Masyarakat Madani I merujuk pada pemerintahan di Madinah oleh Rasul SAW



Masyarakat Madani

1.       Pengertian Madani
Dalam Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia masyarakat  madani  diartikan sebagai,  Masyarakat  sipil yang  menjunjung  tinggi  norma,  nilai-nilai  dan  hukum yang  ditopang  oleh  penguasaan  teknologi  yang  berpereradaban,  yang  didasarkan oleh iman dan ilmu.
Menurut Nucholish Madjid sebagai masyarakat yang merujuk pada masyarakat islam yang perna dibanguna Nabi Muhammad Saw. di negeri Madinah. 
Istilah masyarakat madani, menurut sebagian kalangan, pertama kali dicetuskan oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia.[10] Jika ditelusuri lebih jauh, istilah itu sejatinya berasal dari bahasa Arab dan merupakan terjemahan dari al-mujtama al-madany. Jika demikian, besar kemungkinan bahwa istilah yang dicetuskan oleh Naquib al-Attas diadopsi dari karakteristik masyarakat Islam yang telah diaktualisasikan oleh Rasulullah  di Madinah, yang kemudian disandingkan dengan konteks kekinian.
Istilah tersebut kemudian diperkenalkan di Indonesia oleh Anwar Ibrahimyang saat itu menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysiapada Festival Istiqlal September 1995. Dalam ceramahnya, Anwar Ibrahim menjelaskan secara spesifik terkait karakteristik masyarakat madani dalam kehidupan kontemporer, seperti multietnik, kesalingan, dan kesedian untuk saling menghargai dan memahami.[11] Inilah yang kemudian mendorong beberapa kalangan intelektual Muslim Indonesia untuk menelurkan karya-karyanya terkait wacana masyarakat madani. Sebut saja di antaranya adalah Azyumardi Azra dalam bukunya "Menuju Masyarakat madani" (1999) dan Lukman Soetrisno dalam bukunya "Memberdayakan Rakyat dalam Masyarakat Madani" (2000).

2.       Sosio-Historis Masyarakat Madinah pada Masa Rasulullah
Dengan kondisi geografis yang cukup subur, jauh sebelumnya lahir masyarakat madani, Madinah telah ditempati oleh masyarakat plural yang terdiri dari beragam suku dan aliran kepercayaan. Daerah tersebut dulunya bernama Yatsrib, yang kemudian diganti menjadi Madînah al-Rasûlatau yang lebih popular disebut Madinah sajasetelah Rasulullah tiba di sana. Setidaknya ada delapan suku yang eksis ketika Rasulullah  tiba di Madinah. Selain itu, pada masing-masing suku terdapat beragam aliran kepercayaan; seperti penganut agama Islam, penganut agama Yahudi, dan penganut paganisme. Dengan kondisi yang amat plural, dari sini akan terlihat jelas bagaimana Rasulullah merancang sebuah konsep yang sangat ideal dalam rangka membangun masyarakat madani.
Dalam hal ini, Rasulullah sebagai seorang pemimpin, melihat secara jelas tiga tipologi masyarakat Madinah dalam perspektif keyakinan dan aliran kepercayaannya.
Pertama, penganut agama Islam yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar. Merupakan sesuatu yang baru bagi kaum muslimin, jika di Mekah, hak-hak dan kebebasan kebebasan kaum muslimin dalam beribadah dan berinteraksi sosial dipasung sedemikian rupa, berikut ketiadaan basis dan kekuatan untuk melakukan konsolidasi dan proses islamisasi. Maka keadaan di Madinah berbalik 180° dari keadaan di Mekah, kini mereka memiliki basis dan kekuatan yang mumpunidi samping melakukan konsolidasi dan proses islamisasiuntuk menggerakkan dan mengelola berbagai sektor kehidupan bermasyarakat dan bernegara; seperti sektor ekonomi, politik, pemerintahan, pertahanan, dan lain-lain. 
Kedua, penganut agama Yahudi, yang terdiri dari tiga kabilah besar, yaitu Bani Qaynuqa, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzha. Ketiga kabilah inilah yang dulu menghegemoni konstelasi politik dan perekonomian di Madinah, hal tersebut disebabkan karena keahlian dan produktivitas mereka dalam bercocok tanam dan memandai besi. Sementara kabilah-kabilah Arab yang lain masih hidup dalam keadaan nomadik, atau karena keterbelakangan mereka dalam hal tersebut. Adapun imbasnya adalah pengaruh mereka yang begitu besar dalam memainkan peranannya yang cenderung destruktif dan provokatif terhadap kabilah-kabilah selain mereka. Hal tersebut berlangsung dalam tempo yang sangat lama, hingga akhirnya Rasulullah tiba di Madinah dan secara perlahan mereduksi pengaruh kaum Yahudi yang oportunistis tersebut dengan prinsip-prinsip agung Islam yang konstruktif dan solutif.
Ketiga, penganut paganisme, dalam hal ini yang dimaksud adalah komunitas masyarakat Madinah yang masih menyembah berhala seperti halnya penduduk Mekah. Di dalam buku-buku sejarah, komunitas ini disebut kaum musyrik. Mereka inilah yang masih mendapati keraguan dalam diri mereka untuk mempercayai dan meyakini kebenaran ajaran yang dibawa oleh Rasulullah. Namun pada akhirnya komunitas tersebut masuk Islam secara berbondong-bondong terutama pascaperang Badar.
Setelah membaca dan memahami karakter ketiga golongan tersebut, barulah Rasulullah melakukan konsepsiyang tidak lain merupakan wahyuyang dilanjutkan dengan aktualisasi konkret terhadap konsep tersebut. Jika orientasi dakwah Rasulullah di Mekah adalah memperkokoh akar keimanan para pengikutnya, maka orientasi Rasulullah di Madinah adalah membangun tatanan keislaman yang meliputi penyampaian dan penegakan syariat Tuhan secara utuh, dan tatanan kemasyarakatan yang meliputi pembangungan masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip agung Islam, berikut nilai dan norma yang ada pada al-Qurʼan dan petunjuk Nabi. Sementara terkait dengan penganut kepercayaan lain, seperti kaum Yahudi dan kaum Musyrikin, Nabi membuat sebuah piagam kebersamaan untuk memperkokoh stabilitas sosial-politik antarwarga Madinah. Piagam inilah yang kemudian disebut sebagai Piagam Madinah.

4. Karakteristik Masyarakat Madani
a. Islam yang Humanis
Yang dimaksud dengan Islam yang humanis di sini adalah bahwa substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah, sepenuhnya kompatibel dengan fitrah manusia. Allah berfirman Q.S al-Rum ayat 30,

Artinya:
"Maka hadapkalah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah tersebut. Tidak ada perubahan terhadap fitrah Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya."

b.  Islam yang Moderat
Yang dimaksud dengan Islam yang moderat adalah keseimbangan ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, baik pada dimensi vertikal (al-wasathiyah al-dîniyah) maupun horizontal (al-tawâzun al-ijtimâʻiy). Kemoderatan inilah yang membedakan substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah  dengan ajaran-ajaran lainnya, baik sebelum Rasulullah  diutus maupun sesudahnya. Secara etimologis, kata 'moderat' merupakan terjemahan dari al-wasathiyah yang memiliki sinonim al-tawâzun (keseimbangan) dan al-iʻtidal (proporsional). Dalam hal ini Allah  menjelaskan karakteristik umat Rasulullah sebagai umat yang moderat.
Dalam catatan sejarahnya, karakteristik ini teraplikasikan secara sempurna pada diri Rasulullah. Sesuai Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah pernah mengatakan dalam penggalan doanya, "Ya Allah, perbaikilah agamaku sebab ia adalah penjaga urusanku. Perbaikilah pula duniaku karena di sinilah tempat hidupku. Dan perbaikilah pula akhiratku kerena di sanalah tempat kembaliku."

c.  Islam yang Toleran
Kata toleran merupakan terjemahan dari al-samâhah atau al-tasâmuh yang merupakan sinonim dari kata al-tasâhul atau al-luyûnah yang berarti keloggaran, kemudahan, fleksibelitas, dan toleransi itu sendiri. Kata 'toleran' di dalam ajaran Islam memiliki dua pengertian, yaitu yang berkaitan dengan panganut agama Islam sendiri (Muslim), dan berkaitan dengan penganut agama lain (Nonmuslim).
Allah berfirman, Q.S al-Baqarah : 286




Komentar

Postingan Populer