Larangan menjadikan orang kafir jadi pemimpin | Al-Quran pegangan kita
Beberapa ayat al-quraan melarang
kaum mu’minin menjadikan orang kafir sebagai auliya/pemimpin
Jangan
Jadikan Orang Kafir Sebagai Orang Kepercayaan Dan Pemimpin
[Ayat ke-1]
لَا
يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا
مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya
kepada Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28)
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu
menjelaskan makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mu’minin
untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan)
padahal ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka,
sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap
menyelisihi mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman:
‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka‘” (Tafsir Ath Thabari, 6825).
[Ayat ke-2]
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى
أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ
فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya
bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa
di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (QS. Al Maidah: 51)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat
ini: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang
Yahudi dan Nasrani. Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Semoga Allah
memerangi mereka. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya
terhadap sesamanya. Kemudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang
mu’min yang melanggar larangan ini Barang siapa di antara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang lalim“” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
Lalu Ibnu Katsir menukil
sebuah riwayat dari Umar bin Khathab, “Bahwasanya Umar bin Khathab memerintahkan
Abu Musa Al Asy’ari bahwa pencatatan pengeluaran dan pemasukan pemerintah
dilakukan oleh satu orang. Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama
Nasrani. Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin
Khathab pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Ia
berkata: ‘Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan
dari Syam untuk membacakan laporan-laporan di depan kami?’. Abu Musa menjawab:
‘Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram’. Umar bertanya: ‘Kenapa? Apa karena ia junub?’.
Abu Musa menjawab: ‘bukan, karena ia seorang Nasrani’. Umar pun menegurku
dengan keras dan memukul pahaku dan berkata: ‘pecat dia!’. Umar lalu membacakan
ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah
pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang lalim‘” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
Jelas sekali bahwa ayat ini
larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau orang yang memegang
posisi-posisi strategis yang bersangkutan dengan kepentingan kaum muslimin.
[Ayat ke-3]
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ
هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil jadi auliya bagimu, orang-orang yang membuat
agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang
telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik).
Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman”
(QS. Al Maidah: 57)
As Sa’di menjelaskan: “Allah
melarang hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan ahlul kitab yaitu Yahudi dan
Nasrani dan juga orang kafir lainnya sebagai auliya yang dicintai dan yang
diserahkan loyalitas padanya. Juga larangan memaparkan kepada mereka
rahasia-rahasia kaum mu’minin juga larangan meminta tolong pada mereka pada
sebagian urusan yang bisa membahayakan kaum muslimin. Ayat ini juga menunjukkan
bahwa jika pada diri seseorang itu masih ada iman, maka konsekuensinya ia wajib
meninggalkan loyalitas kepada orang kafir. Dan menghasung mereka untuk
memerangi orang kafir” (Tafsir As Sa’di, 236)
Jangan Loyal Kepada Orang
Kafir Walaupun Ia Sanak Saudara
[Ayat ke-4]
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آَبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ
أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ
مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi auliya
bagimu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di
antara kamu yang menjadikan mereka auliya bagimu, maka mereka itulah
orang-orang yang lalim” (QS. At Taubah: 23)
Ibnu Katsir menjelaskan:
“Allah Ta’ala memerintahkan untuk secara menjelaskan terang-terangan kepada
orang kafir bahwa mereka itu kafir walaupun mereka adalah bapak-bapak atau
anak-anak dari orang mu’min. Allah juga melarang untuk loyal kepada mereka jika
mereka lebih memilih kekafiran daripada iman. Allah juga mengancam orang yang
loyal kepada mereka” (Tafsir Ibni Katsir, 4/121).
Jangan Berikan Rasa Sayang
dan Kasihan Kepada Orang Kafir
[Ayat ke-5]
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ
الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ
مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا
أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ
السَّبِيلِ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi auliya yang kamu
sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang;
padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu,
mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah,
Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari
keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian)” (QS. Al Mumtahanah: 1).
Para ulama ahli tafsir
menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah kisah Hathib bin Abi Baltha’ah
radhiallahu’anhu. Beliau adalah sahabat Nabi yang ikut hijrah, beliau juga
mengikuti perang Badar, namun beliau memiliki anak-anak, sanak kerabat dan
harta di kota Mekkah yang ia tinggalkan untuk berhijrah. Ketika Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam diperintahkan untuk membuka kota Mekkah dan
memerangi orang Musyrikin di sana, Hathib merasa kasihan kepada orang-orang
Quraisy di Mekkah. Hathib pun berinisiatif untuk berkomunikasi dengan kaum
Quraisy secara diam-diam melalui surat yang dikirimkan melalui seorang wanita.
Hathib mengabarkan kedatangan pasukan kaum Muslimin untuk menyerang kaum
Quraisy di Mekkah. Bukan karena Hathib berkhianat dan bukan karena ia munafik,
namun ia kasihan kepada kaum Quraisy dan berharap mereka mau dirangkul untuk
memeluk Islam daripada mereka hancur binasa. Namun para sahabat memergoki
wanita yang membawa surat dan melaporkan hal ini kepada Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu turunlah ayat ini sebagai teguran untuk tidak
kasihan dan tidak menaruh rasa sayang kepada orang-orang kafir, apalagi dengan
menyampaikan kepada mereka kabar-kabar rahasia kaum Muslimin. Namun Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam menegur Hathib namun memaafkannya dan memberinya
udzur (lihat Tafsir Ibni Katsir 8/82, Tafsir As Sa’di 7/854)
Berikut ini isi surat Hathib:
“Amma ba’du. Wahai kaum
Quraisy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang mendatangi
kalian dengan membawa pasukan yang bak gelapnya malam, yang cepat bagaikan air
bah. Demi Allah, andaikan Ia (Rasulullah) datang seorang diri pun, Allah akan
menolongnya dan memenangkannya atas musuhnya. Maka lihatlah (kasihanilah)
diri-diri kalian. Wassalam” (Fathul Baari, 7/520).
As Sa’di menjelaskan: “jangan
jadikan musuh Allah dan musuh kalian sebagai auliya, yang engkau berikan rasa
sayangmu kepada mereka. Maksudnya jangan kalian terburu-buru memberikan rasa
sayangmu kepada mereka ataupun menempuh sebab-sebab yang membuat kalian sayang
pada mereka. Karena rasa sayang itu jika muncul akan diikuti oleh nushrah (kecenderungan
untuk menolong) dan muwalah (kecenderungan untuk loyal), sehingga akhirnya
seseorang pun keluar dari keimanan dan menjadi bagian dari orang-orang kafir
meninggalkan ahlul iman” (Tafsir As Sa’di, 854).
[Ayat ke-6]
وَدُّوا
لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ
أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا
فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ
وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
“Mereka ingin supaya kamu menjadi
kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan
mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai auliya bagimu,
hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang
pun di antara mereka auliya, dan jangan (pula) menjadi penolong” (QS. An Nisa:
89)
As Sa’di menjelaskan ayat ini
dengan berkata: “ini melazimkan tidak adanya kecintaan terhadap orang kafir,
karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan). Ini juga
melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka. Karena larangan terhadap
sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya. Dan perlakukan tidak
berlaku jika mereka ikut hijrah. Jika mereka ikut hijrah, maka mereka
diperlakukan sebagaimana kaum muslimin. Sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam memperlakukan orang-orang yang ikut hijrah bersama beliau sebagaimana
perlakuan beliau terhadap orang Islam. Baik mereka yang benar-benar mu’min
lahir batin, maupun yang hanya menampakan keimanan secara zhahir. Dan jika
mereka berpaling atau tidak mau berhijrah, ‘tawan dan bunuhlah mereka di mana
saja kamu menemuinya‘, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau menemui mereka”.
(Tafsir As Sa’di, 1/191).
Namun As Sa’di menjelaskan 3
jenis orang kafir yang dikecualikan sehingga tidak diperangi berdasarkan ayat
selanjutnya (namun tidak kita bahas panjang lebar di sini), mereka adalah:
Orang-orang kafir yang
meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah
ada perjanjian damai untuk tidak saling memerangi
Orang-orang kafir yang tidak
ingin untuk memerangi kaum Muslimin dan juga tidak memerangi kaumnya, ia
memilih untuk tidak memerangi kaum Muslimin maupun kaum kafirin.
Orang-orang munafik yang
menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh kaum Muslimin (Tafsir As
Sa’di, 191).
Menjadikan Orang Kafir
Sebagai Auliya, Sifat Orang Munafik
[Ayat ke-7]
الَّذِينَ
يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ
عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا
“Kabarkanlah kepada
orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih (yaitu)
orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi
orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah” (QS. An
Nisa: 139)
Ibnu Katsir berkata: “Lalu
Allah Ta’ala menyemat sebuah sifat kepada orang-orang munafik yaitu lebih
memilih menjadikan orang kafir sebagai auliyaa daripada orang mu’min. Artinya,
pada hakikat orang-orang munafik itu pro terhadap orang kafir, mereka diam-diam
loyal dan cinta kepada orang kafir. Ketika tidak ada orang mu’min, orang
munafik berkata kepada orang kafir: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu,
kami hanyalah main-main’. Yaitu ketika orang munafik menampakkan seolah setuju
terhadap orang mu’min. Maka Allah pun membantah sikap mereka terhadap orang
kafir yang demikian itu dalam firman-Nya: ‘Apakah mereka mencari kekuatan di
sisi orang kafir?‘. Lalu Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya izzah
(kekuatan) itu semuanya milik Allah semata, tidak ada yang bersekutu
dengan-Nya, dan juga milik orang-orang yang Allah takdir kepadanya untuk
memiliki kekuatan” (Tafsir Ibni Katsir, 2/435)
Siksaan Pedih Karena
Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya
[Ayat ke-8]
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ
دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا
مُبِينًا
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata
bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. An Nisa: 144)
Ibnu Katsir menjelaskan:
“Allah Ta’ala melarang hamba-Nya dari kaum mu’minin untuk menjadikan
orang-orang kafir sebagai auliya padahal ada orang mu’min. Maksudnya Allah
melarang kaum mu’minin bersahabat dan berteman dekat serta menyimpan rasa cinta
kepada mereka. Juga melarang mengungkapkan keadaan-keadaan kaum mu’minin yang
tidak mereka ketahui. Sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman: ‘Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya‘
(QS. Al Imran: 28). Maksudnya Allah memperingatkan kalian terhadap siksaan-Nya
bagi orang yang melanggar larangan ini. Oleh karena itu Ia berfirman: ‘Inginkah
kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?‘. Maksudnya
perbuatan tersebut akan menjadi hujjah (alasan) untuk menjatuhkan hukuman atas
kalian” (Tafsir Ibni Katsir, 2/441).
Menjadikan Orang Kafir
Sebagai Auliya, Dipertanyakan Imannya
[Ayat ke-9]
وَلَوْ
كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا
اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Sekiranya mereka beriman
kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya
(Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi
penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik”
(QS. Al Maidah: 81)
Ath Thahawi menjelaskan makna
ayat ini: “Andaikan sebagian orang dari Bani Israil yang loyal terhadap orang
kafir itu mereka benar-benar mengimani Allah dan mentauhidkan-Nya, juga
benar-benar mengimani Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai Rasul yang
diutus oleh Allah, serta lebih mempercayai apa yang ia bawa dari Allah daripada
petunjuk yang lain, maka mereka tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai
teman dekat dan penolong padahal ada orang-orang Mu’min. Namun dasarnya mereka
itu adalah orang-orang yang gemar membangkang perintah Allah menujuk maksiat,
serta gemar menganggap halal apa yang Allah haramkan dengan lisan dan perbuatan
mereka” (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
Imam Mujahid menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini
adalah kaum munafik (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
Komentar
Posting Komentar