Makalah tentang Mu'tazilah
BAB I
PENDAHULUAN
Golongan Mu’tazilah muncul masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi
baru menghebohkan pemikiran keislaman pada masa pemerintahan Bani ‘Abbas dalam
masa yang cukup panjang.[1]
Dalam
sejarah perkembangan teologi Islam, terdapat banyak golongan yang berbeda aliran
dan faham-faham dalam masalah keimanan maupun yang berhubungan dengan
keduniawian. Begitu juga halnya dengan golongan Mu’tazilah yang dipandang
sebagai aliran yang lebih mendalam yang bersifat filosofis dari golongan yang
lain, sehingga mereka digelari dengan “kaum rasionalis Islam”.[2]
Memang
telah diakui bahwa pemuka-pemuka Mu’tazilah dalam pemikiran keagamaan banyak
menggunakan rasio, sehingga dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan
permasalahan teologi yang belum jelas pengertiannya. Mereka lebih menerima
makna yang tersirat daripada makna yang tersurat. Karena begitu tingginya
kekuatan yang mereka berikan kepada akal, sehingga timbul anggapan dikalangan
umat Islam bahwa mereka lebih mengutamakan rasio daripada wahyu. Anggapan ini
membawa kepada tuduhan bahwa kaum Mu’tazilah adalah golongan yang tersesat dan
tergelincir dari jalan yang lurus.
Untuk
dapat mengetahui sejauh mana kebenaran paradigma pemikiran tersebut, maka dalam
makalah ini penulis akan menguraikan sejarah munculnya Mu’tazilah,pokok-pokok
pikiran Mu’tazilah yang terdiri dari lima ajaran pokok yang disebut juga dengan
Al-Ushul al-Khamsah, dan dalam makalah ini juga
akan dijelaskan tentang Akal dan wahyu, sifat Tuhan, Iman dan kufur, perbuatan
manusia, perbuatan Tuhan dan mihnah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Timbulnya Mu’tazilah
Mu’tazilah salah satu aliran dalam
teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan
aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan teologisnya lebih
banyak ditunjang oleh dalil-dalil ‘aqliah (akal) dan lebih bersifat
filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Mu’tazilah
didirikan oleh Washil bin ‘Ata’ pada tahun 100 H/718 M.
Aliran ini muncul sebagai reaksi
atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai soal
orang mukmin yang berdosa besar. Menurut kaum Khawarij, orang mukmin yang
berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir.
Sementara itu kaum Murji’ah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar
itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial
ini, Washil bin ‘Ata’ yang ketika itu menjadi murid Hasan al-Basri, seorang
ulama di Basra, mendahului gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin
yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu
bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena, di akhirat
nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan
kedalam neraka, tetapi siksaannya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
Demikianlah pendapat Washil, yang
kemudian menjadi salah satu dokrin Mu’tazilah, yakni al-Manzilah wa
al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Setelah menyataka pendapatnya itu,
Washil bin ‘Ata’ meninggalkan gurunya Hasan al-Basri lalu membentuk kelompok
sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal Mu’tazilah. Setelah Washil
memisahkan diri, Hasan al-Basri berkata, “I’tazala‘anna” Washil (Washil
menjauhlah dari kami). Menurut Syahristani, dari kata I’tazala‘anna itulah
lahirnya istilah Mu’tazilah yang artinya orang yang memisahkan diri.[3] Syahrastani
berpendapat, yang dimaksud dengan kata itu sebenarnya adalah para pengikut
orang yang mengasingkan diri dari gurunya karena berbeda faham dalam satu
permasalahan tentang dosa besar, yaitu antara Washil ibn ‘Atha’ dengan Hasan
al-Basri. Bagi Hasan al-Basri pelaku dosa besar dihukum munafik sedangkan
menurut Washil mereka hanya dihukum fasik dan berada di antara dua tempat (al-manzilah
baiyn al-manzilatain), dengan arti orang tersebut tidak mukmin, akan tetapi
belum sampai kepada kafir.[4]
Hal ini terjadi pada permulaan abad kedua Hijrah, yaitu pada waktu pemerintahan
dipegang oleh Hisyam bin Abdul Malik (101-125 H) dari bani Umayyah, aliran
Mu’tazilah sebagai suatu aliran teologi tumbuh dan berkembang mulai 100-255 H.[5]
Dalam sejarah Islam, golongan yang
mengasingkan diri itu pernah timbul saat terjadi pertikaian antara Khalifah
‘Ali ibn Thalib dengan Mu’awiyah diantaranya adalah Sa’at ibn Abi Waqqas,
Abdullah ibn ‘Umar dan lain-lain.[6]
Menurut Ahmad Amin kata-kata Mu’tazilah memang sudah dipakai jauh sebelum
munculnya Mu’tazilah sebagai aliran teologi dalam Islam. Mu’tazilah dalam arti
yang pertama, ditujukan kepada mereka yang menjauh dari permasalahan politik
ketika memanasnya suhu politik antara ‘Ali dengan Mu’awiyah, yaitu pada
pertengahan abad pertama Hijri.[7]
Menurut al-Mas’udi
sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution, bahwa penamaan Mu’tazilah tidak
ada hubungannya dengan peristiwa Washil ibn ‘Atha’ dengan gurunya Hasan
al-Basri. Mereka dinamakan Mu’tazilah karena pendapat mereka al-manzilah
baiyn al-manzilatain.[8]
Kelihatannya Ahmad Amin sepakat dengan alasan di atas ini, karena menurut
riwayat tentang peristiwa tersebut amat beragam, di samping perginya Washil
dari majelis gurunya, belum bisa dijadikan alasan seseorang itu disebut i’tizal.
Dengan demikian yang
dimaksud oleh al-Mas’udi dan Ahmad Amin dapat dipahami bahwa nama Mu’tazilah
tersebut lebih mengacu kepada substansi ajarannya bukan peristiwa perginya
Washil dari majelis gurunya. Meskipun beragam pendapat pada penamaan ini, namun
yang jelas munculnya aliran Mu’tazilah sangat erat kaitannya dengan peristiwa
Washil dengan gurunya.
B. Al-Ushul
Al-Khamsah, Akal dan Wahyu, Sifat Tuhan, Iman dan Kufur, Perbuatan
Manusia, Perbuatan Tuhan dan Mihnah.
Sebenarnya
golongan Mu’tazilah ini mempunyai berbagai nama yang mereka munculkan sendiri, sebagai
lambang doktrin mereka. Nama-nama itu pertanda i’tikat baik mereka dalam
membela Islam. Namun ada pula julukan-julukan yang diberikan oleh musuh-musuh
mereka dengan berkonotasi negatif. Mu’tazilah
menamai golongannya dengan ahl al-Tauhid wa al-Adl, golongan yang
mempertahan keesaan murni dan keadilan Allah. Akan tetapi lawan mereka
menjuluki mereka sebagai al-Qadariyah, karena mereka menganut paham
bahwa manusia memiliki kebebasan untuk bertindak (pree will and free act);
al-Mu’aththilat, karena mereka berpendapat bahwa Allah, tidak memilik sifat,
dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Allah, atau dengan bahasa
olok-olok dari lawan mereka, Mu’tazilah menelanjangi Allah dari sifat-sifat-Nya;
dan al-Wadiat, karena mereka berpendapat bahwa ancaman-ancaman Allah
terhadap orang-orang yang tidak patuh, pasti dan tidak boleh tidak akan menimpa
diri mereka.[9]
Doktrin mereka
memiliki lima dasar yang dalam bahasa arabnya disebut al-Ushul al-Khamsat.
Kata ushul dalam bahasa Arab jamak dari ashl, yang berarti dasar
atau pokok. Menurut al-Syahrastani bahwa kata al-ushul itu ialah
mencakup Allah dalam kemahaesaan-Nya dan sifat-sifat-Nya, serta rasul-rasul melalui
tanda-tanda dan penerangan-penerangan mereka, yang semuanya itu menjadi bukti
tentang kebenaran kerasulan mereka terhadap penantang-penantang mereka. Ilmu agama terbagi dua : ma’rifat dan
tha’at (pengetahuan sempurna dan patuh). Al-Ma’rifat adalah
ushul, sedangkan al-tha’at adalah furu’ (cabang), maka orang
yang berbicara mengenai al-Ma’rifat dan al-Tawhid disebut ushuliyyun
(pengkaji pokok-pokok ilmu) dan orang yang berbicara mengenai al-Tha’at dan
al-Syari’at digelari furu’iyyun. Al-Ushul adalah topik
pembicaraan teologi Islam, sedangankan furu’ adalah topik pembicaraan ilmu
fiqh.[10]
Dari al-Ushul
al-Khamsat Mu’tazilah itu dapatlah dilihat arah dan tujuan pemikiran yang
mereka terapkan. Mereka berusaha memurnikan agama Islam dan segala ajarannya
dari segala unsur kesyirikan dan kemunafikan. Semuanya itu mereka lakukan
berlandaskan iman dan relitas kehidupan serta tuntunan al-Qur’an dan Sunnah.[11]
Penjelasan kelima prinsip ajaran
Mu’tazilah sebagai berikut :
1. Al-Tauhid
Al-Tauhid (Pengesaan
Tuhan) merupakan inti paham Mu’tazilah. Al-Asy’ari menggambarkan paham ini
dalam bukunya, Maqalat al-Islamiyyin sebagai berikut.
“Sesungguhnya Allah adalah Esa, tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha Meliahat; tidak bertubuh,
tidak berdaging, tidak berdarah, bukan pribadi, bukan jauhar, bukan ’ardh, tidak
berasa, tidak bisa diraba, tidak panas, tidak dingin, tidak Muda, tidak tua, tidak panjang, tidak pendek,tidak
diam, tidak berbagi, tidak mempunyai bagian, tidak beranggota tubuh, tidak
berarah, tidak di kiri, tidak di kanan, tidak di depan, tidak di belakang,
tidak di atas, tidak di bawah, tidak terikat dengan waktu dan ruang, tidak
mendekat, tidak menjauh, tidak memerlukan tempat, dan sedikitpun tidak bisa
disifati dengan sifat makhluk yang menunjukkan bahwa bereka adalah baharu,
tidak disifati dengan berakhir, tidak pula dapat disentuh, tidak mempunyai
sifat yang mengarah ke suatu arah, tidak terbatas, tidak beranak dan tidak
diperanakkan, tidak terikat dengan ukuran, tidak terhalang oleh
dinding,-dinding batas, tidak dapat ditangkap dengan panca indra, tidak dapat
dianalogikan kepada manusia, tidak menyerupai makhluk dari segi apa pun, tidak
berlaku waktu bagi-Nya dan tidak terjangkau kebinasaan” .[12]
Boleh jadi apa
yang menyebabkan mereka mempertahankan “Keesaan” itu semurni-murninya ialah
karena mereka menghadapi golongan Syi’ah Rafidah yang ekstrim dan yang
menggambarkan Tuhan dalam bentuk yang berjisim, di samping golongan-golongan
agama dualisme dan trinitas.[13]
Kaum Mu’tazilah melihat kemahaesaan Allah itu adalah murni; dalam
arti tidak bercampur dengan unsur lain. Mereka memurnikan zat Allah dan
membersihkannya dari bersifat yang berdiri sendiri, karena sifat yang berdiri
sendiri itu menjadikannya banyak yang qadim : qadim zat dan qadim
sifat. Ini membawa kepada kemusyrikan sebab kemahaesaan Allah telah
tercemar dengan wujudnya qadim tandingan qadim Allah.[14]
Tuhan dalam paham mereka, akan betul-betul Maha Esa hanya kalau
Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia. Oleh
karena itu mereka menolak paham anthropomorphisme. Anthropomorphisme sebagaimana
diketahui menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk-Nya. Selanjudnya mereka
juga menolak beatific, vision yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat manusia
dengan mata kepalanya. Satu-satunya sifat Tuhan betul-betul, tidak mungkin ada
pada makhluk-Nya ialah qadim dalam arti tidak mempunyai permulaan. Dan
oleh karena itu tidak ada yang lain selain dari Allah yang bersifat qadim.
Hanya zat Tuhan yang boleh qadim. Paham ini sebagaimana dilihat
sebelumnya, mendorong kaum Mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan; yaitu
sifat-sifat yang mempunyai wujud sendirinya di luar zat Tuhan. Ini tidak berarti Tuhan tidak diberi
sifat-sifat oleh kaum Mu’tazilah. Tuhan bagi mereka tetap Maha Tahu, Maha
Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan sebagainya, tetapi semua
itu tidak dapat dipisahkan oleh zat Tuhan. Dengan kata lain sifat-sifat itu
merupakan esensi Tuhan.
Dengan demikian yang dimaksud kaum
Mu’tazilah dengan peniadaan sifat-sifat Tuhan, ialah memandang sebagian dari
apa yang disebut golongan lain sifat sebagai esensi Tuhan, dan sebagian lain
sebagai perbuatan-perbutan Tuhan. Paham ini timbul karena keinginan mereka
untuk menjaga murninya kemahaesaan Tuhan, yang disebut tanzih dalam
istilah Arab.[15]
Setelah diperhatikan rumusan tauhid yang dikemukakan oleh aliran
Mu’tazilah di atas, ternyata tidak
satupun yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Dengan kata lain,
pendapat-pendapat yang mereka majukan masih seputar aqidah Islamiyah. Pemberian
sifat Tuhan membawa pada banyaknya jumlah yang qadim, sedangkan dalam paham teologi Islam yang qadim
itu hanya satu. Kalau iman dalam pelajaran biasa ialah : tiada Tuhan selain
Allah; maka iman dalam teologi Islam mengambil bentuk tiada yang qadim selain
Allah. Oleh karena itu, paham banyak yang qadim membawa pada syirik, dan
syirik dalam Islam adalah dosa terbesar yang tidak diampuni Allah. Firman Allah
dalam surat al-Nisa’ ayat 48 :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ
ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى
إِثْمًا عَظِيمًا
Artinya
:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa yang besar.[16]
2.
AL-‘Adl
Paham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam banyak tergantung pada
pandagan, apakah manusia mempunyai kebebasan dalam bertindak ataukah manusia
hanya terpaksa saja. Mu’tazilah yang dipandang sebagai aliran kalam rasional
mengatakan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Jabbar, bahwa keadilan Tuhan
mengandung arti, Tuhan tidak berbuat dan memilih yang buruk, tidak melalaikan
kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatannya adalah baik.[17]
Dengan demikian pendapat ini mengaharuskan tidak bolehnya bagi Tuhan bersifat
zalim dalam menghukum, memberi beban yang terpikul oleh manusia, dan keharusan
memberi pahala terhadap orang yang berbuat berlaku baik. Dengan kata lain,
Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah mempunyai kewajiban-kewajiban yang
ditentukan-Nya sendiri buat diri-Nya. Oleh sebab itu sebagai bukti keadilan
Tuhan, Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia untuk bertindak dan menentukan
sikap, tetapi bila Tuhan telah menentukan taqdir manusia, maka berarti keluar
dari makna keadilan tersebut.
Ajaran dasar kedua al-‘adl ada hubungannya dengan al-tawhid.
Kalau dengan al-tawhid kaum Mu’tazilah ingin menyucikan diri Tuhan dari
persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘adl mereka ingin menyucikan
perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhanlah yang
berbuat adil; Tuhan tidak bisa berbuat zalim. Pada makhluk terdapat perbuatan
zalim. Dengan kata lain, kalu al-tawhid membahas keunikan diri Tuhan, al-‘adl
membahas keunikan perbuatan Tuhan.[18]
Semua perbuatan
Tuhan itu sifatnya baik. Ekspresi yang demikianlah, menurut kaum mu’tazilah
belum cukup untuk mengekspresikan kemahabaikan Tuhan. Oleh karena itu, mereka
mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk mendatangkan yang baik, bahkan yang
terbaik untuk manusia.[19]
Masih berkaitan
dengan al-‘adl dalam masalah ini kaum Mu’tazilah berkeyakinan bahwa
manusia bebas memilih, bebas berkehendak dan bertanggung jawab atas pilihan dan
kehendaknya itu. Dengan kata lain, perbuatan baik dan buruk adalah bebas
pilihan manusia, dan ia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut.[20]
Setiap orang
mengatakan bahwa apa yang dilakukannya itu bersumber dari dirinya sendiri.
Lebih-lebih lagi apabila perbuatan itubaik dan menghasilkan yang baik pula.
Bagaimana dengan kejahatan dan kecelakaan ? pelaku akan spontan mengatakan
bahwa itu nasib dan taqdir. Inilah yang tidak dikehendaki oleh kaum Mu’tazilah,
dengan persepsi yang begitu, tuduhan zalim kepada Allah tidak terelakan
disadari atau tidak.[21]
3.
Al-Wa’ad wa al-Wa’id
Tuhan berjanji
akan memberi pahala dan mengancam akan menjatuhkan siksa, pasti akan
dilaksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan demikian. Siapa yang berbuat baik,
maka akan dibalas dengan kebaikan dan sebaliknya, mereka yang berbuat jahat
akan dibalas dengan kejahatan pula.[22]
Sebagaiman
firman Allah SWT didalam surat : al-Israk ayat 7 :
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ
لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا...
Artinya :
Jika kamu
berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu
berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri...(QS al-Israk : 7).[23]
Janji dan
ancaman (al-Wa’d wa al-Wa’id) adalah pokok ajaran yang ketiga bagi kaum
Mu’tazilah. Ini merupakan lanjutan daripada ajaran tentang keadilan Allah.[24]
Doktrin ini menegaskan bahwa Allah itu
sangat menepati janji-janji-Nya. Allah tidak akan tawar-menawar dalam menyiksa
pendosa besar, kecuali telah bertobat sebelum matinya. Apabila ia mati dengan
dosanya sebelum bertaubat, maka ia akan tetap dimasukkan ke dalam neraka dan
kekal di dalamnya. Namun azab yang diterimanya lebih ringan dari yang dialami
oleh orang kafir.[25]
4.
Al-Manzilat baina al-Manzilatain
Doktrin keempat ini dikenal sebagai penengah diantara beberapa pendapat
dan hukum atas pelaku dosa besar yang menyebabkan mereka berbeda pendapat
dengan Murji’ah dan Khawarij. Sementara hal ini pula sebagai pemicu timbulnya
perselisihan pendapat antara al-Hasan al-Basri dan Washil ibn ‘Atha’.[26]
Posisi menengah bagi berbuat dosa besar, juga erat kaitannya dengan
keadilah Tuhan. Pembuat dosa besar bukan kafir, karena ia masih percaya kepada
Tuhan dan Nabi Muhammad; tetapi bukan mukmin, karena imannya tidak lagi
sempurna. Karena bukan mukmin, ia tidak dapat masuk surga, dan bukan kafir
pula, ia sebenarnya tak mesti masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan di luar
surga dan di luar neraka. Inilah sebenarnya keadilan Tuhan. Tetapi karena
akhirat tidak ada tempat lain dari surga dan neraka, maka pembuat dosa besar,
harus dimasukkan ke dalam salah satu tempat ini. Penentuan tempat itu banyak
hubungannya dengan faham Mu’tazilah tentang iman. Iman bagi mereka,
digambarkan, bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh
perbuatan-perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar tidak beriman dan oleh
karena itu tak dapat masuk surga. Tempat satu-satunya ialah neraka. Tetapi
tidak adil kalau ia dalam neraka mendapat siksa sama berat dengan orang kafir. [27]
Oleh karena itu pembuat dosa besar, betul masuk neraka, tetapi
mendapat siksaan yang lebih ringan. Ini menurut Mu’tazilah, posisi menengah
antara mukmin dan kafir, dan itulah pula keadilan.
5.
Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar
Golongan orang
Mu’tazilah telah sepakat menyeru dan menunjukkan pada kebajikan dan mencegah ke
arah perbuatan keji dan mungkar, itu adalah suatu kewajiban bagi semua umat
Islam. Ini dimaksudkan agar kebaikan itu tidak diabaikan dan kejahatan itu
tidak dibiarkan berleluasa. Penyeruan pada kebaikan dan pencegahan daripada
kejahatan itu adalah perintah fardhu kifayah; di mana apabila telah
dikerjakan sebagian mukallaf, maka gugurlah tuntutan tersebut memerlukan
kepada keilmuan dan kebijaksanaan tertentu. Sesuatu yang mau diserukan itu
perlulah diketahui dulu tentang yang ma’rufnya. Kemudian diperlukan taktik
untuk menyeru dan menunjukkannya, agar tidak terjadi suatu hal di luar daripada
yang dimaksud.[28]
Berdasarkan
paparan sebelumnya, tidak ada satu petunjukpun yang dapat diketengahkan untuk
menuduh mereka keluar dari akidah Islam. Aliran ini terbentuk dan berdiri dalam
kegiatan menegakkan dan mempertahankan akidah Islam. Untuk kegiatan suci
tersebut mereka menggunakan pola-pola hujjah akal dalam usaha golongan yang
menyimpang dari akidah Islam. Aliran ini tetap bersandar pada ayat-ayat
al-Qur’an dan sunnah. Dengan bantuan metode takwil akal pada ayat al-Qur’an
mereka dapat mentafsirkan wahyu mengikuti kesucian akal. Dengan cara itu mereka telah dapat
memberikan pengertian dan petunjuk yang baik tentang agama Islam.[29]
Selain prinsip
dasar utama di atas, Mu’tazilah memiliki pandangan terhadap beberapa hal,
sebagai berikut :
a.
Akal dan wahyu Mu’tazilah dalam pemikiran keagamaan mereka banyak
mempergunakan akal (rasio), mereka percaya kepada kekuatan akal yang
dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia. Dalam penafsiran ayat-ayat teologi
mereka memakai pemikiran rasional. Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan
kepada akal, sehingga timbul anggapan dikalangan sebagian umat Islam bahwa mereka lebih mengutama rasio
dari wahyu. Anggapa ini membawa tuduhan bahwa kaum Mu’tazilah adalah golongan
Islam yang tersesat dan tergelincir dari jalan yang lurus dan benar.[30]
Menurut Harun
Nasution dalam buku teologi Islam bahwa akal sebagai daya berfikir yang ada
dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai pada Tuhan, dengan
keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap
Tuhan dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada diri
manusia.[31]
Pemikiran
rasional memang banyak mempengaruhi kaum Mu’tazilah dalam menentukan
pendapat-pendapat keagamaan mereka. Abu Al-Huzhail yang pertama memberikan
penjelasan sejauh mana akal manusia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan.
Menurut pendapatnya, akal dapat mengetahui dua masalah pokok dalam tiap-tiap
agama, yaitu Tuhan dan soal kebaikan serta kejahatan. Ia menjelaskan bahwa akal
manusia dapat :
1.
Mengetahui adanya Allah.
2.
Mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Allah.
3.
Mengetahu apa yang baik da apa yang buruk.
4.
Mengetahui kewajiban manusia berbuat baik dan kewajibannya menjauhi
perbuatan jahat.
Oleh karena
itu, tidak mengherankan kalau timbul anggapan orang luar Mu’tazilah bahwa
Mu’tazilah memandang tidak perlu adanya wahyu bagi manusia; akal manusia cukup
kuat mengetahui segalanya; kalau ada pertentangan pendapat akal dan wahyu,
pendapat akallah yang dipegang dan wahyu dikesampingkan; Mu’tazilah tidak
percaya kepada wahyu. Demikian, tuduhan lawan-lawan Mu’tazialah.
Tetapi betulkah
kaum Mu’tazilah menganggap akal dapat mengetahui segala-galanya, dan oleh
karena itu wahyu tidak diperlukan lagi ? Tulisan pemuka-pemuka Mu’tazilah
memberikan gambaran yang sebaliknya, akal manusia dalam pendapat mereka tidaklah
begitu kuat untuk dapat mengetahui segala hal dan oleh karena itu wahyu perlu
bagi manusia untuk dapat mengetahui apa yang sebenarnya baik dan apa yang
sebenarnya buruk.[32]
Akal, betul
dapat mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak
mengetahui cara dan ritual berterimakasih itu, maka wahyulah solusinya.
b.
Peniadaan sifat-sifat Tuhan. Satu atribut Tuhan lainnya yang kuat
dipertahankan kaum Mu’tazilah kemahaesaan Tuhan bagi mereka, Tuhan adalah Maha
Esa dan Maha Adil. Dalam usaha memurnikan kemahaesaan Tuhan, mereka menolak
segala pemikiran yang dapat membawa kepada paham syirik atau politeisme. Kalau
dikatakan Tuhan mempunyai sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak,
yaitu unsur zat yang di sifati dan unsur-unsur yang sifat melekat kepada zat.[33]
Untuk mengatasi
paham syirik inilah, maka Washil mengatakan Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini
berarti Washil dan pengikut-pengikutnya menolak ayat-ayat yang menggambarkan
tentang sifat-sifat Tuhan seperti Ar-rahman, Ar-rahiim, Al-qadir dan lain
sebagainya. Sebagaimana orang-orang Islam yang percaya bahwa teologi dalam
wahyu yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Muhammad, mereka menerima ayat-ayat
itu bersama kebenaran seluruh ayat-ayat lainya. Hanya penafsiran mereka tentang
ayat-ayat itu berlainan dengan penafsiran aliran teologi teologi lain dalam
Islam.[34]
c.
Iman dan Kafir, para tokoh Mu’tazilah pada umumnya mendefenisikan dalam
batasan patuh, yaitu patuh terhadap kewajiban agama. Kepatuhan merupakan suatu
tiang dan esensi nyata imam. Sehingga siapa yang mengabaikannya maka dia bukan
orang yang percaya. Menurut mereka iman bukan tasdiq yaitu bukan
menerima apa yang dikatakan sebagai kebenaran (al-iman bi altaqlid) maka
iman artinya aktif, karena iman manusia dapat sampai kepada pengetahuan kepada
Allah. Jadi iman dalam arti mengetahui belum cukup, artinya orang yang
mengetahui Tuhan tetapi melawan kepada-Nya bukanlah orang mukmin, dengan
demikian menurut mereka iman bukan tasdiq dan bukan ma’rifat.
Tentang pelaku
dosa yang dipandang kafir oleh orang-orang Khawarij dan tetap mukmin menurut
Murji’ah. Sedangkan mereka menurut Mu’tazilah mereka tidak menentukan status
atau prediket yang pasti. Apakah telah kafir atau mukmin. Ia menepati posisi
tengah antara mukmin dan kafir. Yang terkenal dengan al-manzili bain
al-manzilatain, bila ia meninggal sebelum bertobat, ia akan masuk dan kekal
di dalam neraka. Namun siksaannya lebih ringan dari orang kafir.[35]
Mengenai
perbuatan yang dikategorikan dosa besar. Mu’tazilah merumuskan lebih konseptual
dibandingkan dengan Khawarij. Bahwa dosa besar adalah yang disebutkan dengan
secara tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil adalah segala ketidak patuhan yang
ancaman tidak ditegaskan di dalam nas.
d.
Perbuatan manusia. Pemahaman mereka tentang perbuatan manusia adalah
bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh manusia itu sendiri, hal ini bertolak
belakang dengan pemahaman al-asy’ari yang menilai bahwa manusia tidak akan
lepas dari kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Perbuatan manusia tidak
diwujudkan manusia sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan. Hal ini didasarkan
kepada firman Allah. (Q.S. 37 : 96)
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya :
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat itu."
e.
Perbuatan Tuhan, sebagai ajaran yang bercorak rasional Mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia.
Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam suatu kewajiban, yaitu
kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia.[36]
Menurut Syekh
Abdurrahman Siddiq mencoba menanggapi tentang Tuhan memeliki kewajiban kepada
manusia dengan cara melihat dari dua sisi sumber pengetahuan, yaitu sisi akal
dan wahyu. Dari sisi akal bahwa Tuhan tidak memiliki kewajiban-kewajiban
terhadap manusia kecendrungan ini tergambar dalam penjelasan bahwa Tuhan tidak
terkait oleh kewajiban-kewajiban baik untuk berbuat atau meninggalkannya. Dari
segi wahyu menurutnya dapat menerima ada kewajiban-kewajiban Tuhan, jadi
menurutnya Tuhan sendiri yang mewajibkan dirinya untuk melakukan atau untuk
tidak melakukan sesuatu yang dikehendakinya.[37]
Dalam paham ini
termasuklah kewajiban-kewajiban Tuhan menepati janji-janji-Nya, kewajiban Tuhan
mengutus Rasul-rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia, kewajiban Tuhan
memberi rizki kepada manusia dan sebagainya.[38]
C. Mihnah
Pada awal perkembangannya, Mu’tazilah tidak mendapat simpati ummat
Islam, khususnya kalangan awam karena mereka sulit memahami ajaran Mu’tazilah
yang rasional dan filosofis tersebut. Alasan lain adalah, Mu’tazilah dinilai
tidak teguh berpegang pada sunnah Rasul.[39]
Mu’tazilah baru
mendapat dukungan yang luas, terutama dari kalangan intelektual pada masa
Khalifah Abasiyyah al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M). Pada fase tersebu Mu’tazilah
sebagai golongan yang mendapat dukunga penguasa mulai memaksakan ajarannya pada
kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal denganistilah Mihnah (inqusition)
Mihnah muncul sehubungan dengan paham Khalq al-Qur’an. Kaum Mu’tazilah
berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang tersusun dari suara dan
huruf. Al-Qur’an itu makhluk, dalam arti ia diciptakan oleh Allah. Karena
diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, tidak qadim. Jika al-Qur’an dikatakan
qadim, maka akan ada yang qadim selain Allah.[40]
Peristiwa yang terjadi pada masa Khalifah
al-Ma’mun yaitu pengujian keyakinan yang dilakukan terhadap para ulama mengenai
pendirian mereka tentang makhluknya al-Quran serta sangsi hukum yang harus
diterima terkait dengan keyakinan mereka.
Alasan untuk melakukan mihnah adalah :
a.
Al-Ma’mun merasa berkewajiban memperbaiki aqidah yang rusak.
b.
Kebanyakan manusia berkeyakinan bahwa al-Qur’an qadim.
c.
Para hakim banyak yang berkeyakinan al-Qur’an qadim.
d.
Paham kemakhlukan al-Qur’an konsekwensi dari paham tauhid.
Penulis
berpendapat bahwa peristiwa mihnah tersebut hanyalah perlakuan oknum bukanlah
representasi pemikiran Mu’tazilah. Karena pemikiran Mu’tazilah tidak mengemukan kekerasan, namun
mereka lebih mengutamakan kekuatan akal dan pikiran.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan :
1.
Ditinjau dari sejarah timbulnya Mu’tazilah, bahwa ada beberapa
pendapat tentang lahirnya kaum Mu’tazilah itu adalah :
a.
Kata-kata Mu’tazilah memang sudah dipakai jauh sebelum munculnya
Mu’tazilah sebagai aliran teologi dalam Islam. Mu’tazilah dalam arti ini,
ditujukan kepada mereka yang menjauh dari permasalahan politik ketika
memanasnya suhu politik antara ‘Ali dengan Mu’awiyah, yaitu pada pertengahan
abad pertama Hijri
b.
Peristiwa Washil ibnu ‘Atha’ dengan Hasan al-Basri di masjid
Basrah. Yang menyebabkan Washil memisahkan diri dari majlis Hasan.
2.
Dilihat dari ajaran-ajaran Mu’tazilah di atas dapat diambil
kesimpulan diantaranya :
a.
Bila ditinjau dari penyelesaian permasalahan dan argumen-argumen
yang dikemukakan oleh Mu’tazilah, dapat dikatakan bahwa Mu’tazilah cendrung
memahami ayat-ayat al-Qur’an yang tidak tegas penjelasannya di dalam al-Qur’an,
dengan memakai makna majazi atau kontek ayat tidak teks ayat. Dengan demikian
Mu’tazilah pada dasarnya telah berusaha menjembatani suatu usaha rekonsiliasi
antara rasio dengan wahyu (agama).
b.
Dengan konsep sunnatullah Mu’tazilah dan sikap Qadariyah, secara
tidak lansung mengiring manusia untuk berfikir maju.
B.
Saran
Semoga dengan
kajian ini dapat memberika informasi berimbang tentang aliran Mu’tazilah
sebagai salah satu aliran dalam pemikiran Islam. Sehingga kita daapat
melajudkan diskusi dan analisa yang komprehensif guna kesempurnaan makalah ini
dan menambah khazanah keilmuan.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Abu Zahrah,
Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Alih bahasa Abd. Rahman
Dahlan dan Ahmad Qarib, Judul asli “Tarikh al_Mazahib al-Islamiyyah, Jakarta
: Logos, 1996
Amin, Ahmad, Fajar
al-Islam, Kairo : Maktabah al-Nahdah, 1975
Abdul Jabar,
Ibn Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Ed
Abdul Karim Usma, Kairo : Ma’tabah Wahbah, 1996
Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, Kairo : al-Nahdah, tt
Azhar Basyir,
Ahmad, Refleksi atas Persoalan Keislaman, Bandung : Mizan, 1993
Depag RI, Al-Qur’an
Terjemahan, Bandung : Syamil Cipta Media, 2005
A. Nasir, Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2001
Zar,
Sirajuddin, Teologi Islama Aliaran dan Ajarannya, Padang : IAIN IB
Press, 2003
Nasution,
Harun, Teologi Islam, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 1986
Nazir, Karim,
Muhammad, Dialektika Teologi Islam, Nuansa : Sukses Press, 2004
Nasution, Harun
Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung : PT. Almizan, 1998
Razak, Abdul, Ilmu Kalam, Perpustakaan Bandung, 2003
Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut : Darul Fikri, tt
[1] Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Alih
bahasa Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Judul asli “Tarikh al-Mazahib
al-Islamiyyah, (Jakarta : Logos, 1996), h. 149
[2] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta : UI Press, 1986), h.
38
[3] Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001),
Jilit 3, h. 290
[4]Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, (Beirut : Darul Fikri, tt), h. 258
[5] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Kairo : al-Nahdah, tt), h. 90
[6] Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman, (Bandung
: Mizan, 1993), Cet. 3, h. 28
[7] Ahmad Amin, Fajar al-Islam, (Kairo : Al-Nahdah, 1975), Cet. 11,
h. 291
[8] Harun Nasution, Op. Cit., h. 39
[9] Sirajuddin Zar, Teologi Islama Aliaran dan
Ajarannya, Padang : IAIN IB Press, 2003), h. 64, lihat juga al-Syahrastani, al-Milal
wa al-Nihal, (Kairo : Muassasat al-Halaby wa Syurakah li al-Nasyr, 1968),
Juz I, h. 43
[10] Ibid, h. 65-66
[11] Ibid.
[13] A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta : PT. Al-Husna
Zikra, 1995), h. 75
[14] Sirajuddin Zar, Op., Cit., h. 67
[15] Harun Nasution, Op. Cit., h. 53-54
[17]Ibn Ahmad, Abdul Jabar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Ed Abdul Karim Usma, (Kairo : Ma’tabah Wahbah,
1996), h. 301
[18] A.Hanafi, Op. Cit., h.
77
[19] Ibid. h.78
[20] Sirajuddin Zar, Loc. Cit.
[21] Ibid., h. 72-73
[22] Sahilun A. Nasir, Op. Cit., h. 113
[24] Sirajuddin Zar, OP. Cit., h. 74
[25] Ibid.
[26] Ibid., h. 76
[27] Harun Nasution, Op. Cit., h.
55-56
[28] Ahmad Mahmud Shubhi, Fi ‘ilm al-Kalam, (t.tp : al-thab’at
al-Thaniyat Dar al-Kutub al-Jami’at, 1976 M/1395 H), Juz I, h.174
[29] Ibid., h. 80
[30]Harun Nasytion, Op. Cit., h. 129
[31] Ibid.
[33] Ibid., h. 130
[34] Ibid., h. 132
[35] Ibid, h. 132
[36] Abdul Razak, Ilmu Kalam, (Perpustakaan Bandung, 2003), h. 148
[37] Muhammad Nazir Karim, Dialektika Teologi Islam (Nuansa : Sukses
Press, 2004), h. 169
[38] Harun Nasution, Op. Cit., h. 128
[39] Zuhdi Jar Allah, al-Mu’tazilah,
(al-Mu’assah al-Arabyyah li al-Dirasat wa al-Nasyar, Omman, 1990), h.
60
[40] Ibid., h. 291
Komentar
Posting Komentar