Tarikat Naqsabandiyah
Tarikat Naqsabandiyah
SUB BAHASAN
|
|
PENGERTIAN/SEJARAH
|
AJARAN
|
Pendirinya :
Baha uddin Naqsyabandi
Naqsyabandiyah merupakan salah satu
tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah
Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki,
Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir
abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia
Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan
munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi
Mujaddidi Alf-i Tsani (”Pembaru Milenium kedua”, w. 1624). Pada akhir abad
ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia
Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang
menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara ketat,
keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari,
serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin
kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
Sejarah
Kebanyakan
orang Naqsyabandiyah Mujaddidiyah dalam dua abad ini menelusuri keturunan
awal mereka melalui Ghulam Ali (Syekh Abdullah Dihlavi [m. 1824]), karena
pada awal abad ke-19 India adalah pusat organisasi dan intelektual utama dari
tarekat ini. Khanaqah (pondok) milik Ghulam Ali di Delhi menarik pengikut
tidak hanya dari seluruh India, tetapi juga dari Timur Tengah dan Asia
Tengah. Hingga kini Khanaqah masih tetap (pernah mengalami masa tidak aktif
akibat perampasan Delhi oleh orang Inggris pada tahun 1857). Namun fungsi
Pan-Islami-nya sebagian besar diwarisi oleh para wakil dan pengganti Ghulam
Ali yang menetap di tempat-tempat lain di Dunia Muslim. Yang terpenting
adalah para syekh yang tinggal di Makkah dan Madinah: kedua kota suci ini
menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah di banyak tanah Muslim sampai terjadinya
penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah pada 1925, yang mengakibatkan
dilarangnya seluruh aktivitas sufi. Demikianlah, Muhammad Jan Al-Makki (w.
1852), wakil Ghulam Ali di Makkah, menerima banyak peziarah Turki dan
Basykir, yang kemudian mendirikan cabang-cabang baru Naqsyabandiyah di
kampung halamannya. Pengganti Ghulam Ali yang pertama di Khanaqah Delhi, Abi
Sa’id, melewatkan beberapa waktu di Hijaz untuk menerima pengikut baru. Anak
dan pengganti Abu Sa’id, Syekh Ahmad Sa’id, memilih tinggal di Madinah
setelah suatu peristiwa besar pada tahun 1857, memindahkan arah
Naqsyahbandiyah India ke Hijaz untuk sementara. Ketiga putra Ahmad Sa’id
sama-sama memperoleh warisannya: dua orang pergi ke Mekkah dan menarik
pengikut dari India serta Turki di sana. Sementara yang ketiga, Muhammad
Mazhhar, tetap di Madinah dan mengelola pengikut yang terdiri dari ulama dan
pengikut dari India, Turki Daghestan, Kazan, dan Asia Tengah. Namun, yang
paling penting dari pengikut Muhammad Mazhhar adalah seorang Arab, Muhammad
Salih al-Zawawi dan murid-muridnya yang tidak merasakan kebencian, yang
umumnya ditujukan kepada Ulama Pribumi terhadap orang-orang non Arab dalam
masyarakat mereka.
Sebagai
guru fiqih Syafi’i, dia memiliki akses khusus terhadap orang-orang Indonesia
dan orang-orang Melayu yang berkumpul di Hijaz, serta berkat al-Zawawi dan
murid-muridnyalah Naqsyabandiyah dikenal secara serius di Asia Tenggara. Di
Pontianak di pantai barat Kalimantan, masih terdapat berbagai jejak garis
Naqsyabandiyah yang terpancar dari Hijaz ini.
Dorongan
yang membawa Naqsyabandiyah ke zaman modern berasal dari pengganti Ghulam Ali
yang lainnya. Maulana Khalid al-Bagdhadi (w. 1827). Beliau mempunyai peranan
yang penting di dalam perkembangan tarekat ini sehinga keturunan dari para
pengikutnya dikenal sebagai kaum Khalidiyah, dan dia kadang-kadang dipandang
sebagai “Pemburu” (Mujaddid) Islam pada abad ke-13, sebagaimana Srihindi
dipandang sebagai pemburu Milenium kedua. Khalidiyah tidak terlalu berbeda
dengan para leluhurnya Mujaddidiyah. Yang baru adalah usaha Maulana Khalid
untuk menciptakan tarekat yang terpusat dan disiplin, terfokus pada dirinya
pribadi, dengan cara ibadah yang disebut Rabithah (”petautan”) atau
konsentrasi pada citra Maulana Khalid sebelum berdzikir. Usaha ini
selanjutnya terkait dengan sikap politik, aktivitas, yang bertujuan untuk
mengamankan supremasi syari’at dalam masyarakat Muslim dan menolak agresi
Eropa. Setelah kematian Maulana Khalid, tidak ada kepemimpinan yang terpusat,
tetapi sikap politik yang mendasari upaya tersebut tetap hidup.
Lahir
di Distrik Syahrazur di Kurdistan Selatan pata 1776, Maulana Khalid
melewatkan waktu sekitar satu tahun bersama Ghulam Ali di Delhi sebelum
kembali ke kampung halamannya pada 1881 dengan “wewenang lengkap dan mutlak”
sebagai wakilnya. Sebelum meninggalkan Delhi, Maulana Khalid memberi tahu
gurunya bahwa tujuan utamanya adalah untuk “mencari dunia ini demi agama”,
dari tiga tempat tinggalnya setelah itu Sulaimaniyah, Bagdad dan Damaskus,
beliau mendirikan jaringan 116 wakil, yang masing-masing dengan tanggung
jawab yang jelas batas geografisnya. Murid-muridnya mencakup tidak hanya
anggota-anggota hierarki agama pemerintahan “Utsmaniyah”, tetapi juga
sejumlah gubernur provinsi dan tokoh militer yang sangat penting dalam
memajukan wibawa Khalidiyah adalah wakil kedua Maulana Khalid di Istambul,
Abdul al-Wahhab al-Susi, yang merekrut Makkizada Musthafa Asim, syekh
al-Islam masa itu ke dalam tarekat ini. Usaha untuk meraih pengaruh atas
kebijakan Utsmaniyah yang disiratkan oleh berbagai upaya ini tidak pernah
benar-benar berhasil.
Namun,
terjadi semacam penyejajaran antara Khalidiyah dengan negara Utsmaniyah pada
masa pemeritahan Abdulhamid II, yang berteman dengan Khalidiyah terkemuka di
Istambul, Ahmed Ziyauddin Gumushanevi (w. 1893). Kepentingan Gumushanevi jauh
mentransendenkan yang politis: tulisannya yang dimiliki banyak mengenai
sufisme pada umumnya dan Naqsyabandiyah pada khususnya, mewakili puncak
sastra sufi Utsmaniyah besar yang terakhir. Sebaliknya, Adbulhamid sangat
ditentang oleh Syekh Naqsyabandiyah yang menonjol lainnya, Muhamad As’ad dari
Ibril wilayah Irak Utara.
Pengaruh
Maulana Khalid mungkin paling nampak di kampung halamannya, Kurdistan. Cabang
Naqsyabandiyah yang beliau perkenalkan di sana sepenuhnya memudarkan pengaruh
“Qadiriyah”, yang sebelumnya merupakan tarekat paling menonjol di wilayah
Kurdistan, dan memunculkan sejumlah keluarga sebagai pemimpin turunan tarekat
itu, serta memegang kepemimpinan dalam urusan negara Kurdistan. Hubungan keturunan
Naqsyabandiyah dengan separatisme Kurdistan, dan kemudian nasionalisme,
pertama kali terlihat dalam pemberontakan besar Kurdistan 1880 yang dipimpim
oleh Ubaidillah dari Syamdinan, yang berhasil membebaskan diri, untuk
sementara, sebagian besar orang Kurdistan Iran dari kendali Iran. Keluarga
Barzani juga mampu mendominasi ungkapan nasionalisme Irak selama beberapa
puluh tahun melalui wibawa Naqsabandiyah yang diwarisinya.
Khalidiyah
juga mengakar dengan cepat dan tepat di Daghestan, wilayah pegunungan yang
terletak di pertemuan Kaukasus dan Rusia Selatan.
Wilayah
ini pertama kali diperkenalkan dengan Naqsyabandiyah pada akhir abad ke-18,
tetapi kedatangan Khalidiyah yang membuat wilayah itu menjadi daerah
Naqsyabandi semasa hidup Maulana Khalid. Penekanan ganda Khalidiyah di
Daghestan adalah penggantian hukum-kebiasaan (cotumary law) non Islam menjadi
syari’at dan perlawanan terhadap pemerintah Rusia. Pemimpin Naqsyabandiyah
pertama untuk orang Daghestan adalah Ghazi Muhammad, yang meninggal dibunuh oleh
orang Rusia pada 1832, dan penggantinya dua tahun kemudian mengalami nasib
yang sama. Sebaliknya Syamil, yang kemudian mengambil kepemimpinan gerakan
itu, mampu menahan Rusia hingga 159, salah satu perlawanan Muslim terhadap
imperialisme Eropa yang terlama dan terkenal. Pengaruh Naqsyabandiyah di
Daghestan ternyata sulit dicabut; kaum Naqsyabandiyah aktif dalam
pemberontakan 1877 oleh Daghestan dan Chechenia yang berjaya pada rentang
waktu antara runtuhnya tsar Rusia dan pembentukan pemerintahan Soviet.
Wilayah
populasi Muslim lain yang diperintah oleh Rusia yang ternyata menerima
Khalidiyah adalah Volga-Ural (sekarang Tatarstan dan Baskira).
Wakil
Maulana Khalid di Makkah, Abdullah Makki (Erzincani), menerima seorang murid
dari Kazan, Fatsullah Menavusi; namun, yang pengaruhnya terbukti menentukan
adalah pengikut Ghumushaveni asal Basykar, Syekh Zainullah Rasulev dari
Troisk. Semula Rasulev adalah pengikut garis mujaddidiyah yang pergi ke
Bukhara, kemudian mengalihkan kesetiaanya kepada Gumushaveni setelah
berkunjung ke Istambul pada 1870. Ketika kembali, dia mempropagandakan
Khalidiyah sehingga membangkitkan permusuhan dari para pesaingnya dan
menimbulkan kecurigaan dari pihak berwenang Rusia; hal ini mengakibatkan
Rasulev dipenjara dan diasingkan. Kemudian bebas lagi pada 1881 dia
memperkukuh dan memperkuat pengikutnya sehingga ratusan murid berada di bawah
pengaruhnya; mereka tidak hanya tersebar diwilayah Volga-Ural, tetapi juga di
Kazakhstan dan Siberia. Tatkala kematian tiba pada 1917, dia disebut sebagai
“raja spiritual rakyatnya”, dan setelah kematiannya wibawa Rasulev tetap
terus bergaung sampai pada periode Soviet: tiga kepala Direktorat Spiritual
untuk kaum Muslim Rusia Eropa dan Siberia yang berfungsi di bawah pengawasan
Soviet adalah murid-murid Rasulev.
Akhirnya,
Khalidiyah memastikan pula penanaman pengaruh Naqsyabandiyah secara permanen
di dunia Melayu Indonesia. Abdullah Makki mempunyai murid dari Sumatera yaitu
Ismail Minangkabawi. Setelah lama menetap di Makkah, Minangkabawi menetap di
Penyengat wilayah kepulauan Riau. Di sana, ia memperoleh kesetiaan dari
keluarga pemerintahan, yang sudah mulai diperkenalkan pada Naqsyabandiyah
oleh Duta-duta pemerintah yang dikirim dari Madinah oleh Muhammad Mazhhar.
Dia juga pergi ke Melayu hingga Kedah, mempropagandakan Khalidiyah ke mana
pun ia pergi. Namun usahanya merupakan rintisan, dan digantikan oleh kegiatan
dua Khalidiyah yang tinggal di Makkah yaitu Khalil Hamdi Pasya dan Syekh
Sulaiman Zuhdi. Kenyataan bahwa kedua orang ini adalah pesaing, saling
menuduh bahwa yang lainnya adalah menyimpang dari prinsip Naqsyabandiyah,
menyiratkan betapa dunia Melayu Indonesia menjadi sumber pengikut yang kaya
untuk Naqsyabandiyah. Dalam jangka panjang, Sulaiman Zuhdi lebih berhasil
dari pada pesaingya, hingga Jabal Abi Qubais di Makkah, tempat dia tinggal,
dipandang sebagai sumber seluruh Tarekat Naqsyabandiyah di Asia Tenggara. Di
antara murid ini banyak yang mendirikan Khalidiyah di berbagai tempat di
Sumatera, Jawa dan Sulawesi, yang paling penting adalah Abdil Wahab Rokan (w.
1926). Beliau dikirim dari Makkah pada tahun 1868 dengan misi untuk
menyebarkan Khalidiyah di seluruh Sumatera, dari Aceh sampai Palembang — misi
yang beliau dilaksanakan dengan sukses besar adalah dari pesantrennya di Bab
Al-Salam, Lengkat-Tinggal menetap selama tiga tahun di Johor, dan
memungkinkan dia untuk memperluas pengaruhnya lebih jauh ke Semenanjung
Malaya.
Praktik
Naqsyabandiyah di Dunia Melayu Indonesia sejak dini sangat berbeda dengan
adanya ritual yang disebut dengan suluk, yakni menyendiri dengan jangka waktu
yang berbeda-beda dan sebagian diiringi dengan puasa. Asal usul praktik ini
sangat berbeda dengan tradisi Naqsyabandiyah yang tidak diketahui. Putusnya
hubungan dengan Makkah akibat penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah makin
menambah ciri khas bagi kaum Naqsyabandiyah di Melayu Indonesia.
|
Zikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat
lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun
menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan
latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan
permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan
aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi,
“tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras
(dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan
dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada
kebanyakan tarekat lain.
Dzikir
dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut
Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi
mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur
dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah. Di banyak
tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at
dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu
atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.
Dua
dzikir dasar Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada pertemuan yang
sama, adalah dzikir ism al-dzat, “mengingat yang Haqiqi” dan dzikir tauhid, ”
mengingat keesaan”. Yang duluan terdiri dari pengucapan asma Allah
berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil
memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil
atau dzikir nafty wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan
pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti
menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari
daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan
dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa dimulai
dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung
inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan
jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.
Variasi
lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi
tingkatannya adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan
kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas)
berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah
(jamak latha’if), adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah
puting susu kiri; ruh (jiwa), selebar dua jari di atas susu kanan; sirr
(nurani terdalam), selebar dua jari di atas putting susu kanan; khafi
(kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman
paling tersembunyi), di tengah dada; dan nafs nathiqah (akal budi), di otak
belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya tidak merupakan
titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai
tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan
bergetar dalam nama Tuhan. Konsep latha’if dibedakan dari teknik
dzikir yang didasarkan padanya bukanlah khas Naqsyabandiyah saja tetapi
terdapat pada berbagai sistem psikologi mistik. Jumlah latha’if dan
nama-namanya bisa berbeda; kebanyakan titik-titik itu disusun berdasarkan
kehalusannya dan kaitannya dengan pengembangan spiritual.
Ternyata
latha’if pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang,
titik-titik itu letaknya berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi
dan teknik meditasi seluruhnya sama saja.
Asal-usul
ketiga macam dzikir ini sukar untuk ditentukan; dua yang pertama seluruhnya
sesuai dengan asas-asas yang diletakkan oleh ‘Abd Al-Khaliq Al-Ghujdawani,
dan muntik sudah diamalkan sejak pada zamannya, atau bahkan lebih awal.
Pengenalan dzikir latha’if umumnya dalam kepustakaan Naqsyabandiyah
dihubungkan dengan nama Ahmad Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam
Tarekat Kubrawiyah sebelumnya; jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah
di Asia Tengah sebetulnya sudah mengenal teknik tersebut sebelum
dilegitimasikan oleh Ahmad Sirhindi.
Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad
(Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad
merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau
memuji Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam
yang sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak
secara psikologis akan mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja
diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syekhnya, untuk diamalkan
secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain;
atau seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan.
Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan
yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di
tempat yang lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda.
Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad
Al-Fathiyyah, dihimpun oleh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak memiliki
persamaan sama sekali dengan kaum Naqsyabandiyah. (syafii.wordpress.com).
|
Komentar
Posting Komentar