Makalah Fiqih Lugha مناهج البحث في فقه اللغة | Pasaca IAIN IB



مناهج البحث في فقه اللغة
(Metode Penelitian Fiqh al-Lughah)

A.    Pendahuluan
Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistimatis.[1] Suparlan dalam bukunya Filsafat Ilmu Pengetahuan, menjelaska bahwa metode adalah merupakan proses yang sistimatis berdasarka teknik-teknik ilmiah yang dipakai oleh suatu disiplin ilmu untuk mencapai suatu tujuan.[2] Ketika kata metode ini dihubungkan dengan kata Fiqh al-Lughah, maka yang dimaksud adalah merupakan proses yang sistimatis berdasarka teknik-teknik ilmiah yang dipakai oleh suatu disiplin untuk mengkaji tentang Fiqh al-Lughah.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang:
1.     Pengertian مناهج
2.     Aspek Kajian Fiqhi al-Lughah
3.     Aktifitas pakar bahasa arab

Pembahasan ini dengan mempergunakan sumber : Shubhi al-Shaleh, Fiqhi al-Lughah, Akhyar hanif, Fiqh Lughah Refleksi Pemikiran Kebebasan Jalaluddin al-Syuthi, Amil Badi’ Ya’kub,  Fiqh al-Lughah al-Arabiyah Wa Khasaisuha, Beirut : Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1982, dan Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Profosal, dan informasi internet.





B.    Pembahasan
1.     Sekilas tentang sejarah Fiqh Lughah
Semenjak dari masa  yang paling awal dalam sejarah studi bahasa di kalangan Arab telah muncul beberapa istilah yang merupakan nama atau sebutan bagi kajian-kajian kebahasaan ini dalam bentuk khususnya. Sebagian istilah tersebut terkadang masih terpakai hingga sekarang meski dengan metodologi yang berbeda. Diantara istilah-istilah yang populer dalam kajian kebahasaan di kalangan Arab dahulu adalah al-lughah, al-nahwu,dan al-arabiyah. Seperti diketahui bahwa para ulama muslim Arab terdahulu pertama sekali menyebut aktivitas mengoleksi dan mengumpulkan kosakata-kosakata Arab (al-mufradat al-arabiya) dengan beberapa sebutan, yang paling lama adalah al-lughah. Jadi yang mereka maksud dengan istilah al-lughah atau fiqh lughah, itu adalah ilmu khusus mengoleksi atau mengumpulkan kosakata-kosakata bahasa Arab, kemudian mereka menganalisa kosakata tersebut sedemikian rupa termasuk mengenai makna-maknanya. Hal ini mereka lakukan terutama terhadap kosakata-kosakata Alquran yang mereka anggap aneh atau asing yang sulit mereka fahami. Seperti yang pernah dilakukan Ibn Abbas, ketika dia memfokuskan perhatiaannya kepada kosakata-kosakata aneh  atau asing (al-gharib)  yang ada dalam Alquran sehingga lahirlah kitabnya gharib al-Qur’an.[3]
Sesungguhnya para ulama terdahulu juga membedakan antara apa yang mereka sebut dengan istilah al-lughah dan istilah al-‘arabiyah, yang mereka maksud dengan istilah al-arabiyah adalah al-nahwu dan istilah al-lughah adalah fiqh lughah. Dalam perkembangan selanjutnya istilah al-nahwu untuk menunjukkkan  nama dari ilmu ini, dan al-nahwi untuk menunjuk orang yang menguasai ilmu ini, terkadang sering digandengkan dengan ilmu lain yaitu al-sharf. Dalam khazanah bahasa Arab masing-masing ilmu tersebut memiliki medan kajian sendiri-sendiri akan tetapi sering digandengkan dalam penyebutannya,yakni ilmu al-Qawai’d.[4]
Pada abad IV H muncullah istilah teknis baru dalam wacana keilmuan Arab yakni fiqh lughah. Hal ini disebabkan karena Ibn Faris (w. 395 h), menulis sebuah buku yang berjudul al-shahibi fi fiqh al-lughah wa sunan al-arabiyah fi kalamiha. Karya inilah untuk pertama kalinya yang menggunakan istilah fiqh lughah dalam khazanah keilmuan Arab (al-turats al-arabi). Kemudian datang pula al-Tsa’alibi (w. 429 H) menggunakan istilah yang sama pasca ibn Faris. Dia seorang ahli bahasa  dan sastra dan menulis bukunya dengan judul Fiqh al- lughah wa Sirr al-Arabiyah. Kedua buku tersebut secara umum sama-sama membahas problematika al-alfaz al-arabiyah, maka tema besar fiqh lughah bagi mereka berdua adalah ma’rifah al-alfaz al-arabiyah wa dilalatuha (studi terhadap kosakata Arab dan maknanya), tashnif hadzihi fi maudhu’at (mengklasifikasikannya ke dalam topik-topik tertentu) dan segala sesuatu yang terkait dengan itu.[5]
Kitab ibn Faris memuat beberapa permasalahan teoritik seputar bahasa. Di antara yang populer darinya ialah persoalan kemunculan bahasa (nasy’at al-lughah) atau dalam linguistik modern sekarang disebut the origin of language. Ketika para ulama bertikai tentang masalah tersebut, sebagian menganggap bahwa bahasa bersifat konvensional atau ketetapan bersama antara sesama masyarakat (‘urfan ijtima’iyyan), maka ibnu Faris datang membantah pendapat itu dengan mengajukan teori Tauqifi atau berdasarkan wahyu yang diturunkan dari langit. Akan tetapi topik mengenai keterkaitan bahasa dengan wahyu ini tidak terkait dalam kajian ilmu linguistik modern.[6]
Amil Badi’ Ya’kub mengatakan bahwa diantara buku-buku klasik yang mengkaji tentang fiqh lughah adalah buku al-Shahibi fi Fiqh al-Lughah wa Sunan al-Arab fi Kalamiha karya Ibn Faris dan kemudian diikuti oleh buku Fiqh al-Lughah wa Sirral-al-Arabiyah, karya Abu Mansur al-Tsa’alibi, akan tetapi kelihatannya Ibn Faris dan al-Tsa’alibi tidak membedakan istilah ini dengan pengertian-pengertian khusus.[7]
Defenisi yang agak jelas menyangkut istilah ini bisa dilihat dari penjelasan yang dikemukakan oleh Ramadhan Abd al -Tawwab dalam bukunya Fushul fi Fiqh al-Arabiyah, bahwa fiqh al-lughah adalah suatu ilmu yang berusaha mengungkap rahasia-rahasia bahasa, menetapkan kaidah-kaidah yang berlaku baginya dalam hidupnya, mengetahui rahasia-rahasia perkembangannya, mengkaji fenomena-fenomenanya yang berbeda-beda, melakukan studi terhadap sejarahnya disatu sisi, dan melakukan studi deskriptif disisi lainnya.[8]
Ibn Jinni, seorang linguis Arab yang wafat dipenghujung abad IV H (392 H), telah menulis buku yang sangat berharga dengan materi dalam kajian kebahasaan yang diberi judul al-Khasasis. Buku tersebut meski tidak secara ekspilisit menyebut kajian kebahasaan dalam bentuk fiqh lughah, akan tetapi melihat isi kandungannya maka banyak ulama tanpa ragu kemudian memasukkannya ke dalam kategori kajian fiqh lughah. [9]  Diantara tema-tema yang dibahas Ibn Jinni adalah tentang : Ashl al-Lughah, Al-Athrad wa al-Syuzudz, Maqayis al-Arabiyah, Ma’ani al-Alfaz fi al-Lughah, Ta’lil al-Zawahir al-Lughawiyah, al-Qiyas fi kalam al-Arab, Tarakkub al-Lughah, Ikhtilaf al-Lahjat, al-Istiqaq, al-Isytirak, al-Thudhat, dan al-Taraduf.[10]    
Pada abad ke-10 Hijriah, Jalaluddin al-Suyuti menulis pula sebuah buku yang bejudul al-Muzhir fi Ulum al- Lughah wa Anwa’iha, yang juga mengkaji masalah-masalah kebahasaan (fiqh lughah), sementara pada abad ke -11 Hijriyah muncul pula sebuah buku yang berjudul Syifa’ al-Ghalil Fima fi Kalam al-Arab Min al-Dakhil yang ditulis oleh Syihab al-Din al-Khafaji. Kemudian pada abad ke -13 Hijriyah muncul pula Ahmad Faris al-Syidyaq yang nenulis buku dengan judul Sirru al-Layal fi al-Qalb wa al-Ibdal, yang membahas tentang al-‘Alaqah baina Ashwat al-kalimah wa Ma’aniha, Dilalah al-huruf fi ‘al – Alfaz ‘ala al-Ashl al-Ma’nawi, Irja’ al-kalimat dan lain sebagainya.[11]
Uraian di atas dapat menjelaskan bahwa istilah fiqh lughah setelah masa al-Tsa’alibi, tidak lagi digunakan oleh para ulama dalam kajian-kajian kebahasaan sebagaimana para pendahulunya, seperti Ibn Faris dan al-Tsa’alibi, akan tetapi model-model kajian mereka lebih  mengerucut dan fokus kepada spesifikasi-spesifikasi tertentu yakni tentang tema-tema atau topik-topik khusus yang yang ada dalam medan fiqh lughah itu sendiri. Jadi setelah al-Tsa’alibi hampir-hampir istilah fiqh lughah itu tenggelam dan tidak pernah muncul lagi dalam karya-karya para ulama selama sekian abad. Pada abad modern istilah ini muncul lagi dalam khazanah kajian kebahasaan di kalangan Arab,yakni sekitar abad ke-20, yang dipopulerkan oleh Ali Abd al- Wahid Wafi dengan menulis buku yang berjudul Fiqh al-Lughah.[12]
Dalam kajian –kajian kebahasaan yang dilakukan oleh ulama mutaakhirin dari kalangan Arab ini masih terikat kepada model kajian kebahasaan dari ulama dulu (salaf). Oleh karena itu, Tammam Hassan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fiqh al-Lughah oleh ulama-ulama  terdahulu (qudama’) maupun ulama-ulama sekarang (al-muhdatsun) dari kalangan Arab adalah di satu sisi, menyangkut kajian tentang al-matn (kosakata), kajian tentang komparasi antara bahasa-bahasa semitik (al-muqaranah al-samiyah), kajian tentang perbedaan dialek (ikhtilaf al-lahjat), tentang bunyi (ashwat), sementara disisi lain adalah kajian tentang lingistik modern.[13]

2.     Ilmu Lughah dan Fiqh Lughah
Terdapat beberapa nama yang biasa digunakan oleh para ahli  bahasa untuk menamai ilmu yang berurusan dengan bahasa.  Banyaknya nama itu disebabkan oleh banyaknya ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya. Menurut Sudaryanto (1996) minimalnya ada lima macam ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, yaitu:[14]
a.      Ilmu tentang bahasa atau ilmu-ilmu tentang aspek-aspek bahasa. Dalam hal ini bahasa digunakan dalam arti harfiah;
b.     Ilmu atau ilmu-ilmu tentang bahasa. Dalam hal ini bahasa digunakan dalam arti metaforis;
c.      Ilmu atau ilmu-ilmu yang salah satu dasarnya bahasa. Kadang dalam hal ini bahasa menjadi dasar utama;
d.     Ilmu atau ilmu-ilmu tentang pendapat mengenai bahasa, dan
e.      Ilmu atau ilmu-ilmu tentang ilmu bahasa atau ilmu-ilmu mengenai ilmu bahasa.
Dari kelima macam ilmu yang disebutkan di atas, poin  “a” lebih memfokuskan “bahasa” sebagai objek kajiannya, yaitu ilmu tentang bahasa atau ilmu-ilmu tentang aspek-aspek bahasa. Ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya ini –di Indonesia dan juga di dunia Arab-  dikenal dengan berbagai nama.




Di antara nama-nama yang biasa digunakan adalah, ilmu bahasa, tata bahasa, grammar, dan linguistik, dll (lihat Chaer, 1994). Sedangkan di dunia Arab digunakan istilah ilmu al-lughah (علم اللغة), al-Lisaniyat(اللسانيات) , al-Lughawiyat(اللسانيات) , al-Alsuniyah (الألسنية) , fiqh al-lughah(فقه اللغة) , al-Filulujia(الفلولوجيا), untuk menyebut ilmu yang membahas bahasa (lihat Qodur, 1993 dan 1996; Abdu Tawab, 1996; Abu Alfaraj, 1966; Imil Badi, 1982; Tamam Hasan, 1982; Fahmi Hijazy, 1973; Abdu Shabur Sahin, tt).[15]
Di bawah ini akan dikemukakan sisi-sisi persamaan dan perbedaan antara Ilmu al-lughah (علم اللغة) dan Fiqh al-Lughah (فقه اللغة)
a.      Ilmu al-lughah
Frase ‘ilmu al-lughah (علم اللغة), terdiri dari dua kata; ‘ilm (علم) dan lughah (اللغة). Secara etimologis, ‘ilm (علم) berarti ‘ilmu’, dan lughah (لغة) berarti ‘bahasa’. Jadi secara etimologis ‘ ilmu al-lughah (علم اللغة) = pengetahuan tentang bahasa atau disebut juga dengan ilmu bahasa.
Istilah lisaniyat (اللسانيات) dan alsuniyah (الألسنية) masing-masing diderivasi dari nomina lisan (لسان) ‘lidah’ atau ‘bahasa’. Sedangkan istilah ‘lughawiyat (اللغويات), diderivasi dari nomina lughah (لغة) ‘bahasa’. Morfem (sufiks) –yat (يات) yang melekat pada akhir kata-kata itu bermakna ‘mengenai/tentang’ dan menunjukkan makna ‘ilmu’ (keilmuan) sebagai akibat dari penisbatan. Ketiga istilah terakhir (lisaniyat, alsuniyah, dan lughawiyat) merupakan istilah lain yang maknanya dan pemakaiannya sepadan dengan istilah ilm al-lughah.[16]


Secara terminologis, term ilmu al-lugah, oleh linguis Arab didefinisikan sebagai berikut.[17]
1.   هُوَ اْلعِلْمُ الَّذِي يَبْحَثُ فِي اللُّغَةِ, وَ يَتَّخِذُهَا مَوْضُوْعًا لَهُ, فَيَدْرُسُهَا
 مِنْ نَاحِيَةٍ وَصْفِيَّةٍ وَتَارِيْخِيَةٍ وَ مُقَارَنَةٍ
Ilmu al-lughah adalah ilmu yang mengkaji bahasa untuk bahasa, baik secara sinkronis[18], diakronis (bersifat historis), maupun komparatif). (Tawab 1982: 7)
2.   العِلْمُ الَّذِي يَدْرُسُ اللُّغَةَ  اْلإِنْسَانِيَّةِ دِرَاسَةً عِلْمِيَّةً تَقُوْمُ عَلَى الْوَصْفِ
 وَ مَعَايَنَةِ اْلوَقَائِعِ, بَعِيْدًا عَنِ النَّزْعَةِ التَّعْلِيمِيَّةِ وَ اْلأَحْكَامِ  الْمِعْيَارِيَّةِ.
          … adalah ilmu yang mengkaji bahasa secara ilmiyah dan berdasar pada metode deskriptif guna mengungkap fakta kebahasaan secara apa adanya tanpa melibatkan unsur preskriptif.” (Qadur 1996: 11)

2. Fiqh al-Lughah
Pengertian Fiqh AL-Lughah, Fiqh Al-lughah menurut bahasa terdiri dari dua kata yaitu kata al-fiqh yang berarti pemahaman dan al-lughah berarti bahasa jadi arti Fiqh Al-Lughah adalah pemahaman tentang bahasa. (Emil  Badi Yaqub, Fiqh Al-Lughah al-arabiyah Wa Khashaisuha, Dar al Tsaqofah Islamiyah).[19] Dalam kamus bahasa Arab kata Al-Fiqh berarti ilmu dan fahmu[20], jadi Fiqh Al-Lughah bisa di artikan ilmu tentang bahasa.
Sedangkan Fiqh al Lughah menurut istilah, para ulama ahli bahasa memberikan defenisi yang berbeda-beda. Fiqh Al-Lughah merupkan sebuah kajian tentang perbandingan bahasa Arab dan bahasa-bahasa samiyah lainnya.[21]  
Sedangkan menurut Abd Tawwab menjelaskan bahawa Fiqh Al-Lugahah adalah ilmu yang mempelajari  rahasia bahasa, perkembangan bahasa, dan kajian fenomena bahasa yang berbeda-beda ditinjau dalam kajian sejarahnya maupun penjelasan tentang bahasa itu. (Ramdan Abu Tawwab, Fushul Fil Fiqh Al-Lughah,  Maktabah , Arabiyah Qahirah, 1992, hal 10).[22]
Berdasarkan definisi di atas arti dari Fiqh Al-Lughah adalah ilmu yang mengkaji bahasa dari segi perkembangan, makna lafazh, bentuk lafazh yang didasarkan pada kajian sejarah dan perbandingan dari bahasa-bahasa tersebut.
Sementara itu mengenai istilah Fiqh Al-Lughah orang Arab tidak mengetahuinya kecuali akhir abad keempat Hijriyah ketika Ahmad bin Faris menyebutkan salah satu nama kitabnya:
فقه اللغة العربية وسنن العرب في كلا مها[23]
Kemudian di ikuti oleh Tsa'libi yang menyusun kitab yang diberinama    أسرارالعربة فقه اللغة و . Penamaan kedua kitab ini dengan Fiqh Al-Lughah oleh Ibnu Faris fan Tsa'libi itu juga bukan berarti mengkhususkan bagi sebuah disilin ilmu kebahasaan tetapi itu hanya sebagai pilihan saja antara dua istilah yaitu Ilmu Lughah atau Fiqh Al-Lughah.

Polemik antara fiqh lughah dan Fiqh lughah terjadi karena ketika term linguistik -yang secara harfiyah dapat diterjemahkan menjadi ilm al-lughah- dikenal oleh para linguis Arab, mereka sudah terlebih dahulu mengenal term fiqh lughah. Fiqh lughah sebagai sebuah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, telah muncul di dunia Arab sejak abad ke-4 H. atau sekitar abad ke 10 M. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat mengenai identik atau tidaknya antara ilmu lughah dengan fiqh lughah.[24]
Kamal Basyar membedakan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah. Sedangkan  Subhi Shalih menyamakan kedua istilah itu. Sementara Abduh al-Rajihi, yang juga termasuk linguis Arab modern, membedakan antara kedua istilah itu. Al-Rajihi  menukil apa yang dikatakan Juwaidi (Guidi), bahwa kata filologi sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[25]
Dengan demikian, secara dikotomis ada dua kubu mengenai masalah ini. Kubu pertama mengidentikkan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah, sedangkan kubu kedua membedakan kedua istilah itu. Alasan kelompok pertama sebagaimana adalah sebagai berikut[26].
1.     Secara etimologis kedua istilah itu sama. Dalam kamus Arab ditemukan bahwa
الفِقْهُ = العِلْمُ بِالشَّيْءِ وَ اْلفَهْمُ لَهُ. الفِقْهُ فِي اْلأَصْلِ اْلفَهْمُ لَهُ.
الفِقْهُ = الْفَهْمُ وَ اْلفِتْنَةُ وَ اْلعِلْمُ.
Jadi, kata al-fiqh (الفقه) = al-’ilm (العلم) dan kata  faquha (فقهاء) = ‘ulama (علماء). Hanya saja pada penggunaannya kemudian, kata al-fiqh lebih didominasi oleh bidang hukum. Dengan demikian frase ilm lughah sama dengan frase fiqh lughah.
Secara terminologis, ilmu al-lughah (علم اللغة)  adalah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau telaah ilmiah mengenai bahasa seperti yang telah dikemukaan di atas. Sedangkan filologi “hubbub al-kalam li ta’miq fi dirasatihi min haistu qawaidihi wa usulihi wa tarikhihi. (Subhi Shalih).[27]

2.     Objek kajian kedua ilmu itu sama, yaitu bahasa.
Kesamaan objek kajian kedua istilah di atas terbukti dengan adanya beberapa buku yang menggunakan judul fiqh lughah yang isinya membahas masalah bahasa. Di antara buku dimaksud adalah ‘Asshaiby fi fiqh al-lughah wa sunani al-Arab fi kalamiha karya Ahmad Ibnu Faris (395 H),  ‘fiqh al-lughah wa sirru al-Arabiyyah karya Assa’alaby (340 H), fiqh al-lughah karya Ali Abdul Wahid Wafi (1945), buku ‘Dirasaat fi Fiqh al-Lughah’ karya Muhammad Almubarak (1960) dll.
Dari di atas, dapat dipahami bahwa fiqh al-lughah sama dengan ilmu al-lughah, dan tidak sama dengan filologi yang dipelajari di Barat. Dan bila para linguis mengumandangkan bahwa karakter linguistik adalah (1) menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, (2) menggunakan metode deskriptif, (3) menganalisis bahasa dari empat tataran, dan (4)  bersifat ilmiah, maka semua kriteria itu  terdapat pada studi bahasa Arab yang dilabeli fiqh al-lughah itu. Oleh sebab itu, bagi penganut pendapat di atas, fiqh lughah sama dengan ilmu lughah.
Adapun alasan kelompok yang membedakan antara fiqh al-lughah dengan ilmu al-lughah adalah sebagai berikut.[28]
1.     Cara pandang ilm al-lughah terhadap bahasa berbeda dengan cara pandang fiqh al-lughah. ilm al-lughah memandang/mengkaji bahasa untuk bahasa, sedangkan fiqh al-lughah mengkaji bahasa sebagai sarana untuk mengungkap budaya.
2.     Ruang lingkup kajian fiqh al-lughah lebih luas dibanding ilmu al-lughah. Fiqh luggah ditujukan untuk mengungkap aspek budaya dan sastra. Para sarjananya melalukan komparasi antara satu bahasa dengan bahasa lain. Bahkan membuat rekonstruksi teks-teks klasiknya guna mengungkap nilai-nilai budaya yang dikandungnya. Sedangkan ilmu al-lughah hanya memusatkan diri pada kajian struktur internal bahasa saja.
3.     Secara historis, istilah fiqh al-lughah sudah lebih lama digunakan dibanding istilah ilmu al-lughah.
4.     Sejak dicetuskannya, ilmu al-lughah sudah dilabeli kata ilmiah secara konsisten, sedangkan fiqh al-lughah masih diragukan keilmiahannya.
5.     Kebanyakan kajian fiqh al-lughah bersifat historis komparatif, sedangkan ilmu al-lughah lebih bersifat deskriptif sinkronis.
Kelompok yang membedakan kedua term di atas, dipengaruhi oleh anggapan bahwa fiqh lughah sama dengan filologi.
Ada linguis yang mengatakan bahwa ilmu al-lughah mengakaji bukan saja bahasa Arab, tetapi juga bahasa lain (ini yang disebut linguistik umum). Sedangkan fiqh al-lughah hanya mengakaji bahasa Arab. Oleh sebab itu, di antara para linguis Arab ada yang mengatakan bahwa fiqh lugah adalah ilmu al-lughah al-arabiyyah (linguistik bahasa Arab). Term terakhir ini digunakan sebagai judul buku oleh Mahmud Fahmi Hijazy.[29]
Ramdlan Abdut Tawab dalam Fushul fi Fiqh al-Arabiyyah (1994) mengatakan “Term Fiqh al-Lughah sekarang ini digunakan untuk menamakan sebuah ilmu yang berusaha untuk mengungkap karakteristik bahasa Arab, mengetahui kaidah-kaidahnya, perkembangannya, serta berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa ini baik secara diakronis maupun sinkronis.”

3.     Metode penelitian dalam Fiqh al-Lughah
Bahasa sebagai objek kajian dalam Fiqh al-Lughah mengalami perkembangan, dimana pada abad ke-19 dalam mempelajari para ulama memakai teori pendekatan historis[30]. Sehingga dapat tergambar perkembangan bahasa disetiap masa.
Namun pada akhir abad ke-19 mulai bergeser pemahaman tentang “bahasa”, baik secara sifat (tabi’at), fungsi bahkan studi pendekatannya yang dilakukan oleh para pakar dari barat terutama ketika mereka mengadakan studi bahasa-bahasa dunia[31], dengan menggunakan beberapa pendekatan, di antaranya:
a.      Metode Pendekatan Deskriptif ( منهج الوصفي )
Pendekatan deskriptif mengakji secara ilmiah suatu bahasa atau dialek pada masa tertentu dan tempat tertentu. Ini berarti lingustik deskriptif mengkaji satu tataran bahasa dari aspek fonologi, morfologi dan sintaksis,[32] penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa saja yang berlaku. Dengan kata lain, penelitian deskriptif  bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi pada waktu itu.[33]
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 tidak ada konsep yang jelas untuk dapat menkaji satu bahasa atau dialek secara ilmiah dan akurat. Akan tetapi, F. De Saussure dengan kajiannya tentang teori dan fungsi bahasa membuktikan kemungkinan mengkaji bahasa secara deskriptif atau historis.[34] Dengan demikian para linguis mulai mengembangkan metode penelitian untuk menganalisis konstruksi bahasa.


Setiap bahasa dan dialek tersusun dari bunyi-bunyi bahasa yang tersusun dalam kata-kata; dari kata-kata itu tersusunlah kalimat untuk menyatakan berbagai makna. Perdebatan antara bahasa dan dialek merupakan perbedaan yang tidak lahir dari konstruksi bahasa. Akan tetapi ia didasarkan pada asas bidang-bidang pemakaian.[35]
Di antara contoh-contoh konstruksi kalimat yang dikaji melalui metode deskriptif adalah jumlah ‘arabiyah (kalimat bahasa arab) dalam sya’ir Jahili, jumlah khabariyah (kalimat berita) dalam alquran, jumlah thalabiyah (kalimat permohonan) dalam kitab al-Ashma’i, jumlah syarihiyah (kalimat kondisional) menurut orang-orang Hudzail, jumlah istifham (kalimat tanya), natsar(prosa) Arab modern.

b.     Metode Pendekatan Histori ( التاريخي منهج )
Pendekatan historis adalah pendekatan yang terlihat pada bahasa dalam hal perkembangannya, dan perubahannya terhadap sejarah.[36] Pendekatan historis, bertujuan untuk mendeskripsikan kejadian pada masa lampau.[37] Pendekatan historis mengkaji perkembangan sebuah sebuah bahasa lewat beberapa masa atau dengan makna yang lebih akurat, ia mengkaji perubahan dalam sebuah bahasa sepanjang masa. Ada para linguis yang menolak kata perkembangan dalam rangka ini, karena dianggap mengandung indikasi peningkatan, yaitu perubahan ke arah yang lebih baik. Sejarah bahasa termasuk di dalamnya; aspek fonologi[38], morfologi[39], sintaksis[40], dan semantik. Ini artinya kajian perkembangan sistem fonologi bahasa Arab fushah merupakan kajian fonologi historis.
Perkembangan konstruksi morfologi dan sarana pembentukan kosakata dalam bahasa Arab selama beberapa abad termasuk kajian morfologi historis. Dan perkembangan jumlah syarthiyah (kalimat syarat) atau jumlah istifham (kalimat tanya) dalam bahasa Arab fushah termasuk kajian sintaksis historis.
Kamus historis yang membukukan sejarah kehidupan setiap kata dalam bahasa itu termasuk teks yang paling klasik yang dibawanya dengan menelusuri perkembangan maknanya lewat perjalanan sejarah merupakan bagian linguistik historis. Sejarah fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal suatu bahasa termasuk dalam bidang kajian bahasa historis. Sintaksis historis dan leksikal historis termasuk komponen dalam linguistik historis. Sejarah bahasa dengan segala aspeknya utuh yang berfungsi untuk memberikan gambaran yang jelas tentang sejarah kehidupan bahasa. Kajian ini tidak terbatas pada perubahan struktur bahasa dari aspek fonologi, aspek morfologi, aspek sintaksis, dan aspek leksikal, melainkan juga mengkaji tataran-tataran pemakaian bahasa diberbagai lingkungan dan perubahan yang demikian itu lewat segala zaman.

c.      Metode Pendekatan komparatif ( المقارن منهج )
Pendekatan komparatif mengkaji sekelompok bahasa yang berasal dari satu rumpun bahasa melalui studi komparatif. Lingustik komparatif merupakan metode linguistik modern yang paling lama. Objek komparatif adalah mengkaji fenomena fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal dalam bahasa-bahasa yang berasal dari satu rumpun bahasa atau salah satu cabang dari satu rumpun bahasa[41]. Oleh karena itu, metode linguistik komparatif didasarkan pada prinsip klasifikasi bahasa ke dalam rumpun-rumpun bahasa.
Kekerabatan antara bahasa belum dikenal secara ilmiah dan akurat sampai ditemukan bahasa sangsekerta di India. Bahasa Sangsekerta telah dibandingkan dengan bahasa Yunani dan bahasa Latin. Dari komparasi ini terbukti adanya kekerabatan bahasa antara bahasa ini, dan hal itu merujuk ke asal yang lama dan musnah. Sedikit demi sedikit kajian bahasa telah mencapai kemajuan. Dibandingkan berbagai bahasa Eropa, bahasa Iran (persia), dan bahasa India[42]. Dengan perbandingan-perbandingan ini, terbukti bahwa banyak bahasa yang mengandung aspek-aspek kemiripan dalam bentuk dan leksikal. Dengan demikian, jelaslah rambu-rambu rumpun bahasa yang besar dan mencakup banyak bahasa India, Iran, dan Eropa. Para linguis mengistilahkan rumpun bahasa dengan nama rumpun bahasa Indo-Eropa.

d.     Metode Pendekatan kontrastif ( التقابلي منهج )
Linguistik kontrastif adalah pengkontrasan antara dua sistem bahasa yang berbeda, yaitu sistem bahasa pertama dan sistem bahasa sasaran[43]. Menghindari permakaian kata muqarana (komparasi) agar linguistik kontrastif tidak bercampur dengan linguistik komparatif. Linguistik komparatif membandingkan bahasa-bahasa yang berasal dari satu rumpun bahasa. Pada mulanya ia mementingkan pemakaian yang paling klasik dalam bahasa-bahasa ini untuk sampai pada bahasa yang menghasilkan semua bahasa[44]. Oleh karena itu, linguistik komparatif mempunyai tujuan historis yang berupa mengungkap aspek-aspek dari masa lalu yang jauh. Adapun linguistik kontrastif tidak berurusan dengan perhatian historis; kajiannya mempunyai tujuan aplikatif dalam pengajaran bahasa.

Objek kajian linguistik kontrastif metode linguistik yang baru adalah pengkontrasan antara dua bahasa atau dialek atau bahasa dan dialek, yaitu antara dua tata bahasa yang sesama. Linguistik kontrastif  bertujuan membuktikan perbedaan-perbedaan antara dua tataran. Oleh karena itu, ia pada prinsipnya mengacu pada linguistik deskriptif. Apabila kedua bahasa itu terdeskripsikan secara cermat melalui satu metode bahasa, maka setelah itu keduanya dikaji melalui kontrastif.
Linguistik kontrastif merupakan cabang linguistik baru; ia lahir setelah perang dunia kedua. Linguistik kontrastik berdasarkan pada gagasan yang sederhana. Tidak diragukan lagi bahwa banyak orang yang mempelajari bahasa asing atau mengajarkan yang dipahaminya. Kesulitan yang dihadapi oleh pembelajar bahasa asing yang mulanya berkaitan dengan perbedaan-perbedaan antara bahasa asing dan bahasa ibu. Istilah bahasa ibu atau bahasa pertama digunakan pada bahasa tempat dibesarkannya seseorang atau bahasa yang ia peroleh sejak kanak-kanak, baik di lingkungannya, dalam hubungan keluarganya, maupun dalam hubungan sosial setempat[45].
Sebaliknya, istilah bahasa kedua menyatakan bahasa yang diperoleh manusia sesudah bahasa ibu. Tentu, termasuk dalam hal ini semua bahasa asing yang diperoleh manusia pada berbagai jenjang pendidikan atau ketika bergaul lansung dengan para penutur asli.
Kajian kontrastif tidak terbatas pada kajian perbedaan antara dua bahasa, tetapi dapat juga antara dialek lokal dan fushah yang dicari. Kesulitan yang terjadi, yang dihadapi oleh para penutur dialek itu dalam upaya pemerolehan bahasa fushah – pada mulanya- diakibatkan oleh perbedaan- perbedaan antara dialek dan bahasa.




C.    Penutup
a.      Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
1.     Para ulama terdahulu memakai istilah al-lughah dengan fiqh al-lughah. Pada zaman itu ada dua istilah yaitu al-Lughah dan istilah al-‘arabiyah.
2.     Pada perkembangan selanjudnya ditemui istilah Fiqh al-lughah dan ilmu al-lughah, kedua istilah ini ada pendapat yang mengatakaan sama, dan pendapat lain membedakannya, maka Fiqh al-lughah mengakaji tentang bahasa Arab, sedangkan Ilmu al-lughah mengakaji bukan saja bahasa Arab, tetapi juga bahasa lain. Sedangka Term Fiqh al-Lughah sekarang ini digunakan untuk menamakan sebuah ilmu yang berusaha untuk mengungkap karakteristik bahasa Arab, mengetahui kaidah-kaidahnya, perkembangannya, serta berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa.
3.     Metode pendekatan yang digunakan para ahli bahasa dalam mengkaji tentang “bahasa” adalah:
a)     Metode Pendekatan Deskriptif ( منهج الوصفي )
b)     Metode Pendekatan Histori ( التاريخي منهج )
c)     Metode Pendekatan komparatif ( المقارن منهج )
d)     Metode Pendekatan kontrastif ( التقابلي منهج )
b.     Saran
Penulis berharap dengan pembahasan dalam makalah ini yang terbatas penjelasannya, dapat memotifasi pembaca untuk lebih menelusuri pada sumber-sumber yang terkait dengan pembahasan ini.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Tsa’alibi,  Abu Mansur, Fiqh Lughah wa Sirr al-Arabiyah, Beirut : Syirkah Dar al- Arqam, 1999
Al-Tawwab, Ramadhan Abd, Fushul Fi Fiqh al-Arabiyah,Kairo : Maktabah al-Khaniji, 1979
Al-Shaleh, Shubhi, Fiqhi al-Lughah, Bairut: al-maktabah al-ahliyah, tt
http://jasapembuatanweb.co.id/bahasa/2011/antara-fiqh-lughah-dan-ilmu-lughah.html
Hijazi, Mahmud Fahmi, Ilmu al-Lughah al-Arabiyah : Madkhal Tarikhi Muqoran fi Dhaw al- Turast wa al-lughat al-Samiyah, Kairo : Dar Gharib li al-Thiba’I wa al-Naysr wa al-Tawzi, tt
Hassan, Tammam,  al-Ushul : Dirasah Epistimulijiyah li al-Fikr al-Lughawi ‘Inda al-Arab, Kairo : al-Hai’at al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitab, 1982
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR_PEND._BAHASA_ARABWAGINO_HAMBANI?/04,pengantar-linguitik.pdf
http://dedeyahya.com/2012/10/fiqh-al-lughah-dalam-pandangan-ullama.html
Hanif, Akhyar, Fiqh Lughah Refleksi Pemikiran Kebebasan Jalaluddin al-Syuthi, STAIN Batu Sangkar Press, 2010
Ibn Jinni, Abu Fath ‘Usman, al-Khasaish, Kairo : al-Mathba’ah al- Hilal,
Munawwar, A.W,  Al-Munawwir Arab Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Profosal, Jakarta: Bumi Aksara, 1990
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998
Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008
Syah, Djalinus, dkk., Kata Serapan  Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1992
Tawwab, Ramadhan Abdul, Almadkhal Ilal Ilmu Lughah wa Manhaj Albahtsil Lughah, Bairut: 1997
Yasin, Muhammad Husain Ali, al- Dirasat al-Lughawiyah ‘Inda al-arab Ila Nihayah al-Qarn al-Tsalis, Beirut :  Mansyurat Dar-Maktabah al-Hayat, 1980
Ya’kub,  Amil Badi’,  Fiqh al-Lughah al-Arabiyah Wa Khasaisuha, Beirut : Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1982



[1]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), h. 119.
[2] Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 83.
[3] Muhammad Husain Ali Yasin,al- Dirasat al-Lughawiyah ‘Inda al-arab Ila Nihayah al-Qarn al-Tsalis, (Beirut :  Mansyurat Dar-Maktabah al-Hayat, 1980), h. 78.
[4] Ibid., h. 22
[5] Abu Mansur al-Tsa’alibi, Fiqh Lughah wa Sirr al-Arabiyah, (Beirut : Syirkah Dar al- Arqam, 1999),
[6] Mahmud Fahmi Hijazi, Ilmu al-Lughah al-Arabiyah : Madkhal Tarikhi Muqoran fi Dhaw al- Turast wa al-lughat al-Samiyah, (Kairo : Dar Gharib li al-Thiba’I wa al-Naysr wa al-Tawzi, tt), h.66
[7] Amil Badi’ Ya’kub,  Fiqh al-Lughah al-Arabiyah Wa Khasaisuha, (Beirut : Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1982), h. 40
[8] Ramadhan Abd al-Tawwab, Fushul Fi Fiqh al-Arabiyah,(Kairo : Maktabah al-Khaniji, 1979), h. 9
[9] Amil Badi’ Ya’kub, op.cit,h. 40
[10] Abu Fath ‘Usman Ibn Jinni, al-Khasaish, ( Kairo : al-Mathba’ah al- Hilal, 1913), h. 40, 96,109, 215,200,357, 374
[11] Muhammad Husain Ali Yasin. Op.cit,h. 430
[12] Ali Abd al-Wahid Wafi, Fiqh al-Lughah,(Kairo : Dar al-Nahdah Mishr li Thab’i wa al-Nasyr, 1945), h. 4
[13] Tammam Hassan,  al-Ushul : Dirasah Epistimulijiyah li al-Fikr al-Lughawi ‘Inda al-Arab,( Kairo : al-Hai’at al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitab, 1982), h. 276
[14] http://jasapembuatanweb.co.id/bahasa/2011/antara-fiqh-lughah-dan-ilmu-lughah.html
[15]Ibid.
[16] Ibid.
[17]Ibid.
[18]Berkaitan dengan bahasa, adat istiadat dan sebagainya pada waktu tertentu, lihat Djalinus Syah, dkk., Kata Serapan  Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 211.
[19] http://dedeyahya.com/2012/10/fiqh-al-lughah-dalam-pandangan-ullama.html
[20]A.W. Munawwar, Al-Munawwir Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1067.
[21]Tammam Hassan, Op., Cit., h. 259
   [23] Ibid.
[25]Ibid.
[26]Amil Badi’ Ya’kub,  Op., Cit., h. 28-36
[28] Amil Badi’ Ya’kub,  Op., Cit., h. 33-36.
[30]Shubhi al-Shaleh, Fiqhi al-Lughah, (Bairut: al-maktabah al-ahliyah, tt), h. 7.
[31]Akhyar hanif, Fiqh Lughah Refleksi Pemikiran Kebebasan Jalaluddin al-Syuthi, (STAIN Batu Sangkar Press, 2010), h. 86.
[32]Ramadhan Abdul Tawwab, Almadkhal Ilal Ilmu Lughah wa Manhaj Albahtsil Lughah, (Bairut: 1997), h. 181-182.
[33] Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Profosal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), h. 26.
[34]Ibid.
[35]http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR_PEND._BAHASA_ARABWAGINO_HAMBANI?/04,pengantar-linguitik.pdf
[36]Ibid.
[37]Mardanis, Op.,Cit., h. 25.
[38]Ilmu tentang bunyi bahasa, terutama yang mencakup sejarah dan teori perubahan bunyi, lihat Djalinus Syah, dkk., Op., Cit., h. 60.
[39]Ilmu tentang pembentukan kata yang dalam setiap jenis bahasa terjadi menurut penutur-penuturnya sendiri, Ibid., h. 126.
[40]Cabang linguistik yang membahas susunan kata dan kalimat; ilmu tata bahasa, Ibid., h. 212.
[42] Ibid.
[43] Ibid

Komentar

Postingan Populer