Makalah Ushul Annahwi | Pasaca IAIN IB



I.     Sejarah peletakan Nahu : pengertian, latar belakang lahirnya nahu, fase-fase perkembangan nahu dan tokoh-tokohnya.
a.      Pengertian Nahu :
Nahwu adalah plural dari أنحاء  yang berarti penunjuk arah, tata bahasa, cara dan sintaksis
Jadi nahu adalah ilmu yang mempelajari kaidah untuk mengenal fungsi-fungsi kata yang masuk pada kalimat, mengenal hukumakhir kata, dan untuk mengenal cara meng-i’rab.
b.      Latar belakang lahirnya nahu
              Peletak  dasar ilmu nahu :
              Para ahli berbeda pendapat mengenai hal ini,
a)      Menurut al-Anbari dan Qufty peletak dasar ilmu nahu adalah Ali bin Abi Thalib melalui Abu Aswad ad-Duali
b)      Pendapat lain berpendapat bahwa peletak dasar ilmu nahu adalah Nashir Ashim al-Laits
c)      Pendapat lain berpendapat bahwa peletak dasar ilmu nahu adalah Abdurrahman bin Humuz
Namun dari beberapa pendapat di atas, mayoritas ahli sepakat bahwa orang pertama yang melahirkan ilmu nahu adalah Abu Aswad ad-Duali
Dikisahkan bahwa Abu Aswad ad-Duali menemui Ali bin Abi Thalib dalam suatu kesempatan, lalu amirul mikminin memegang selembar kertas yang berisi tentang kaidah bahasa arab, yaitu bahwa kalam adalah isim, fi’il dan huruf lalu kertas itu diberikan kepada Abu Aswad ad-Duali untuk menjelaskan kekeliruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
c.      Fase-fase perkembangan  nahu dan tokoh-tokohnya
a)      Fase pertama
(a)    Abu Aswad ad-Duali  (b) Nashr bin Ashim
(b)    Anbasah
(c)    Abdurrahman bin Hurmuz
(d)    Yahya bin Ya’mur

              Perkembangan pada masa ini :
1.      Belum melahirkan peninggalan yang berisi kaidah nahu
2.      Pemberian tanda baca al-qur’an berupa titik dan baris untuk memelihara dan menjauhkan dari kekeliruan bacaan
3.      Ahli-ahli nahu merupakan qari’ dan rijalul hadis serta ahli fiqih
b)       Fase kedua
(a)    Ibnu Abi Ishak
(b)    Isa bin Amr
(c)    Abu  Umar bin Ula

Perkembangan pada masa ini :
1.      Penggunaan qiyas atau analogi dalam menetapkan kaidah nahu
2.      Peletak dasar dalam me-nasab-kan dan me-rafa’-kan isim
3.      Ahli pada fase ini bukan hanya ahli nahu tapi juga qari’ dan qirat serta syair
4.      Karya tulis pertama dalam bidang nahu al-jami’ dan al-ikmal

c)      Fase ketiga
(a)    Al-Akhfasy al-Akbar
(b)    Al-Kholil bin Ahmad
(c)    Yunus bin Habib

Perkembangan pada masa ini :
1.      Pemakaian analogi atau qias dalam memecahkan permasalahan nahu
2.      Penuturan bahasa fasih kepada penutur asli yang belum berasimilasi dengan orang ajam.
3.      Peletakan dasar ponologi bahasa arab, ilmu arudh dan qofiyah
4.      Gabungan dari para alim, zahid dan sastrawan

d)      Fase keempat
(a)    Sibawaihi
(b)    Zaidi

Perkembangan pada masa ini :
1.      Gabungan dari ahli bahasa, sastrawan dan penyair
2.      Merupakan masa kemajuan ilmu nahu dengan lahirnya buku-buku yang fenomenal : al-kitab, mukhtashar fi nahwi
e)      Fase kelima
(a)    Al-Akhfasy
(b)    Quthrab



Perkembangan pada masa ini :
1.      Memakai metode analogi atau qiyas dari sima.
2.      Konsep nahu lebih umum, mengikuti pendahulunya dan juga mengambil pemikiran aliran kufah.
3.      Buku nahu yang lahir : fi nahwi al-Maqayis, al-ausath dan kitab ilal

f)       Fase keenam
(a)    Al-Jurmi
(b)    At-Tawazzy
(c)    Al-Mazini
(d)    Abu Hatim as-Sajistani
(e)    Ar-Riyasyi

Perkembangan pada masa ini :
1.      Telah bergabung ahli bahasa, sastrawan dan penyair
2.      Telah banyak karya emas seperti : al-Mukhtashar dan al-Farkhu, Ilalin Naahwi dan at-Tashrif, i’rabbul Qur’an dan idhghom.
3.      Analisa terhadap karya-karya terdahulu

g)      Fase ketujuh
Al-Mubrad pada masa ini pemikiran Mubrad tidak terikat pda aliran Bashrah dan Kufah. Seperti : Khabar “laisa” tidak di-muddam-kan dan peniadaan Dhomir muttasil setelah laula.

II.   Aliran-aliran dalam Nahu : aliran Bashrah dan Kufah ; Imam-imam dan perkembangan nahu dimasanya
a.      Aliran Bashrah
Bashrah adalah kota perdagangan di pinggir negara-negara Arab. Di sana, mengalir sungai Trigis dan Eudhrates yang bermuara ke laut. Basrah terletak pada jarak tiga ratus mil tenggara Baghdad.
Dibashrah ada 4 fase :
1.      Fase peletakan dan penyusunan
Tokoh pada masa ini :
-        Abu al-Aswad
-        sampai al-Khalil ibn Ahmad
2.      Fase pertumbuhan
a.      Kiblat nawhu sudah dua arah bashrah dan kufah
Tokoh pada masa ini :
-        Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan al-Ru’asi
-        Abu Utsman al-Mazini al-Bashri
-        Ya’qub ibn al-sikkit al-kufi
3.      Fase kematangan dan penyempurnaan
Otoritas ilmu nahu masih berada di tangan ulama kota bashrah dan kuffah
4.      Fase terakhir
Nahu sudah menyebar keberbagai kota seperti Baghdad, Mesir, Syiri, dan Andalusi

b.      Aliran kufah
Kufah adalah sebuah kota yang terletak di iraq, disebelah kanan sungai kufah cabang sungai Eufrat 10 km dari Nejed, didirikan oleh Saad ibn Abi Waqash
Aliran nahu di kufah ini bertitik tolak dari aliran Bashrah, seandainya bashrah disebut peletak pertama ilmu nahu, maka kufah merupakan mata rantai dari pengokohan kajian Gramatika Arab
c.      Imam-imam dan perkembangan nahu dimasanya
Perkembangan aliran nahu di kufah
Terdiri dari beberapa tingkatan :
1.      Tingkatan pertama                                           
-        Mu’adz al-Harra’
-        Ar-ru’asi
2.      Tingkatan kedua
-        Al-Kisa’i
3.      Tingkatan ketiga
-        Al-Ahmar
-        Al-Farra’
-        Hisyam ad-Dhurir
-        Al-lihyaani
4.      Tingkatan keempat
-        Ibnu Sa’dan
-        Ath-Thuwal
-        Ibnu Qadim
5.      Tingkatan kelima
-        Tsa’lab


III.      Aliran Baghdad, aliran Andalus dan Mesir ; Imam-imam dan perkembangan Nahu
        dimasanya
1.     Aliran Baghdad
a.     Kemunculan dan perkembangan aliran Baghdad

Fase-fase  Ilmu Nahu
            

               طور الوضع والتكوين (البصرة)
ثعلب (391 هـ)
البصرة
المبرد (385 هـ )
الكوفة   
        طور النشوء والنحو (البصرة- الكوفة)
                طور النضوح والكمال

                                                                                                               
البغدادي

طور الترجيح والتصنيف
 








b.     Imam-imam aliran Baghdad
Menurut al-Madaris al-Nahwiyyah ada beberapa Imam-imam nahu, diantaranya:
a.    Ibnu Kaisan, namanya lengkap Abu al-Hasan Muhammad bin Ahmad bin Kaisan (w. 299 H). Dia belajar nahu dari al-Mubarrad dan Tsa’lab yang beraliran Bashrah dan Kufah.
b.   Ibnu al-Zujajy, nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim ‘Abd al-Rahman bin Ishaq.
c.    Abu Ali al-Farisy, nama lengkapnya Abu Ali al-Hasan bin Abdul Ghafar bin Muhammad bin Sulaiman bin Abaan. Dia dilahirkan di Fasa pada tahun 288 H.
d.   Ibnu Jinni, nama lengkapnya Abu al-Fath Utsman bin Jinni al-Mosuli.ia adalah murid lansung dari Abu Ali al-Farisi

2.     Aliran Andalus
a.     Kemunculan dan perkembangan aliran Andalus
Abad ke-13 H di Andalus telah tumbuh dan berkembang pesat berbagai ilmu pengetahuan, termasuk didalamnya ilmu nahu, sehingga muncul para pakar disiplin ilmu ini, diantaranya yang terkenal adalah Abdul Malik bin Habib al-Sullami (w. 238 H).
b.     Imam-imam aliran Andalus
Diantara mereka adalah :
a)     Al-A’lam asy-Syintamari (w.476 H), dia dianggap sebagai orang yang pertama kali memunculkan metode nahu bercorak Andalus.
b)     Ibn as-Sayyid al-Bathalius, Abdullah bin Muhammad (w. 518 H)
c)     Ibn al-Badisy, Ali bin Ahmad bin Khalaf al-Anshariy al-Ghamathi (w. 528 H).
d)     Ibn ath-Tharawah, Sulaiman bin muhammad (w. 528 H).

Kemudian di masa al-Muwahhidin muncul ulam antara lain:
a)      Ibn ar-Rammak (w. 541 H), murid Ibn ath-Tharawah.
b)     Al-Aqlisyi (w. 550 H), murid Ibn As-Sayyid.
c)     Jabir al-Isybili al-Hadhrami (w. 596 H), murid Ibn ar-Rammak.
d)     Abu Bakar Muhammad bin Thalhah (w. 618 H), murid al-Isybili.
e)     Ibn Thahir, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Thahir (w. 58x H), murid Ibn ar-Rammak.
f)      As-Suhaili, Abu al-Qasim Abdurrahman bin Abdullah Adh-Dharir (w. 581 H), murid Ibn ath-Tharawah dan Ibn Thahir
g)     Isa al-Jazuli al-Maghribi (w. 607 H), belajar dari Ibn Barriy di Mesir kemudian mengajar di Mariyyah dan kota-kota lainnya di Andalus.
h)     Ibn Kharuf, Ali bin Yusuf bin Kharuf al-Qurthubi (w. 609 H), belajar nahu dari Ibn Thahir
i)      Asy-Syalaubin, Abu Ali Umar bin muhammad (w. 645 H), murid al-Jazuli dan As-Suhaili.
j)      Ibn Hisyam al-Khadhrawi, Abu Abdillah Muhammad bin Yahya al-Khazraji (w. 646 H), murid Ibn Kharuf.
k)     Ibn Madha’, Abu al-Abbas Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Madha’ al-Lakhami (w. 592 H)
l)      Ibn ‘Ushfur, Abu al-Hasan Ali bin Mu’min bin Muhammad bin Ali bin Ushfur al-Hadhrami al-Isybili (w. 663 H), murid Asy-Syalaubin
m)   Ibn Malik, Jamal ad-Din Muhammad bin Abdullah bin Abdullah bin Abdullah bin Malik Ath-Tha’i al-Jayyani (w. 672 H)
n)     Ibn al-Haj, Abu al-Abbas Ahamad bin Muhammad al-Azdi (w. 651 H), murid asy-Syalaubi
o)     Ibn adh-Dhaai’, Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-kitami al-Ubbadi (w. 680 H), murid Asy-SyalaubinIbn abi ar-Rabi’ Ubaidillah bin Ahmad al-Umawi al-Isybili (w. 688 H)
p)     Ash-Shaffar, Qasim bin Ali, murid Ibn UshfurAbu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin az-Zubair (w. 710 H).
q)     Abu Hayyan, Atsir ad-Din Muhammad bin Yusuf al-Gharnathi (w. 745 H), murid Abu Ja’far ibn az-Zubair dan Ibn adh-Dhaai’ dalam bidang nahu.

3.     Aliran Mesir
a.     Kemunculan dan perkembangan aliran Mesir
Orang Mesir yang terkenal pertama kali membawa ilmu nahu adalah Walid bin Muhammad at-Tamimi. Dia telah pergi ke Bashrah dan menjadi murid Mahlabi dan Khalil bin Ahmad dan para guru lain.
Setelah itu, langkahnya diikuti oleh ulama Mesir yang lain, seperti: Abu Ali Ahmad bin Ja’far al-Dainuri yang telah mengambil ilmu dari al-Mazini, kitabnya Sibawaihi dan membacanya di pusat-pusat belajar Baghdad dan mengajarkannya di Mesir.





b.     Imam-imam aliran Mesir
Pada masa awal, telah ada pengikut Abu Aswad yang mengajar di sana, yaitu:
1.     Generasi pertama
Abdurrahman bin Hurmuz (w. 117 H) adalah yang memberi tanda baris pada mushaf al-Qur’an sebagai tanda i’rab.
Nahu aliran Mesir secara khusus mulai berkibar dengan hadirnya  Wallad bin Muhammad at-Tamimi, seorang yang berasal dari Bashrah, tetapi tumbuh di Fusthath Mesir. Beliau berguru kepada al-Khalil bin Ahmad di Irak. Salah seorang imam yang sezaman dengannya adalah Abul Hasan al-A’azz yang belajar nahu kepada al-Kisa’i. Kedua imam ini mulai memadukan antara kedua aliran yang telah ada, yaitu Kufah dan Bashrah. 
2.     Generasi kedua
a)     Ad-Dinauri adalah Ahmad bin Ja’far, dia belajar kepada Tsa’lab, lalu pindah kepada al-Mubarrad.
b)     Muhammad bin Wallad at-Tamimi (w. 298 H) belajar dari ayahnya, dan juga ad-Dinauri dan Mahmud bin Hassan.
3.     Generasi ketiga
a)     Ali bin Husain al-Hunna’i (320 H) dia memadukan pendapat Bashrah dan Kufah. Abul ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin Wallad at-Tamimi (w. 332 H).
b)     Abu Ja’far An-Nahas (w. 337 H)
4.     Generasi keempat
Generasi ini adalah imam yang muncul pada masa dinasti Fathimiyyah adalah:
a)     Abu Bakar al-Idfawi (w. 388 H)
b)      ‘Ali bin Ibrahim al-Haufi (w.430H), murid al-Idfawi.
c)      Adz-Dzakir an-Nahwi (w.440 H), murid dari Ibn Jinni
d)      Ibn Babasyadz, Thahir bin Ahmad (w. 469 H)
e)      Muhammad bin Barakat (w.520 H)
f)       Ibn al-Qaththa’, ‘Ali bin Ja’far as-Sa’di (w.515 H)
g)      Ibn Barriy (w.582 H)
h)     ‘Utsman bin ‘Ali al-Balathiy al-Maushili (w.599 H)


5.     Generasi kelima
Generasi ini muncul pada masa al-Ayyubi:
a)      Sulaiman bin Banin ad-Daqiqiy (w. 614 H).
b)     Murid ibn Barriy Yahya bin Mu’thi al-Maghribi (w. 628 H).
c)     Ibn ar-Ramah, ‘Ali bin Abdushshomad (w. 633 H), penulis alfiyah Ibn Mu’th, yang dikutip namanya oleh Ibn Malik dalam alfiyah-nya
d)     ‘Ali bin Muhammad as-Sakhwi (w.643 H)

6.     Generasi keenam
Generasi ini muncul pada masa dinasti Mamalik dan seterusnya:
a)     Bahauddin Ibn Nuhas al-Halabiy (w. 698 H), dia adalah guru Abu Hayyan Ibn Ummi Qasim.
b)      Al-Hasan bin Qasim (w. 749 H).
c)      Ibn al-Hajib, Jamaluddin ‘Utsman bin ‘Umar bin Abi Bakar (570-646 H).
d)      Ibn Hisyam, Jamaluddin Abdullah bin Yusuf bin Ahmad bin Abdullah bin Hisyam al-Anshari al-Mishriy (708-761 H)
 Generasi terakhir, Generasi ini adalah generasi Mesir yang terakhir:
a)      Ibn ‘Aqil, Abdullah bin Abdurrahman (w. 769 H)
b)      Ibn ash-Sha’igh, Muhammad bin ‘Abdurrahman (w. 776 H).
c)     Ad-Damamini, Muhammad bin Umar (w. 837 H)
d)      Asy-Syumunni (w. 872 H), juga menulis komentar atas Mughni al-Labib.
e)      Al-Kafiji, Muhammad bin Sulaiman ar-Rumi (w. 879 H).
f)       Khalid al-Azhari (w. 905 H)
g)      As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Muhammad (w. 911 H)
h)      Al-Asymuniy, Nuruddin Ali bin Muhammad (w. 929 H).
i)       Asy-Syanwani (w. 1019 H).
j)       Ad-Danusyari (w. 1025 H).
k)      Syaikh Yasin (w. 1025 H).
l)       Ash-Shiban, Muhammad bin ‘Ali (w. 1206 H)
m)    Ad-Dasuqi, Muhammad bin Arafah (w. 1230 H).
n)      Hasan al-Athar (w. 1250 H.
IV.      Ushul al-Nahw : Pengertian, perkembangannya dan pengaruh ushul al-fiqh terhadap Ushul al-Nahw
1.     Pengertian ushul al-nahwi
a.      Secara etimologi ushul al-nahwi merupakan dua rangkaian kata yang mengandung satu makna, yaitu terdiri dari kata ushul dan al-nahu. Ushul adalah jama’ dari kata ashlu, dan kata ashlu adalah masdhdar yang berarti dasar sesuatu. Adapun kata al-nahu adalah maasdhar dari نحا- ينحوyang berarti tujuan atau sasaran. Jadi ushul al-nahu adalah sesuatu yang dijadiakn dasar bagi sintaksis Arab.
b.     Secara terminologi, dapat dilihat dari beberapa pendapat para imam nahu.
Ada pendapat para imam nahu, dalam mendefefenisikan ushul al-nahwi :
a.      Ibnu Jinni
Ia banyak memaparkan hal-hal yang terkait dengan substansi yang dibicarakan dala ushul al-nahwi itu sendiri.
b.     Al-Anbary
Menrutunya ushul al-nahwi adalah : dalil nahu yang terangkat darinya cabang-cabang dan sbu-sub kajian nahu.
c.      Al-Suyuti
Menurutnya ushul al-nahwi adalah ilmu yang membahas tentang dalil-dalil nahu secara menyeluruh, baik dari segi dalalah nahu, cara-cara mengambil dalil dan keadaan yang mengambil dalil.
d.     Aziziah Fawwal
Menurutnya ushul al-nahwi adalah sesuatu yang embahas tentang dalail-dalail nahu secara ringkas, yang mencakup dalil-dalil nahu, cara-cara mengambil dalail dan kondisi si pengambil dalil.
Jadi ushul al-nahwi adalah ilmu yang membahas tentang dalil-dalil nahu, yang tercakup di dalalmnya tiga aspek, yaitu, : dalil-dalil nahu, metode pengambilan dalil, dan kondisi yang mengambil dalil. 







2.     Perkembangang ushul al-nahwi
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan antara nahu dan ushul al-nahwi sulit untuk dipisahkan dan juga sulit ushul al-nahwi mengatakan mana yang lebih dulu muncul. Secara sederhana ungkin dapat dikatakan bahwa nahu merupakan produk dari ushul al-nahwi sehingga roses kelahiran nahu bersamaan dengan proses terbentuknya ushul al-nahwi.
Adapun factor penyebab munculnya nahu dan perkembangannya antara lain :
a.      Faktor agama
b.     Faktor nasionalisme Arab
c.      Faktor sosiologis
Dalam perkembangan ilmu nahu, terdapat 4 fase yaitu :
a.      Fase peletakan dasar dan pembentukan (marhalah wadh’I wa takwin)
b.     Fase pertumbuhan dan perkembangan (marhalah nusyu’ wannnumum)
c.      Fase pematangan dan penyempurnaan ( marhalah dhaohi wal kamal)
d.     Fase tarjih dan penyebar luasan (marhalah tarjih wa tashnif)
3.     Pengaruh ushul fiqh terhadap ushul al-nahwi
Al-Nahlah mengatakan bahwa ushul fiqh adalah ilmu yang paling banayak memberikan pengaruh pada kajian nahu, bukti pengaruhnya yaitu :
a.      Membuka inspirasi dan menimbulkan kecermatan yang menyeluruh terhadap nash-nash yang dijadikan sumber yang kemudian sangat bermanfaat untuk mengkritik teks tersebut baik dari segi sanat dan matan
b.     Dalam Ushul fiqh dikenal kaedah degan konsep mashlahah, yang termofulasikan dengan kalimat لا ضرر ولا ضرار  sedangkan dalam ushul al-nahwi dikenal kaedah dengan konsep al-faaidah. Yang terformulasikan dalam kalimat لا خطأ ولا لبس ini dijadikan sebagai barometer dalam qiyas untuk menemukan hokum-hukum.
c.      Konsep al-Ashol dan AL-Far’u telah berkembang sejak periode awal perkembangan nahu yang mereka ambil dari kalangan ushul fiqh
d.     Pengaruh al-‘illah al-ushuliyah pada al-illah al-nahwiyah begitu jelas terlihat dalam proses pembuatan dan pembenaran hokum nahu.
e.      Kalangan nahu banyak mentransfer peristilahan-peristilahan yang muncul pada ushul fiqh ke dalam nahu terutama dalam cara menarik kesimpulan.
f.      Terbaginya hukum nahu kepada wajib, mamnu’ hasan, qobih, khilaf al-ula dan jaiz ala saawa. Merupakan keterpengaruhan kalangan nahu oleh imam-imam ushul fiqh.

V. Macam-macam dalil nahu : 1. Al-sama’ sebagai dalil nahu ; pengertian, bentuk-bentuk dalil al-asma’ dan hal yang terkait dengannya

Macam-macam dalil nahu :
1.      Al-asma’
2.      Al-ijma’
3.      Al-istishab
1.     Al-sama’ sebagai Dalil Nahu

2.     Pengertian
a.      Secara etimologi sama’ berarti mendengar
b.     Secara terminologi
Menurut as-Suyuti sama’adalah segala sesuatu yang terambil yang sudah diakui kefasihannya, termasuk dalam hal ini alquran, perkataan nabi SAW, perkataan orang arab pada masa sebelum atau sesudah periode Rasul, sampai ketika telah banyak terjadi kerancuan lidah orang arab dalam berbicara, karena semakin banyaknya orang-orang arab Blesteran, baik dalam bentuk syair, prosa yang karagan muslim maupun kafir.
Al-anbari mengistilahkan sama’ dengan naqli, menurutnya sama’ atau alnaql adalah perkataan orang arab yang didapatkan denga penukilan yang sah dan melebihi batas minimal atau mencapai batas maksimal. sehingga tidak termasuk kategori sama’ perkataan orang yang bukan arab, baik itu blasteran ataupun lainnya. Serta -kasus  dalam perkataan mereka seperti menjazamkan dengan lan(لن)  dan menashabkan dengan lam (لم)
3.     Bentuk-bentuk dalil al-sama’
Ada beberapa bentuk atau sumber al-sama’ :
a.      Alquran
Alquran diyakini lebih fashah dibanding dengan perkataan orang arab. Lebih absah penukilannya, sagat jauh dari kerancuan serta diturunkan dalam bahasa arab yang benar.
b.     Hadis Nabi SAW
Perkataan Nabi SAW dan perkataan sahabat yang mengungkapka perbuatan atau situasi serta peristiwa yang terjadi di masa Nabi SAW, kadang-kadang buku hadis memuat tentang perkatan para tabi’in seperti al-Zuhry ibnu Urwah, serta Umar bin Abdul aziz.
c.      Perkataan orang arab
Adapun yang dimaksud dengan kalam orang arab di sini adalah perkataan yang diadopsi dari orang arab dalam bentuk syair maupun prosa, baik orang arab pra Islam maupun sesudah Islam.

VI.  Al-Ijma’ sebagai dalil nahu ; pengertian, bentuk-bentuknya dan kehujjahannya
1.     Pengertian
Secara bahasa memiliki dua makna, yaitu   العزم والاتفاق
-        الاجماع merupakan mashdar dari  اجمع yang berarti tekat (العزم )
-        الاجماع  bermakna sepakat الاتفاق
Secara istilah
a)     Menurut Ibnu Jinny :
الاجماع adalah kesepakatan ahli dua kota – Bashrah dan Kufah – dan boleh dijadikan hujjah bila orang lain mengakui bahwa tidak bertentangan dengan nash dan yang diqiyaskan kepada nash
b)     Menurut Suyuti
Suyuti sejalan dengan defenisi yang dikemukan Ibn Jinni (belum ada penambahan defenisi)
c)     Menurut Ibnu Thayyib
Kesepakatan ahli nahwu yakni bashrah dan kufah
d)     Menurut ahli nahwu modern
Kesepakatan para ahli nahwu terhadap sesuatu hal tanpa ada pertentangan baik kelompok maupun individu
e)     Menurut sebagian ahli nahwu modern lainnya
Kesepakatan ulama sharf dan nahwu terhadap hukum suatu masalah (yang berkaitan dengan nahwu dan sharaf)
2.     Bentuk-bentuk   الاجماع
Menurut Muhammad Husein الاجماع terbagi kepada :
a.      Ijma’ ahli fiqh : kesepakatan tentang masalah yang berkaitan denga masalah fiqih dan kesepakatan itu berdasarkan perkataan ulama fiqih
b.     Ijma’ Ushul Fiqh kesepakatan tentang masalah yang terkait dengan ushul fiqih, berdasarkan kesepakatan ulama ushul fiqih
c.      Ijma’ ahli nahwu
Kesepakatan terkait dengan masalah nahwu dan berdasarkan perkataan ulama nahwu
d.     Ijma’ ahli Qurra’
Kesepakatan yang terkait tentang qiraat dan kesepakatan berdasarkan perkataan ulama qurra’
e.      Ijma’ arab, lisan orang arab

Contoh ijma’ arab :
اذ هم قريش واذ ما مثلهم بشر
Adapun tugas ما  sama dengan ليس menurut ahli Hijaz yaitu merafa’kan isim dan menasabkan khabar, dalam hal ini bani Tamim membiarkan saja.
Contoh ijma’ ahli nahwu
لولى  dan لولاك  yang ada pada syi’ir, sebagian besar orang bashrah berpendapat bahwa dhomir   dan   berada pada tempat majrur, adapun al-akhfasy dari golongan bashrah yang sepakat dengan ulama kufah mengatakan baahwa dhomir tersebut menduduki tempat rafa’. Sedangkan menurut al-Biqa’i  ada dua kemungkinan ;
1.     Dhomir tersebut tidak ada tempat dalam i’rab
2.     Dhomir tersebut berada pada tempat nashab karena dhomirnya adalah dhomir nashab




Kehujjahan Ijma’ :
Ada beberaapa versi :
1.     Al-anbary : Naql (ushuliyyin menyebutnya dengan sama’), qiyas dan istishabul hal.
2.     Ibn Malik : sima’, ijma’ dan qiyas
3.     Ibn Jinni : sima’, qiyas, istihsan dan ijma’
4.     Imam Suyuti : sima’, qiyas, istishabil dan istihsan
5.     Ahmad Timur Basya : sima’ da qiyas

VII.  Al-Qiyas sebagai dalil nahu ; pengertian, rukun-rukunnya dan bentuk-bentuknya
1.      Pengertian Qiyas
a.      Qiyas : Membandingkan, Menimbang.
b.      Terminologi: Seorang yang memiliki pengetahuan tentang keanekaragaman seluk beluk sebuah bahasa, kemudian membuat kesimpulan atau kaidah dengan teori perbandingan jenis untuk mengatur penggunaan bahasa tersebut.
c.      Pada masa fase awal: Qiyas merupakan pengembangan lebih lanjut dari prinsip as Sima’. Itu makanya banyak terdpat perbedaan pendapat dalam menentukan sebuah kasus dalam bahasa apakah ia sima’ atau Qiyasi.
2.      Pandangan
a.      Mazhab Kuffah: semua yang mereka dengar (khususnya Arab Badui) dapat dijadikan rumusan dalam menentukan kaidah kebahasaan.
b.      Mazhab Bashrah: ia Sangat selektif. Hanya riwayat yang benar-benar telah disepakati kebenarannya yang bisa dijadikan landasan dalam perumusan kaidah bahasa.
c.      Kelemahan keduanya ialah : mereka kurang apresiasif terhadap perbedaan yang ada, meskipun bahasa itu diucapkan oleh orang Arab yang dianggap fasih dalam berbahasa.
3.      Rukun Qiyasi.
a.      Asli (al Maqis Alaihi)
b.      Furu’/Cabang (Maqis)
c.      Hukum
d.      Illat.
4.      Bentuk-Bentuk Qiyas.
a.      Menurut Al Anbari.        
1.      Qiyas Illat. Yaitu Qiyas yang disepakati oleh ulama untuk diamalkan dan merupakan qiyas yang paling tinggi tarafnya dibandingkan dengan bentuk lainnya.
2.      Qiyas al Sibh. Yaitu menangguhkan Furu’ kepada asal karena adanya bentuk kesamaan yang bukan illat yang hukum tergantung kepadanya dari asal.
3.      Qiyas al Thard.


VIII.  Al-istishhab sebagai dalil nahu ; pengertian, beberapa istilah yang berkait dengannya ; ashl al-wadha’, ash al-qa’idah dan al-‘udul ‘an al-ashl.

Pengertian al-istishhab
       Menurut  bahasa, kata istishhab merupakan kata dasar dari استصحب- يستصحب  yang berarti دعاه إلى الصحبة  (mengajak berteman), لازم (pasti).
Secara terminologi menurut Al- Anbari istishhab adalah:
هو إبقاء حال اللفظ على مايستحقه من الأصل عند عدم دليل النقل عن الأصل
Menetapkan suatu keadaan suatu lafaz menurut kehendak asalnya sewaktu tidak ditemukan dalil yang mengalihkan dari asalnya.
Sedangkan menurut Azizah Fawwal dalam disertasi Hafni Bustami, istishhab adalah:
إبقاء الحكم فى الأسماء والأفعال والحروف على ماتستحقها حتى يقوم دليل يخالفه
   Menetapkan berlakunya suatu hukum atau ketentuan pada isim, fi’il, dan huruf  yang samestinya hingga ada dalil yang menyalahinya.
1.     Pendapat ahli nahwu tentang istishhab
Berdasarkan perbedaan pendapat para Fuqaha’ tentang mengambil istishhab menjadi suatu dalil fiqh, ahli nahwu memperdebatkan  dalam mengambil istishhab sebagai dalil di antara dalil-dalil yang lainnya. Ibnu Jinni tidak memasukkan istishhab sebagai dalil nahwu tapi hanya berpegang dengan tiga dalil yaitu sama’, Ijma’, dan qiyas. Ibnu al-Ambary berpegang dengan tiga dalil juga yaitu naql, qiyas dan istishhab dan mengugurkan ijma’. Sementara As-suyuthy berpegang dengan keduanya secara bersamaan. Ia menjadikan dalil-dalil nahwu empat macam yaitu sama’, ijma’, qiyasa, dan istishhab.
2.     Beberpa istilah yang tearkait dengan istishhab
     a. Ashal al-Wadha’(أصل الوضع )
            Ashal al-Wadha’ adalah bentuk asal atau bentuk awal dari suatu huruf , kata, atau kalimat yang ditetapkan oleh orang Arab.
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1)      Asal pembentukan huruf
      Asal pembentukan huruf arab menurut Sibuwaihi ada sebanyak 29 huruf yang berbeda bentuknya antara satu dengan yang lainnya. Baik dari segi makhraj maupun dari segi sifatnya. Penentuan asal huruf baik makhraj maupun sifatnya didasarkan pada cara orang arab dalam mengucapkan kata dan berbicara.
2)      Asal pembentukan kata
      Asal pembentukan kata bahasa arab secara umum ada dua bentuk  yaitu musytaq dan jamid. Musytaq mengandung arti dapat mengalami perubahan bentuk. Dalam hal ini mencakup dua hal yaitu isim dan fi’il, seangkan jamid yaitu kata yangtidak mengalami perubahn bentuk dan hanya berlaku pada huruf.
3)      Asal pembentukan kalimat
      Asal kalimat dalam bahasa arab mempunyai dua unsur yaitu musnad ilaih (subjek) dan musnad (prediket). Jika suatu kalimat dalam bentuk isim (nominal), maka mubtada’ sebagai musnad ilaih dan khabar sebagi musnad. Sedangkan kalimat dalam bentuk jumlah fi’liyyah, maka fa’il sebagai musnad ilaih dan fi’il sebagi musnadnya.
                  Dua unsur kalimat di atas merupakan unsur utama sebuah kalimat, karena tampa ada keduanya atau salah satu diantara keduanya belumlah merupakan sebuah kalimat yang sempurna. Dan yang lain hanya sebagai pelengkap dalam kalimat tersebut.
b.  Ashal al-qaidah (أصل القا عدة)
     





IX. Perbedaan pendapat antara aliran Bashrah dan Kufah; faktor-faktor yang menyebabkan dan aspek-aspek yang mukhtalaf antara kedua aliran

Perbedaan Pendapat Antara Aliran Bashrah dan Kuffah
Tamam Hasan dalam bukunya ­“Al-Ushul mengatakan bahwa perbedaan yang mendasar dan terpenting antara kalangan Bashrah dan Kuffah terletak pada tiga permasalahan yaitu;
1.       Ulama Kuffah sangat terbuka dalam mengambil periwayatan, tidak seteguh pendirian bashrah dalam pemahaman fashahah. Sehingga mereka mengambil bahasa Arab bukan saja dari kabilah yang fushha tetapi juga dari kabilah yang jauh dari pedalam dan bahkan orang-orang imigran pun masih diambil oleh mereka.
2.       Dalam hal qiyas, kalangan Kuffah lebih terbuka dan lebih banyak menggunakan qiyas serta tidak mengemukakan persyaratan yang ketat dalam melakukan qiyas seperti ketatnya kalangan Bashrah.
3.       Ulama Kuffah banyak menggunakan istilah-istilah nahwu mereka yang tidak pernah digunakan oleh kalangan Bashrah.

Perbedaan pendapat dikalangan ahli nahwu sabagaimana dikemukakan ibu  Hafni Bustami dalam disertasinya, telah dimulai pada thabaqat ke-4 bagi ulama Bashrah atau thabaqah bagi ulama Kuffah, yakni pada Sibawai dan al-Kisa’i. peta perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan aliran Nahwu dapat dikategorikan dalam tiga aspek yaitu;
1.     Persoalan yang berhubungan dengan aspek ushul nahwu.
2.     Persoalan yang berhubungan dengan topik-topik kajian dalam nahwu.
3.     Persoalan-persoalan nahwu yang bersifat juziyyat yang merupakan rincian dari persoalan yang terdapat dari topik-topik kajian nahwu di atas.
Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan.
Perbedaan pendapat antara dua aliran bashrah dan Kuffah terkait masalah nahwu bukan muncul tanpa alasan, namun kondisi ini dipengaruhi oleh hal-hal di antaranya sebagai berikut:
1.       Faktor geografis dan faktor sosial
2.       Faktor politis
3.       Sifat Fanatik
4.       Metode Belajar dan Kajian Ilmiah

Masalah-Masalah Nahwu yang Mukhtalaf
Diantara persoalan-persoalan khilafiah tersebut yaitu dalam hal sebagai berikut:
1.     Amil yang merafa’kan Mubtadak dan Khabar.
Ø  Bashrah berpendapat : Amil yang merafa’kan Mubtadak adalah Ibtida’. Masalah Khabar Bashrah membagi dua pendapat: pertama Merafa’kan mubtada’ adalah ibtida’ itu sendiri. Kedua, bahwa yang merafa’kan adalah ibtida’ dan mubtada’ secara bersamaan.
Ø  Kuffah : Mubtada’ merafa’kan khabar dan Khabar merafa’kan Mubtada’. Keduanya saling merafa’kan.
2.     Kalimat Ta’ajjub dari kata hitam dan putih.
Ø  Bashrah : tidak membolehkan
Ø  Kuffah : membolehkan
3.     Nikma dan Biksa
Ø  Kuffah : keduanya adalah isim.
Ø  Bashrah: keduanya adalah fiil madhi yang tidak bertashrif.
4.     Mendahulukan khabar Laisa dari Laisa.
Ø  Kuffah: membolehkan
Ø  Bashrah : Melarangnya.
5.     Mendahulukan Khabar Mazala cs.
Ø  Kuffah membolehkan
Ø  Bashrah : tidak membolehkan.
6.     Isim merupakan Mufrad Nakirah.
Ø  Kuffah : adalah mu’rab mansub
Ø  Bashrah : mabni alal Fathi fi mahalin Nashbi
7.     Asal al Istiqaq.
Ø  Kuffah : al Istiqaq adalah fiil
Ø  Bashrah : menurutnya adalah mashdar.
8.     Fiil madhi sebagai hal.
Ø  Kuffah : membolehkan
Ø  Bashrah: sebaliknya.
9.     Tarkim isim yang mudhaf dan tiga huruf.
Ø  Kuffah : membolehkan
Ø  Bashrah : melarangnya.
Dibawah ini contoh lain perbedaan nahwu Kuffah dan bashrah, yaitu :


XII. Al-Ta’arudh wa al-Tarjih ; Pengertia dan bentuk-bentuknya
TA’ARUDH DAN TARJIH

Setiap dalil nahu menghasilkan hukum dalam hali ini adalah kaidah nahu, atau sebaliknya kaidah nahu dihasilkan dan disusun oleh ulama nahu dengan merujuk dan berpedoman kepada dalil nahu. Kadang kala dua dalil yang menjadi landasaan satu kaidah tertentu berlawanan sesamanya dalam arti satu diantaranya menghasilkan suatu hokum atau kaidah yang dinafikan oleh dalil yang satu lagi. Kedua dalil tersebut dinyatakan berlawanan atau berbenturan. Perbenturan dua dalil itu disebut dengan al-ta’arudh.
Dalam penggunaan praktis dalam beristidlal tidak mungkin menggunakan dua dalil yang antara sesamanya terdapat perbenturan. Oleh karena itu, dilakukan suatu usaha untuk mencari dan menetapkan yang terkuat diantaranya untuk diamalkan. Usaha mencari yang terkuat diantara dua dalil yang berbenturan itu disebut dengan al-tarjih.
Adapun beberapa bentuk ta’arudh dan cara tarjih yang mesti ditempuh :
a.      Ta’arudh antara dua dalil naql/ sima’
Menurut Al-Anbary bila terjadi perbenturan antara dua dalil naqli, yang diambil adalah yang terkuat diantara keduanya, untuk itu harus dilakukan tarjih diantara keduanya. Untuk menentukan mana yang terkuat dilakukan penelitian terhadap sanad (rangkaian orang yang meriwayatkannya) dan juga matan (teks dari yang diriwayatkan). Dari segi sanad yang terkuat adalah yang lebih banyak rangkaian perawinya, atau yang lebih kuat hafalan para perawinya
b.      Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas
Al- Anbary juga mengemukakan bahwa bila terjadi perbenturan antara qiyas dengan qiyas maka yang diambil adalah qiyas yang dikuatkan atau didukung oleh dalil lain, baik dalil itu adalah dalil naqli, atau qiyas sendiri.
a.      Ta’arudh antara qiyas al-Bashriy dengan qiyas al-Kufiy
Qiyas yang dihasilkan oleh ulama Bashrah mungkin saja berbenturan dengan qiyas yang dihasilkan oleh ulama Kuffah. Bila terjadi yang demikian maka ijma’ ulama nahu menguatkan atas qiyas yang dihasilkan oleh ulama Bashrah atas qiyas yang dihasilkan oleh ulama Kuffah. Alasannya ialah orang-orang Bashrah sangat memperhatikan qiyas yang sangat dan memberikan syarat-syarat yang sangat ketat terhadap pengamalan qiyas.
c.      Ta’arudh antara qiyas dengan  al-sima’
Bila terjadi pertentangan antara qiyas dengan al-sima’ baik nash atau kalam Arab, maka Ibn Jinniy mengatakan :
إِذَا تَعَا رَضَ القِيَاسَ وَالسِّمَاعُ نَطَقْتَ بِالسِّمَاعِ عَلَى مَا جَاءَ عَلَيْهِ وَلَمْ تَقِسْ فِى غَيْرِهِ.
Artinya : bila terjadi pertentangan antara qiyas dengan al-sima’, maka dari segi pengucapan mengikut kepada al-sima’, tetapi kata lain tidak dapat diqiyaskan kepadanya.
d.      Ta’arudh antara qiyas dengan al-istishhab
Bila terjadi perbenturan antara qiyas dengan istishhab maka yang dikuatkan untuk diamalkan adalah qiyas. Alasannya ialah bahwa ishtishhab itu termasuk dalil yang paling lemah.
e.      Ta’arudh antara quwwah al-qiyas dengan kastrah al-isti’mal
Bila terjadi perbenturan antara quwwah al-qiyas (qiyas yang kuat dalilnya ) dengan katsrah isti’mal (bahasa yang banyak dipakai dalam pembicaraan), dikuatkan atau didahulukan bahasa yang banyak dipakai

13. Pembaharuan dalam nahu; analisis perbandingan antara kitab al-Radd ‘ala al-Nuhah karya Ibn Madha’ dan Tajdid al-Nahw karya Syauqi Dhaif
Perkembanganilmunahwuhinggaabad ke-6 mengalami kemajuan yang pesat. Hal initerlihat dari meluas nyakajian ilmu ini sehingga banyak melahirkan teori-teori baru oleh ulama’ nahwu, untuk mengantisipasi ikhtilaf yang berkepanjangan maka ulama’  nahwu berupaya untuk melakukan pembaharuan dalam ilmu nahwu agar mudah difahami.
1.      Kitab A-Ra’ad ‘Ala Al-NuhahKaryaIbnMadha’
a)      BiografiIbnuMadha
Dia adalah Ahmad bin Abdul Rahman bin Muhammad bin Sa’id bin Haris bin Ashim Ibnu Madha’, dia lebih dikenal dengan nama julukan IbnuMadha’.
Dilahirkan di Cordova pada tahun 512 M, dan meninggal dunia pada tahun 592 M di Isybiliyah.
Sebagai pakar ilmu nahwu, pada abad ke-6 H dia telah menulis 3 buku yang sangat mumental, yaitu: الرد على النحاة, المشرك في النحو, تنزيةالقران عم لايليق بالبيان

Ibnu Madha’ adalah ilmuan nahwu Bani Abbasiyah dari dinasti muwahhidun.
a.      Latar Belakang Kajian Ilmu Nahwu Ibnu Madha
Pada awalnya dia bermazhab Basrah, namun dia juga merupakan revolusioner dalam kajian nahwu ini, hal ini terlihat ketika  dia menggagas dasar epistemology nahwu yang meliputi sima’, qiyas, ta’lil dan ta’wil serta pengecualian jika terdapat contoh ucapan yang bertentangan dengan kaidah yang ditetapkannya. Misalnya dia menetapkan bahwa hal harus dibentuk dari isim nakirah. Nah, ketika muncul hal serupa dengan isim ma’rifah maka dia melakukan ta’wil atau mengalihkan asumsi dari yang tampak.
b.      Konsep Nahwu Ibnu Madha
Terdapat 4 teori nahwu Ibnu Madha yang berbeda dengan ulama’ nahwu lainnya:
-        Membuangteori ‘amil
Amil adalah kata yang mempengaruhi harakat akhir kata, bias berbari srafa’, nasab, khafad dan jazam. Amil ini ada yang lafzi/tampak seperti kana dkk dan tidak tampak/ma’nawi seperti ibtida’ yang merafa’kan mubtada’.
Teori amil ini dianggap oleh Ibnu Madha’ membingungkan siswa, maka praktikan alisis tidak efesien maka perlu untuk dikesampingkan.
-        Menghilangkanillattsawanidantsawalits
MenurutIbnumadha’, illat tsawani dan tsawalits ini sangat menguras pikiran siswa dan sebenarnya tidak diperlukan dalam kelancaran dan kefashihan berbicara.
-        Kosepqiyas
Dalam hal ini Ibnu Madha’ lebih menitik beratkan konsep sima’i, dia bahkan berijihad bahwa tidak perlu ada qiyas, kecuali jika memang pernah ada yang mendengarkan bahwa orang Arab pun pernah mengucapkannya.
-        Konsepta’wil
Ta’wil merupakan pembelokan bahasa dari makna dzahir pada makna yang dibutuhkan yang lebih tepat. Dalamta’wilterdapat 4 komponenyaitu: hadzfu, istitar, pembentukan masdar, dan memunculkan kata atau kalimat.

2.      Kitab Tajdid Al-Nahw Karya Syauqi Dhaif
a)      Biografi Syauqi Dha’if
Nama lengkapnya adalah Amad Syauqi Abd Salam Dhaif. Dia lebih dikenal dengan Syauqi Dha’if, merupakan sastrawan dan pakar linguistic di mesir 1910.

b)      KonsepNahwuSyauqiDha’if
Pembaharuan yang dilakukan Syauqi Dha’if dalam kajian nahwu, sebagaimana termuat dalam kitabnya Tajdid Al-Nahw Karya Syauqi Dhaif  18 bab diantaranya:
1.      Merevisi kembali bab-bab nahwu
Dia menghapus 18 bab kajian nahwu yang menurutnya tidak perlu dibahas;
o   Bab kana waakhwatuha, bab maa, laa yang beramal laisa
o   Bab kada waakhwatuha, bab zhanna waakhwatuha
o   Bab a’lama waakhwatuha, al-atanazzu’
o   Bab istighal, sifah musyabbah
o   Bab Ishim tafdhil, ta’ajjub
o   Bab Af’al mad wata’dzhim
o   Bab kinayah al-adad
o   Bab ikhtishas, tahdzhir
o   Bab al-iqhra’, tarkhim
o   Bab nadbah dan istighasah.

2.      I’rab shihah nuthqi
I’rab fungsinya untuk membenarkan ucapan, contoh: ketika kita mengucapkan  أكل أستاذ رزا
3.      Penghapusan I’rabainitaq diri dan mahalli
4.      Memberikan defenisi dan aturan-aturan terperinci dalam bab nahwu
Menghapus penjelasan-penjelasan yang berlebihan.


X.  Analisis masalah-masalah nahu yang mukhtalaf dalam kitab al-Inshaf dan dalil-dalil nahu yang dipergunakan. A. Masalah al-‘awamil









XI. B.masalah i’rab















XIV. Analisis isi dan pemakaian dalil nahu dalam kitab al-Mufashshal fi ilm al-Lughah karya al-Zamakhsyariy


Komentar

Postingan Populer