar-benar sumber murni ; f) sejenis anggur (karena di bersihkan dari segala kotoran) kemurnian dalan kemurnian, kejernihan dalam kejernihan, dan kekeringan dalam kekeringan.[30]
f. Fana’ dan Baqa’
Fana’ adalah akhir dari perjalanan menuju Allah. Sementara itu baqa’ adalah awal dari perjalanan dalam Allah. Perjalanan menuju Allah (fana’) berakhir ketika, dengan ketulusan, sang penempuh jalan sufi mengarungi gurun pasir eksistensi. Perjalanan di dalam Allah (baqa’) bisa diuji ketika, sesudah fana’ mutlak, mereka memberi sang hamba eksistensi yang suci dan bersih dari kotoran sehingga, di alam deskripsi (alam materi), ia meraih kemajuan dalam berbagai sifat Ilahi.[31]
Dalam uraian tentang fana’ dan baqa’, perbedaan-perbedaan dalam ucapan para syaikh selaras dengan perbedaan-perbedaan dalam hal sang penempuh jalan sufi. Sesuai dengan pemahaman dan upaya memperbaiki hal-nya, para syaikh menjawaban pertanyaan setiap murid ; mereka tidak banyak menjelaskan soal fana’ dan baqa’ mutlak.[32]
Sebagian mengatakan bahwa fana’ berarti : a) fana’ dalam berbagai perbedaan; b) menurunnya keinginan akan segala kesenangan duniawi; c) menurunnya keinginan akan segala kesenangan dunia dan akhirat nanti; d) menurunnya kadar sifat-sifat tercela; e) tersembunyinya segala sesuatu.[33]
Sementara itu baqa’ berarti : a) baqa’ dalam keselarasan; b) baqa’ dalam kesenangan kehidupan di akhirat kelak; c) baqa’ dalam kesenangan di dalam Allah; d) baqa’ di dalam sifat-sifat terpuji; e) kehadiran Allah.[34]
Kesadaran adalah syarat dalam maqam tobat yang sungguh-sungguh (tawbah nashuha), maqam kezuhudan (zuhd), maqam ketulusan cinta fitri, maqam penyucian dan penganggungan nafs, dan maqam kamabukan hal.[35]
Ada dua jenis fana’– lahiriah dan batiniah.
1) Fana’ lahiriah. ini adalah fana’ dalam berbagai perbuatan dan keagungan berbagai perbuatan Ilahi. sang pemilik fana’ ini sedemikian tenggelam dalam perbuatan-perbuatan Ilahi sehingga ia hanya mengetahui perbuatan, kemauan dan kehendak Allah dalam dirinya sendiri dan diri orang lain. Di dalam dirinya, tidak ada kehendak untuk berbuat ; ia tidak berbuat apa-apa; dan beroleh kegembiraan dari manifestasi bebas berbagai perbuatan ilahi tanpa tercampur sedikit pun dengan perbuatan-perbuatan dari selain-Nya. Sebagian penempuh jalan sufi berada di dalam maqam ini, yang di dalamnya mereka tidak makan dan tidak minum, sampai Allah menyuruh seseorang memberi mereka makanan, minuman, dan sebagainya.
2) Fana’ batiniah. ini adalah fana’ dalam sifat-sifat dan zat. Pemilik hal ini dalam pengungkapan sifat-sifat Yang Maha awal terkadang tenggelam dalam fana’ sifat-sifatnya sendiri dan terkadang dalam manifestasi akibat dan keanggungan Yang Mahaawal. Karena tenggelam dalam fana’ dzat yang Maha Awal, ia tenggelam dalam fana’ dzat Wujud (wujud mutlak, Allah) – hingga ketika eksistensi Allah memenuhi dirinya dan hatinya bersih dari segala godaan dan pikiran.[36]
Allah mengetahui bahwa, dalam hubungannya dengan seseorang yang belum melampaui tahapan fana’, baqa’-nya adalah kemusyrikan (syirk); dan bukan syrik dalam hubungannya seseorang yang, sesudah fana’, akan mencapai baqa’. Dalam maqam ini, kehilangan rasa (tidak sadar) bukan sebuah syarat. Bagi sebagian orang, yang demikian itu mungkin saja dilakukan; bagi sebagian lainnya, tidak. Penyebab ihwal mengapa ia tak bisa kehilangan rasa bergantung pada doa dan kemampuan pikirannya.[37]
Di dalamnya terkandung fana’. Kehadiran sisi batin (hati)-nya tenggelam dalam jurang fana’ : kehadiran sisi lahiriah (raga)-nya pun hadir dalam apa yang keluar dari ucapan dan perbuatan. Mungkin saja, ini terjadi sewaktu ia berada di dalam maqam manifestasi dzat dan sifat; dan keluar dari kemabukan hal fana’ menuju ketakmabukan. Orang yang baru mulai menempuh hal ini menyembunyikan dirinya agar tidak merasakan kemabukan (fana’).[38]
Muslim bin Yasar pernah melakukan salat di masjid Bashrah. Tiba-tiba , salah sebuah tiangnya runtuh. Semua orang di pasar mengetahui kejadian ini. Namun di dalam masjid, ia justru tidak merasakannya.[39]
Baqa’ yang menunjang fana’ lahiriah adalah sebagai berikut. Sesudah fana’ dari hasrat dan kehendak, allah menjadikan sang hamba sebagai orang yang mampu menguasai hasrat dan kehendak, dan benar-benar sanggup mengendalikannya. Apapun yangn diinginkannya, ia melakukannya dengan kehendak dan kemauan Allah. Sekalipun demikian, orang yang meninggalkan kehendak mutlak berada dalam derajat fana’ ; orang yang meninggalkan kehendak secara keseluruhan dalam berbagai urusan (hingga ia diizinkan) dan sebagian di dalamnya (hingga hatinya kembali kepada Allah) berada dalam derajat maqam fana’.[40]
Baqa’ yang menunjang Fana’ Batiniyah, adalah sebagai berikut. Zat dan sifat-sifat fana’ dibebaskan dari belenggu kedahsyatan di dalam manifestasi dalam wujud yang tersisa dan hijabpun sepenuhnya terangkat (dan menghilang) dari hadapannya.
Allah tidak menjadi hijab makhluk tidak pula makhluk menjadi hijab Allah. Di dalam diri akan terhimpun dan terkandung pemilik fana’dan baqa’. Dalam fana’ ia menjadi abadi (Baqi’) dan dalam baqa’ ia menjadi fana’ (Fani’).[41]
Demikian sebagian ajaran-ajaran Shihab al-Din Abu Hafs Umar al-Suhrawardi yang menjadi dasar Tarikat Suhrawardiyah, masih banyak lagi ajaran-ajaran yang tidak mungkin dituangkan dalam makalah ini seluruhnya.
D. Perkembangan Ajaran Suhrawardiyah
Tarikat ini berasal dari Dhiya’al-Din Abu al-Najib al-Suhrawardi (490-563 H/1097-1168 M) atau dinisbahkan kepadanya, yang memberikan pengaruh kepada keponakannya Syihab al-Din Abu al-Hafs Umar al-Suhrawardi (w. 632-1234). dan membimbingnya di Ribath, Syihab al-Din Abu Hafs Umar al-Suhrawardi di pandang sebagai pendiri Tarikat Suhrawardiyah. Karena yang menyebarkan ajaran-ajaran Abu al-Najib dan melembagakannya adalah Syihab al-Din Abu Hafs al-Suhrawardi. Tarikat ini tersebar ke seluruh bagian dunia yang kemudian melahirkan Thaifah yang terorganisir secara reguler. Abd al-Rahman al-Wasithi mengatakan bahwa Tarikat ini mempunyai banyak cabang yang sulit ditegaskan keberadaannya karena sejumlah besar Thaifah sufi mengklaim sebagai bagian dari silsilah Suhrawardi. Khalifah al-Nashir Li dinillah membangun sebuah ribath untuknya dengan sebuah bangunan besar yang meliputi kamar mandi dan taman yang khusus untuk dirinya dan keluarganya. Syihab al-Din Abu Hafs Umar al-Suhrawardi lewat “Awarif al-Ma’arif” nya telah mengajarkan dan menyebarkan ajarannya, murid-muridnya juga berperan. Ia juga membangun tempat tinggal yang lapang di khanaqah-khanaqah di berbagai kota termasuk Damaskus dan Aleppo.[42]
al-Suhrawardi sangat mempertahankan ortodoksi dengan penuh kehati-hatian dan terus dilanjutkan oleh Najib al-Din Buzghusy (w. 678 H/1279 M) serta Zhahir al-Din Abd al-Rahman. Namun banyak di antara mereka yang hampir tidak dapat di katakan sebagai kaum sufi penerima Khirqah[43] seperti Abu Bakar Muhammad Ibn Ahmad al-Qasthalani (614-686 H/1218-1287 M)[44] yang mendirikan aliran tradisional.Demikian pula penyair besar sa’di al-Syirazy (1208-1292) yang terpengaruh olehnya ketika di Baghdad, bukan pengikut jalan sufi meski jangkauan pemahamannya meliputi sufisme dan jalan para darwisy, di dalam kitabnya al-Bustan Sa’di merujuk kesalehan al-Suhrawardi dan cintanya kepada sesama sufi. Ibn Batuthah juga mengumpulkan Afiliasi-afiliasi dan berpartisifasi bersama khirqah Suhrawardiyah di Isfahan (1327 M) dan di outch[45]
Di lingkungan Arab dan Persia sedikit sekali pengikut Tarikat ini, akan tetapi silsilah Suhrawardi tersebar di India sebagai satu aliran silsilah yang menjadi tarikat utama. Tokoh-tokoh seperti Nur al-Din Mubarak Ghaznawi seorang murid syihab al-Din yang di makamkan di Delhi dan juga Hamid al-Din dari Najore (w. 673 H/1274 M), sementara itu di Sind dan Punjab juga berkembang Tarikat ini lewat Baha’al-Din Zakariya (1182-1268) yang berasal dari khurasan dan bekerja di Multan, kemudian di gantikan oleh puteranya Shadr al-Din Muhammad Arif (w.1285 M).[46] Di Mesir Tarikat ini disebarkan oleh Mushtafa Kamal al-Din al-Bakri (w.1162 H).[47]
Menurut Fazlur Rahman Tarikat ini hanya terdapat di Afghanistan dan anak benua Indo-Pakistan, menurutnya tarikat ini tidak menyebar luas, karena disiplin spiritualnya yang keras. Namun beberapa tarikat belakangan berdiri karena terilhami kerasnya disiplin spiritual tarikat ini, seperti : 1). Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati pada akhir abad ke 8 H/14 M di Persia dan menyebar ke Turki, serta ke Mesir dan Timur tengah pada abad 12 H/18 M, 2).Tijaniyah di Afrika Utara-Barat yang di dirikan seorang murid ordo Khalwariyah.[48]
Di India tarikat ini dapat berkembang dengan luas seiring dengan perkembangan Chisytiyah sehingga membatasi penyebaran Naqsabandiyah, Qadiriyah dan Syathariyah, ini terungkap lewat bangunan lokal yang mengitari Maqam orang-orang suci. Keberhasilan tarikat Suhrawardiyah dan Chisythiyah, adalah pada mistik wali dan adaptasi terhadap instink-instink religius India yang berurat-akar. kedua tarikat tersebut beruntung memiliki pemimpin-pemimpin yang juga wali-wali serta doktrin yang memikat dan jelas.[49]
Tarikat Suhrawardiyah ini pada dasarnya merupakan induk dari sejumlah tarikat, seperti Khalwatiyah, Shiddiqiyah dan lain-lain.[50]
Selain daripada itu, ada kemungkinan tarikat ini sampai ke Indonesia, jika kita lihat pendapat Azyumardi Azra lewat “Jaringan Ulama” yang menerangkan bahwa Ahmad al-Qusyasyi selain di afiliasi dengan tarikat Syathariyah, Chisytiyyah, Firdausiyah dan Kubrawiyah dari Ahmad al-Syinawi atau langsung dari Shibghat Allah ia juga menerima afiliasi tarikat Suhrawardiyah dari Shibgat Allah dan dari Ahmad al-Syinawi melalui silsilah yang mencakup al-Sya’rani.[51] berdasarkan hal di atas penulis menduga bahwa tarikat ini sampai ke Indonesia, karena seorang tokoh dapat diafiliasi dengan berbagai tarikat yang berbeda sehingga kemungkinan sedikit banyaknya terjadi pembauran itu ada
Tentang apakah Tarikat ini Mu’tabarah atau tidak, Aboe Bakar Atjeh mengutip pendapat Dr. Syeikh H. Djalaluddin manyatakan bahwa Tarikat-tarikat yang Mu’tabarah ada 41 Tarikat, termasuk Tarikat suhrawardiyah.


Komentar

Postingan Populer