Makalah tentang Mu'tazilah



BAB I
PENDAHULUAN

Golongan Mu’tazilah muncul masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi baru menghebohkan pemikiran keislaman pada masa pemerintahan Bani ‘Abbas dalam masa yang cukup panjang.[1]
            Dalam sejarah perkembangan teologi Islam, terdapat banyak golongan yang berbeda aliran dan faham-faham dalam masalah keimanan maupun yang berhubungan dengan keduniawian. Begitu juga halnya dengan golongan Mu’tazilah yang dipandang sebagai aliran yang lebih mendalam yang bersifat filosofis dari golongan yang lain, sehingga mereka digelari dengan “kaum rasionalis Islam”.[2]
            Memang telah diakui bahwa pemuka-pemuka Mu’tazilah dalam pemikiran keagamaan banyak menggunakan rasio, sehingga dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan permasalahan teologi yang belum jelas pengertiannya. Mereka lebih menerima makna yang tersirat daripada makna yang tersurat. Karena begitu tingginya kekuatan yang mereka berikan kepada akal, sehingga timbul anggapan dikalangan umat Islam bahwa mereka lebih mengutamakan rasio daripada wahyu. Anggapan ini membawa kepada tuduhan bahwa kaum Mu’tazilah adalah golongan yang tersesat dan tergelincir dari jalan yang lurus.
            Untuk dapat mengetahui sejauh mana kebenaran paradigma pemikiran tersebut, maka dalam makalah ini penulis akan menguraikan sejarah munculnya Mu’tazilah,pokok-pokok pikiran Mu’tazilah yang terdiri dari lima ajaran pokok yang disebut juga dengan Al-Ushul al-Khamsah, dan dalam makalah ini juga akan dijelaskan tentang Akal dan wahyu, sifat Tuhan, Iman dan kufur, perbuatan manusia, perbuatan Tuhan dan mihnah.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Timbulnya Mu’tazilah

            Mu’tazilah salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan teologisnya lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil ‘aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Mu’tazilah didirikan oleh Washil bin ‘Ata’ pada tahun 100 H/718 M.
            Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut kaum Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu kaum Murji’ah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Washil bin ‘Ata’ yang ketika itu menjadi murid Hasan al-Basri, seorang ulama di Basra, mendahului gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena, di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan kedalam neraka, tetapi siksaannya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
            Demikianlah pendapat Washil, yang kemudian menjadi salah satu dokrin Mu’tazilah, yakni al-Manzilah wa al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi).
            Setelah menyataka pendapatnya itu, Washil bin ‘Ata’ meninggalkan gurunya Hasan al-Basri lalu membentuk kelompok sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal Mu’tazilah. Setelah Washil memisahkan diri, Hasan al-Basri berkata, “I’tazala‘anna” Washil (Washil menjauhlah dari kami). Menurut Syahristani, dari kata I’tazala‘anna itulah lahirnya istilah Mu’tazilah yang artinya orang yang memisahkan diri.[3] Syahrastani berpendapat, yang dimaksud dengan kata itu sebenarnya adalah para pengikut orang yang mengasingkan diri dari gurunya karena berbeda faham dalam satu permasalahan tentang dosa besar, yaitu antara Washil ibn ‘Atha’ dengan Hasan al-Basri. Bagi Hasan al-Basri pelaku dosa besar dihukum munafik sedangkan menurut Washil mereka hanya dihukum fasik dan berada di antara dua tempat (al-manzilah baiyn al-manzilatain), dengan arti orang tersebut tidak mukmin, akan tetapi belum sampai kepada kafir.[4] Hal ini terjadi pada permulaan abad kedua Hijrah, yaitu pada waktu pemerintahan dipegang oleh Hisyam bin Abdul Malik (101-125 H) dari bani Umayyah, aliran Mu’tazilah sebagai suatu aliran teologi tumbuh dan berkembang mulai 100-255 H.[5]
 Dalam sejarah Islam, golongan yang mengasingkan diri itu pernah timbul saat terjadi pertikaian antara Khalifah ‘Ali ibn Thalib dengan Mu’awiyah diantaranya adalah Sa’at ibn Abi Waqqas, Abdullah ibn ‘Umar dan lain-lain.[6] Menurut Ahmad Amin kata-kata Mu’tazilah memang sudah dipakai jauh sebelum munculnya Mu’tazilah sebagai aliran teologi dalam Islam. Mu’tazilah dalam arti yang pertama, ditujukan kepada mereka yang menjauh dari permasalahan politik ketika memanasnya suhu politik antara ‘Ali dengan Mu’awiyah, yaitu pada pertengahan abad pertama Hijri.[7]
       Menurut al-Mas’udi sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution, bahwa penamaan Mu’tazilah tidak ada hubungannya dengan peristiwa Washil ibn ‘Atha’ dengan gurunya Hasan al-Basri. Mereka dinamakan Mu’tazilah karena pendapat mereka al-manzilah baiyn al-manzilatain.[8] Kelihatannya Ahmad Amin sepakat dengan alasan di atas ini, karena menurut riwayat tentang peristiwa tersebut amat beragam, di samping perginya Washil dari majelis gurunya, belum bisa dijadikan alasan seseorang itu disebut i’tizal.
       Dengan demikian yang dimaksud oleh al-Mas’udi dan Ahmad Amin dapat dipahami bahwa nama Mu’tazilah tersebut lebih mengacu kepada substansi ajarannya bukan peristiwa perginya Washil dari majelis gurunya. Meskipun beragam pendapat pada penamaan ini, namun yang jelas munculnya aliran Mu’tazilah sangat erat kaitannya dengan peristiwa Washil dengan gurunya.

B. Al-Ushul Al-Khamsah, Akal dan Wahyu, Sifat Tuhan, Iman dan Kufur, Perbuatan Manusia, Perbuatan Tuhan dan Mihnah.

Sebenarnya golongan Mu’tazilah ini mempunyai berbagai nama yang mereka munculkan sendiri, sebagai lambang doktrin mereka. Nama-nama itu pertanda i’tikat baik mereka dalam membela Islam. Namun ada pula julukan-julukan yang diberikan oleh musuh-musuh mereka dengan berkonotasi negatif.  Mu’tazilah menamai golongannya dengan ahl al-Tauhid wa al-Adl, golongan yang mempertahan keesaan murni dan keadilan Allah. Akan tetapi lawan mereka menjuluki mereka sebagai al-Qadariyah, karena mereka menganut paham bahwa manusia memiliki kebebasan untuk bertindak (pree will and free act); al-Mu’aththilat, karena mereka berpendapat bahwa Allah, tidak memilik sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud di luar zat Allah, atau dengan bahasa olok-olok dari lawan mereka, Mu’tazilah menelanjangi Allah dari sifat-sifat-Nya; dan al-Wadiat, karena mereka berpendapat bahwa ancaman-ancaman Allah terhadap orang-orang yang tidak patuh, pasti dan tidak boleh tidak akan menimpa diri mereka.[9]
Doktrin mereka memiliki lima dasar yang dalam bahasa arabnya disebut al-Ushul al-Khamsat. Kata ushul dalam bahasa Arab jamak dari ashl, yang berarti dasar atau pokok. Menurut al-Syahrastani bahwa kata al-ushul itu ialah mencakup Allah dalam kemahaesaan-Nya dan sifat-sifat-Nya, serta rasul-rasul melalui tanda-tanda dan penerangan-penerangan mereka, yang semuanya itu menjadi bukti tentang kebenaran kerasulan mereka terhadap penantang-penantang mereka.  Ilmu agama terbagi dua : ma’rifat dan tha’at (pengetahuan sempurna dan patuh). Al-Ma’rifat adalah ushul, sedangkan al-tha’at adalah furu’ (cabang), maka orang yang berbicara mengenai al-Ma’rifat dan al-Tawhid disebut ushuliyyun (pengkaji pokok-pokok ilmu) dan orang yang berbicara mengenai al-Tha’at dan al-Syari’at digelari furu’iyyun. Al-Ushul adalah topik pembicaraan teologi Islam, sedangankan furu’ adalah topik pembicaraan ilmu fiqh.[10]
Dari al-Ushul al-Khamsat Mu’tazilah itu dapatlah dilihat arah dan tujuan pemikiran yang mereka terapkan. Mereka berusaha memurnikan agama Islam dan segala ajarannya dari segala unsur kesyirikan dan kemunafikan. Semuanya itu mereka lakukan berlandaskan iman dan relitas kehidupan serta tuntunan al-Qur’an dan Sunnah.[11]
     Penjelasan kelima prinsip ajaran Mu’tazilah sebagai berikut :
1.    Al-Tauhid
Al-Tauhid (Pengesaan Tuhan) merupakan inti paham Mu’tazilah. Al-Asy’ari menggambarkan paham ini dalam bukunya, Maqalat al-Islamiyyin sebagai berikut.
Sesungguhnya Allah adalah Esa, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha Meliahat; tidak bertubuh, tidak berdaging, tidak berdarah, bukan pribadi, bukan jauhar, bukan ’ardh, tidak berasa, tidak bisa diraba, tidak panas, tidak dingin, tidak Muda,  tidak tua, tidak panjang, tidak pendek,tidak diam, tidak berbagi, tidak mempunyai bagian, tidak beranggota tubuh, tidak berarah, tidak di kiri, tidak di kanan, tidak di depan, tidak di belakang, tidak di atas, tidak di bawah, tidak terikat dengan waktu dan ruang, tidak mendekat, tidak menjauh, tidak memerlukan tempat, dan sedikitpun tidak bisa disifati dengan sifat makhluk yang menunjukkan bahwa bereka adalah baharu, tidak disifati dengan berakhir, tidak pula dapat disentuh, tidak mempunyai sifat yang mengarah ke suatu arah, tidak terbatas, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak terikat dengan ukuran, tidak terhalang oleh dinding,-dinding batas, tidak dapat ditangkap dengan panca indra, tidak dapat dianalogikan kepada manusia, tidak menyerupai makhluk dari segi apa pun, tidak berlaku waktu bagi-Nya dan tidak terjangkau kebinasaan” .[12]

Boleh jadi apa yang menyebabkan mereka mempertahankan “Keesaan” itu semurni-murninya ialah karena mereka menghadapi golongan Syi’ah Rafidah yang ekstrim dan yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk yang berjisim, di samping golongan-golongan agama dualisme dan trinitas.[13]
Kaum Mu’tazilah melihat kemahaesaan Allah itu adalah murni; dalam arti tidak bercampur dengan unsur lain. Mereka memurnikan zat Allah dan membersihkannya dari bersifat yang berdiri sendiri, karena sifat yang berdiri sendiri itu menjadikannya banyak yang qadim : qadim zat dan qadim sifat. Ini membawa kepada kemusyrikan sebab kemahaesaan Allah telah tercemar dengan wujudnya qadim tandingan qadim Allah.[14]
Tuhan dalam paham mereka, akan betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia. Oleh karena itu mereka menolak paham anthropomorphisme. Anthropomorphisme sebagaimana diketahui menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk-Nya. Selanjudnya mereka juga menolak beatific, vision yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya. Satu-satunya sifat Tuhan betul-betul, tidak mungkin ada pada makhluk-Nya ialah qadim dalam arti tidak mempunyai permulaan. Dan oleh karena itu tidak ada yang lain selain dari Allah yang bersifat qadim. Hanya zat Tuhan yang boleh qadim. Paham ini sebagaimana dilihat sebelumnya, mendorong kaum Mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan; yaitu sifat-sifat yang mempunyai wujud sendirinya di luar zat  Tuhan. Ini tidak berarti Tuhan tidak diberi sifat-sifat oleh kaum Mu’tazilah. Tuhan bagi mereka tetap Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan sebagainya, tetapi semua itu tidak dapat dipisahkan oleh zat Tuhan. Dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi Tuhan.
            Dengan demikian yang dimaksud kaum Mu’tazilah dengan peniadaan sifat-sifat Tuhan, ialah memandang sebagian dari apa yang disebut golongan lain sifat sebagai esensi Tuhan, dan sebagian lain sebagai perbuatan-perbutan Tuhan. Paham ini timbul karena keinginan mereka untuk menjaga murninya kemahaesaan Tuhan, yang disebut tanzih dalam istilah Arab.[15]
Setelah diperhatikan rumusan tauhid yang dikemukakan oleh aliran Mu’tazilah  di atas, ternyata tidak satupun yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits. Dengan kata lain, pendapat-pendapat yang mereka majukan masih seputar aqidah Islamiyah. Pemberian sifat Tuhan membawa pada banyaknya jumlah yang qadim,  sedangkan dalam paham teologi Islam yang qadim itu hanya satu. Kalau iman dalam pelajaran biasa ialah : tiada Tuhan selain Allah; maka iman dalam teologi Islam mengambil bentuk tiada yang qadim selain Allah. Oleh karena itu, paham banyak yang qadim membawa pada syirik, dan syirik dalam Islam adalah dosa terbesar yang tidak diampuni Allah. Firman Allah dalam surat al-Nisa’ ayat 48 :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى
إِثْمًا عَظِيمًا
Artinya :
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.[16]



2.    AL-‘Adl
Paham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam banyak tergantung pada pandagan, apakah manusia mempunyai kebebasan dalam bertindak ataukah manusia hanya terpaksa saja. Mu’tazilah yang dipandang sebagai aliran kalam rasional mengatakan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdul Jabbar, bahwa keadilan Tuhan mengandung arti, Tuhan tidak berbuat dan memilih yang buruk, tidak melalaikan kewajiban-kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatannya adalah baik.[17] Dengan demikian pendapat ini mengaharuskan tidak bolehnya bagi Tuhan bersifat zalim dalam menghukum, memberi beban yang terpikul oleh manusia, dan keharusan memberi pahala terhadap orang yang berbuat berlaku baik. Dengan kata lain, Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah mempunyai kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri buat diri-Nya. Oleh sebab itu sebagai bukti keadilan Tuhan, Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia untuk bertindak dan menentukan sikap, tetapi bila Tuhan telah menentukan taqdir manusia, maka berarti keluar dari makna keadilan tersebut.
Ajaran dasar kedua al-‘adl ada hubungannya dengan al-tawhid. Kalau dengan al-tawhid kaum Mu’tazilah ingin menyucikan diri Tuhan dari persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘adl mereka ingin menyucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhanlah yang berbuat adil; Tuhan tidak bisa berbuat zalim. Pada makhluk terdapat perbuatan zalim. Dengan kata lain, kalu al-tawhid membahas keunikan diri Tuhan, al-‘adl membahas keunikan perbuatan Tuhan.[18]
Semua perbuatan Tuhan itu sifatnya baik. Ekspresi yang demikianlah, menurut kaum mu’tazilah belum cukup untuk mengekspresikan kemahabaikan Tuhan. Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk mendatangkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk manusia.[19]
Masih berkaitan dengan al-‘adl dalam masalah ini kaum Mu’tazilah berkeyakinan bahwa manusia bebas memilih, bebas berkehendak dan bertanggung jawab atas pilihan dan kehendaknya itu. Dengan kata lain, perbuatan baik dan buruk adalah bebas pilihan manusia, dan ia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut.[20]
Setiap orang mengatakan bahwa apa yang dilakukannya itu bersumber dari dirinya sendiri. Lebih-lebih lagi apabila perbuatan itubaik dan menghasilkan yang baik pula. Bagaimana dengan kejahatan dan kecelakaan ? pelaku akan spontan mengatakan bahwa itu nasib dan taqdir. Inilah yang tidak dikehendaki oleh kaum Mu’tazilah, dengan persepsi yang begitu, tuduhan zalim kepada Allah tidak terelakan disadari atau tidak.[21]

3.      Al-Wa’ad wa al-Wa’id
Tuhan berjanji akan memberi pahala dan mengancam akan menjatuhkan siksa, pasti akan dilaksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan demikian. Siapa yang berbuat baik, maka akan dibalas dengan kebaikan dan sebaliknya, mereka yang berbuat jahat akan dibalas dengan kejahatan pula.[22]
Sebagaiman firman Allah SWT didalam surat : al-Israk ayat 7 :
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا...
Artinya :
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri...(QS al-Israk : 7).[23]



Janji dan ancaman (al-Wa’d wa al-Wa’id) adalah pokok ajaran yang ketiga bagi kaum Mu’tazilah. Ini merupakan lanjutan daripada ajaran tentang keadilan Allah.[24]
          Doktrin ini menegaskan bahwa Allah itu sangat menepati janji-janji-Nya. Allah tidak akan tawar-menawar dalam menyiksa pendosa besar, kecuali telah bertobat sebelum matinya. Apabila ia mati dengan dosanya sebelum bertaubat, maka ia akan tetap dimasukkan ke dalam neraka dan kekal di dalamnya. Namun azab yang diterimanya lebih ringan dari yang dialami oleh orang kafir.[25]
     
4.      Al-Manzilat baina al-Manzilatain
Doktrin keempat ini dikenal sebagai penengah diantara beberapa pendapat dan hukum atas pelaku dosa besar yang menyebabkan mereka berbeda pendapat dengan Murji’ah dan Khawarij. Sementara hal ini pula sebagai pemicu timbulnya perselisihan pendapat antara al-Hasan al-Basri dan Washil ibn ‘Atha’.[26]
Posisi menengah bagi berbuat dosa besar, juga erat kaitannya dengan keadilah Tuhan. Pembuat dosa besar bukan kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad; tetapi bukan mukmin, karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, ia tidak dapat masuk surga, dan bukan kafir pula, ia sebenarnya tak mesti masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan di luar surga dan di luar neraka. Inilah sebenarnya keadilan Tuhan. Tetapi karena akhirat tidak ada tempat lain dari surga dan neraka, maka pembuat dosa besar, harus dimasukkan ke dalam salah satu tempat ini. Penentuan tempat itu banyak hubungannya dengan faham Mu’tazilah tentang iman. Iman bagi mereka, digambarkan, bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar tidak beriman dan oleh karena itu tak dapat masuk surga. Tempat satu-satunya ialah neraka. Tetapi tidak adil kalau ia dalam neraka mendapat siksa sama berat dengan orang kafir. [27]
Oleh karena itu pembuat dosa besar, betul masuk neraka, tetapi mendapat siksaan yang lebih ringan. Ini menurut Mu’tazilah, posisi menengah antara mukmin dan kafir, dan itulah pula keadilan.

5.      Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar
Golongan orang Mu’tazilah telah sepakat menyeru dan menunjukkan pada kebajikan dan mencegah ke arah perbuatan keji dan mungkar, itu adalah suatu kewajiban bagi semua umat Islam. Ini dimaksudkan agar kebaikan itu tidak diabaikan dan kejahatan itu tidak dibiarkan berleluasa. Penyeruan pada kebaikan dan pencegahan daripada kejahatan itu adalah perintah fardhu kifayah; di mana apabila telah dikerjakan sebagian mukallaf, maka gugurlah tuntutan tersebut memerlukan kepada keilmuan dan kebijaksanaan tertentu. Sesuatu yang mau diserukan itu perlulah diketahui dulu tentang yang ma’rufnya. Kemudian diperlukan taktik untuk menyeru dan menunjukkannya, agar tidak terjadi suatu hal di luar daripada yang dimaksud.[28]   
Berdasarkan paparan sebelumnya, tidak ada satu petunjukpun yang dapat diketengahkan untuk menuduh mereka keluar dari akidah Islam. Aliran ini terbentuk dan berdiri dalam kegiatan menegakkan dan mempertahankan akidah Islam. Untuk kegiatan suci tersebut mereka menggunakan pola-pola hujjah akal dalam usaha golongan yang menyimpang dari akidah Islam. Aliran ini tetap bersandar pada ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah. Dengan bantuan metode takwil akal pada ayat al-Qur’an mereka dapat mentafsirkan wahyu mengikuti kesucian  akal. Dengan cara itu mereka telah dapat memberikan pengertian dan petunjuk yang baik tentang agama Islam.[29]
           
Selain prinsip dasar utama di atas, Mu’tazilah memiliki pandangan terhadap beberapa hal, sebagai berikut :
a.  Akal dan wahyu Mu’tazilah dalam pemikiran keagamaan mereka banyak mempergunakan akal (rasio), mereka percaya kepada kekuatan akal yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada manusia. Dalam penafsiran ayat-ayat teologi mereka memakai pemikiran rasional. Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan kepada akal, sehingga timbul anggapan dikalangan sebagian  umat Islam bahwa mereka lebih mengutama rasio dari wahyu. Anggapa ini membawa tuduhan bahwa kaum Mu’tazilah adalah golongan Islam yang tersesat dan tergelincir dari jalan yang lurus dan benar.[30]
Menurut Harun Nasution dalam buku teologi Islam bahwa akal sebagai daya berfikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai pada Tuhan, dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada diri manusia.[31]
Pemikiran rasional memang banyak mempengaruhi kaum Mu’tazilah dalam menentukan pendapat-pendapat keagamaan mereka. Abu Al-Huzhail yang pertama memberikan penjelasan sejauh mana akal manusia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan. Menurut pendapatnya, akal dapat mengetahui dua masalah pokok dalam tiap-tiap agama, yaitu Tuhan dan soal kebaikan serta kejahatan. Ia menjelaskan bahwa akal manusia dapat :
1. Mengetahui adanya Allah.
2. Mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Allah.
3. Mengetahu apa yang baik da apa yang buruk.
4. Mengetahui kewajiban manusia berbuat baik dan kewajibannya menjauhi perbuatan jahat.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau timbul anggapan orang luar Mu’tazilah bahwa Mu’tazilah memandang tidak perlu adanya wahyu bagi manusia; akal manusia cukup kuat mengetahui segalanya; kalau ada pertentangan pendapat akal dan wahyu, pendapat akallah yang dipegang dan wahyu dikesampingkan; Mu’tazilah tidak percaya kepada wahyu. Demikian, tuduhan lawan-lawan Mu’tazialah.
Tetapi betulkah kaum Mu’tazilah menganggap akal dapat mengetahui segala-galanya, dan oleh karena itu wahyu tidak diperlukan lagi ? Tulisan pemuka-pemuka Mu’tazilah memberikan gambaran yang sebaliknya, akal manusia dalam pendapat mereka tidaklah begitu kuat untuk dapat mengetahui segala hal dan oleh karena itu wahyu perlu bagi manusia untuk dapat mengetahui apa yang sebenarnya baik dan apa yang sebenarnya buruk.[32]
Akal, betul dapat mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak mengetahui cara dan ritual berterimakasih itu, maka wahyulah solusinya.
b.      Peniadaan sifat-sifat Tuhan. Satu atribut Tuhan lainnya yang kuat dipertahankan kaum Mu’tazilah kemahaesaan Tuhan bagi mereka, Tuhan adalah Maha Esa dan Maha Adil. Dalam usaha memurnikan kemahaesaan Tuhan, mereka menolak segala pemikiran yang dapat membawa kepada paham syirik atau politeisme. Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak, yaitu unsur zat yang di sifati dan unsur-unsur yang sifat melekat kepada zat.[33]
Untuk mengatasi paham syirik inilah, maka Washil mengatakan Tuhan tidak mempunyai sifat. Ini berarti Washil dan pengikut-pengikutnya menolak ayat-ayat yang menggambarkan tentang sifat-sifat Tuhan seperti Ar-rahman, Ar-rahiim, Al-qadir dan lain sebagainya. Sebagaimana orang-orang Islam yang percaya bahwa teologi dalam wahyu yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Muhammad, mereka menerima ayat-ayat itu bersama kebenaran seluruh ayat-ayat lainya. Hanya penafsiran mereka tentang ayat-ayat itu berlainan dengan penafsiran aliran teologi teologi lain dalam Islam.[34]
c.         Iman dan Kafir, para tokoh Mu’tazilah pada umumnya mendefenisikan dalam batasan patuh, yaitu patuh terhadap kewajiban agama. Kepatuhan merupakan suatu tiang dan esensi nyata imam. Sehingga siapa yang mengabaikannya maka dia bukan orang yang percaya. Menurut mereka iman bukan tasdiq yaitu bukan menerima apa yang dikatakan sebagai kebenaran (al-iman bi altaqlid) maka iman artinya aktif, karena iman manusia dapat sampai kepada pengetahuan kepada Allah. Jadi iman dalam arti mengetahui belum cukup, artinya orang yang mengetahui Tuhan tetapi melawan kepada-Nya bukanlah orang mukmin, dengan demikian menurut mereka iman bukan tasdiq dan bukan ma’rifat.
Tentang pelaku dosa yang dipandang kafir oleh orang-orang Khawarij dan tetap mukmin menurut Murji’ah. Sedangkan mereka menurut Mu’tazilah mereka tidak menentukan status atau prediket yang pasti. Apakah telah kafir atau mukmin. Ia menepati posisi tengah antara mukmin dan kafir. Yang terkenal dengan al-manzili bain al-manzilatain, bila ia meninggal sebelum bertobat, ia akan masuk dan kekal di dalam neraka. Namun siksaannya lebih ringan dari orang kafir.[35]
Mengenai perbuatan yang dikategorikan dosa besar. Mu’tazilah merumuskan lebih konseptual dibandingkan dengan Khawarij. Bahwa dosa besar adalah yang disebutkan dengan secara tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil adalah segala ketidak patuhan yang ancaman tidak ditegaskan di dalam nas.


d.        Perbuatan manusia. Pemahaman mereka tentang perbuatan manusia adalah bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh manusia itu sendiri, hal ini bertolak belakang dengan pemahaman al-asy’ari yang menilai bahwa manusia tidak akan lepas dari kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Perbuatan manusia tidak diwujudkan manusia sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan. Hal ini didasarkan kepada firman Allah. (Q.S. 37 : 96)
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya :
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu."

e.         Perbuatan Tuhan, sebagai ajaran yang bercorak rasional Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam suatu kewajiban, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia.[36]
Menurut Syekh Abdurrahman Siddiq mencoba menanggapi tentang Tuhan memeliki kewajiban kepada manusia dengan cara melihat dari dua sisi sumber pengetahuan, yaitu sisi akal dan wahyu. Dari sisi akal bahwa Tuhan tidak memiliki kewajiban-kewajiban terhadap manusia kecendrungan ini tergambar dalam penjelasan bahwa Tuhan tidak terkait oleh kewajiban-kewajiban baik untuk berbuat atau meninggalkannya. Dari segi wahyu menurutnya dapat menerima ada kewajiban-kewajiban Tuhan, jadi menurutnya Tuhan sendiri yang mewajibkan dirinya untuk melakukan atau untuk tidak melakukan sesuatu yang dikehendakinya.[37]
Dalam paham ini termasuklah kewajiban-kewajiban Tuhan menepati janji-janji-Nya, kewajiban Tuhan mengutus Rasul-rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia, kewajiban Tuhan memberi rizki kepada manusia dan sebagainya.[38]

C. Mihnah
            Pada awal perkembangannya, Mu’tazilah tidak mendapat simpati ummat Islam, khususnya kalangan awam karena mereka sulit memahami ajaran Mu’tazilah yang rasional dan filosofis tersebut. Alasan lain adalah, Mu’tazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunnah Rasul.[39]   
Mu’tazilah baru mendapat dukungan yang luas, terutama dari kalangan intelektual pada masa Khalifah Abasiyyah al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M). Pada fase tersebu Mu’tazilah sebagai golongan yang mendapat dukunga penguasa mulai memaksakan ajarannya pada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal denganistilah Mihnah (inqusition) Mihnah muncul sehubungan dengan paham Khalq al-Qur’an. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang tersusun dari suara dan huruf. Al-Qur’an itu makhluk, dalam arti ia diciptakan oleh Allah. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, tidak qadim. Jika al-Qur’an dikatakan qadim, maka akan ada yang qadim selain Allah.[40]
        Peristiwa yang terjadi pada masa Khalifah al-Ma’mun yaitu pengujian keyakinan yang dilakukan terhadap para ulama mengenai pendirian mereka tentang makhluknya al-Quran serta sangsi hukum yang harus diterima terkait dengan keyakinan mereka.

Alasan untuk melakukan mihnah adalah :
a.    Al-Ma’mun merasa berkewajiban memperbaiki aqidah yang rusak.
b.    Kebanyakan manusia berkeyakinan bahwa al-Qur’an qadim.
c.    Para hakim banyak yang berkeyakinan al-Qur’an qadim.
d.   Paham kemakhlukan al-Qur’an konsekwensi dari paham tauhid.

Penulis berpendapat bahwa peristiwa mihnah tersebut hanyalah perlakuan oknum bukanlah representasi pemikiran Mu’tazilah. Karena pemikiran  Mu’tazilah tidak mengemukan kekerasan, namun mereka lebih mengutamakan kekuatan akal dan pikiran.


























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan :
1.      Ditinjau dari sejarah timbulnya Mu’tazilah, bahwa ada beberapa pendapat tentang lahirnya kaum Mu’tazilah itu adalah :
a.       Kata-kata Mu’tazilah memang sudah dipakai jauh sebelum munculnya Mu’tazilah sebagai aliran teologi dalam Islam. Mu’tazilah dalam arti ini, ditujukan kepada mereka yang menjauh dari permasalahan politik ketika memanasnya suhu politik antara ‘Ali dengan Mu’awiyah, yaitu pada pertengahan abad pertama Hijri
b.      Peristiwa Washil ibnu ‘Atha’ dengan Hasan al-Basri di masjid Basrah. Yang menyebabkan Washil memisahkan diri dari majlis Hasan.
2.      Dilihat dari ajaran-ajaran Mu’tazilah di atas dapat diambil kesimpulan diantaranya :
a.       Bila ditinjau dari penyelesaian permasalahan dan argumen-argumen yang dikemukakan oleh Mu’tazilah, dapat dikatakan bahwa Mu’tazilah cendrung memahami ayat-ayat al-Qur’an yang tidak tegas penjelasannya di dalam al-Qur’an, dengan memakai makna majazi atau kontek ayat tidak teks ayat. Dengan demikian Mu’tazilah pada dasarnya telah berusaha menjembatani suatu usaha rekonsiliasi antara rasio dengan wahyu (agama).
b.      Dengan konsep sunnatullah Mu’tazilah dan sikap Qadariyah, secara tidak lansung mengiring manusia untuk berfikir maju.

B.     Saran
Semoga dengan kajian ini dapat memberika informasi berimbang tentang aliran Mu’tazilah sebagai salah satu aliran dalam pemikiran Islam. Sehingga kita daapat melajudkan diskusi dan analisa yang komprehensif guna kesempurnaan makalah ini dan menambah khazanah keilmuan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Alih bahasa Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Judul asli “Tarikh al_Mazahib al-Islamiyyah, Jakarta : Logos, 1996
Amin, Ahmad, Fajar al-Islam, Kairo : Maktabah al-Nahdah, 1975
Abdul Jabar, Ibn Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Ed  Abdul Karim Usma, Kairo : Ma’tabah Wahbah, 1996
Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, Kairo : al-Nahdah, tt
Azhar Basyir, Ahmad, Refleksi atas Persoalan Keislaman, Bandung : Mizan, 1993
Depag RI, Al-Qur’an Terjemahan, Bandung : Syamil Cipta Media, 2005
A. Nasir,  Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam,  Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001
Zar, Sirajuddin, Teologi Islama Aliaran dan Ajarannya, Padang : IAIN IB Press, 2003
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 1986
Nazir, Karim, Muhammad, Dialektika Teologi Islam, Nuansa : Sukses Press, 2004
Nasution, Harun Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung : PT. Almizan, 1998
Razak, Abdul,   Ilmu Kalam, Perpustakaan Bandung, 2003
Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal,  Beirut : Darul Fikri, tt





[1] Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Alih bahasa Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Judul asli “Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, (Jakarta : Logos, 1996), h. 149
[2] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta : UI Press, 1986), h. 38
[3] Ensiklopedi Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), Jilit 3, h. 290
[4]Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal,  (Beirut : Darul Fikri, tt), h. 258
[5] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Kairo : al-Nahdah, tt), h. 90
[6] Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman, (Bandung : Mizan, 1993), Cet. 3, h. 28
[7] Ahmad Amin, Fajar al-Islam, (Kairo : Al-Nahdah, 1975), Cet. 11, h. 291
[8] Harun Nasution, Op. Cit., h. 39
[9] Sirajuddin Zar, Teologi Islama Aliaran dan Ajarannya, Padang : IAIN IB Press, 2003), h. 64, lihat juga al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Kairo : Muassasat al-Halaby wa Syurakah li al-Nasyr, 1968), Juz I, h. 43
[10] Ibid, h. 65-66
[11] Ibid.
[12] Sahilun A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h.112
[13] A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta : PT. Al-Husna Zikra, 1995), h. 75
[14] Sirajuddin Zar, Op., Cit., h. 67
[15]  Harun Nasution,  Op. Cit., h. 53-54
[16] Depag RI, Al-Qur’an Terjemahan,( Bandung : Syamil Cipta Media,2005),  h.87
[17]Ibn Ahmad, Abdul Jabar, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Ed  Abdul Karim Usma, (Kairo : Ma’tabah Wahbah, 1996), h. 301
[18]  A.Hanafi, Op. Cit., h. 77
[19] Ibid. h.78
[20] Sirajuddin Zar, Loc. Cit.
[21] Ibid., h. 72-73
[22] Sahilun A. Nasir, Op. Cit., h. 113                                                                                                                
[23] Depag RI, Op. Cit h.283
[24] Sirajuddin Zar, OP. Cit., h. 74
[25] Ibid.
[26] Ibid., h. 76
[27] Harun Nasution,  Op. Cit., h. 55-56
[28] Ahmad Mahmud Shubhi, Fi ‘ilm al-Kalam, (t.tp : al-thab’at al-Thaniyat Dar al-Kutub al-Jami’at, 1976 M/1395 H), Juz I, h.174
[29] Ibid., h. 80
[30]Harun Nasytion, Op. Cit., h. 129
[31] Ibid.
    [32] Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung : PT. Almizan, 1998), h.132-133
[33] Ibid., h. 130
[34] Ibid., h. 132
[35] Ibid, h. 132
[36] Abdul Razak, Ilmu Kalam, (Perpustakaan Bandung, 2003), h. 148
[37] Muhammad Nazir Karim, Dialektika Teologi Islam (Nuansa : Sukses Press, 2004), h. 169
[38] Harun Nasution, Op. Cit., h. 128
[39]  Zuhdi Jar Allah, al-Mu’tazilah, (al-Mu’assah al-Arabyyah li al-Dirasat wa al-Nasyar, Omman, 1990), h. 60 
[40] Ibid., h. 291

Komentar

Postingan Populer