TAWASSUL DALAM PANDANGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH



Taushiyah

TAWASSUL DALAM PANDANGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH

Oleh:
Eri Gusnedi, P.St., M.A.


Ma'asyirol Muslimin rahimakumullah ...
Segala puji bagi Allah, Rabb dan sesembahan sekalian alam, yang telah mencurahkan kenikmatan dan karuniaNya yang tak terhingga dan tak pernah putus sepanjang zaman kepada makhluk-Nya. Baik yang berupa kesehatan, kesempatan sehingga pada kali ini kita dapat menunaikan kewajiban shalat Jum’at.
Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada pemimpin dan uswah kita Nabi Muhammad, yang melalui perjuangannyalah, cahaya Islam ini sampai kepada kita, sehingga kita terbebas dari kejahiliyahan, dan kehinaan. Dan semoga shalawat serta salam juga tercurahkan kepada keluarganya, para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Ma'asyirol Muslimin rahimakumullah ...

Khutbah kali ini mengambil sebuah judul
TAWASSUL DALAM PANDANGAN AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH
Ketahuilah bahwa tidak ada dalil yang hakiki yang menunjukan tidak diperbolehkannya tawassul dengan para nabi dan para wali Allah baik saat tidak hadirnya mereka maupun setelah mereka meninggal dengan alasan bahwa hal itu adalah ibadah kepada selain Allah. Padahal hanya memanggil orang yang hidup atau yang sudah meninggal, mengagungkan, meminta pertolongan kepada selain Allah, menuju kuburan seorang wali untuk mencari berkah, meminta sesuatu yang tidak biasanya terjadi di antara manusia atau mengucapkan kalimat minta tolong kepada selain Allah buakanlah perbuatan syirik. Karena definisi ibadah menurut ahli bahasa tidak berlaku bagi masalah-masalah di atas, sebab ibadah secara definitif ialah ketaatan yang disertai dengan ketundukan.
Al Azhari, salah seorang pakar bahasa terkemuka mengutip perkataan al Farra yang merupakan ahli bahasa paling mashur mengatakan: Ibadah dalam bahasa Arab ialah ketaatan yang disertai dengan ketundukan. (lihat Lisan al Arab, pada huruf Ain, ba, dal). Sebagian ahli bahasa lainnya mengatakan: Ibadah ialah puncak tertinmggi kekhusuan dan ketundukan. Sebagain lainnya mengatakan: ialah puncak kehinaan. Pendapat-pendapat inilah yang benar secara bahasa dan kebiasaan. Merendahkan diri saja --tidak sampai puncaknya-- bukan merupakan ibadah kepada selain Allah, karena bila demikian maka mereka yang merendahkan diri di hadapan para raja dan pembesar telah menjadi kafir. Padahal telah tetap adanya dalam sebuah hadits bahwa Muadz Ibn Jabal saat datang dari negeri Syam sujud di hadapan Rasulullah. Rasulullah bersabda: Apa yang engkau lakukan ini!. Muadz menjawab: Wahai Rasulullah saya melihat penduduk Syam sujud bagi para betrik dan uskup mereka pada engkau lebih utama dari mereka. Rasulullah bersabda: Jangan kamu lakukan ini, bila aku hendak memerintah seorang manusia sujud kepada manusia lainnya, maka akan aku perintahkan seorang wanita untuk sujud bagi suaminya. (H.R. Ibn Hibban, Ibn Majah dan lainnya)

PENGERTIAN TAWASSUL

Tawassul dalam pengertian syara adalah:
Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya.

Sebagian kalangan memiliki persepsi yang salah bahwa tawassul adalah memohon diciptakan manfaat dan dijauhkan dari mudlarat kepada seorang nabi atau wali dengan keyakinan bahwa yang mendatangkan bahaya dan manfaat secara hakiki adalah seorang Nabi atau wali tersebut, padahal yang dapat mendatangkan manfaat dan madlarat adalah Allah saja. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini kemudian membuat kelompok anti tawassul menghakimi orang yang bertawassul sebagai kafir musyrik. Padahal hakekat tawassul sesungguhnya di kalangan orang-orang yang bertawassul adalah memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau dihindarkan dari mara bahaya (keburukan) dari Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya.
Allah taala telah menetapkan bahwa biasanya urusan-urusan di dunia ini berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat. Sebagai contoh; Allah taala sesungguhnya maha kuasa untuk memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun namun kenyataannya tidak demikian. Allah memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Allah taala berfirman:
Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’” (Q.S. al Baqarah: 45)
Allah juga berfirman:
Dan carilah hal-hal yang (bisa) mendekatkan diri kalian kepada Allah (Q.S. al Mai-dah: 35)
Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, artinya carilah sebab-sebab tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu maka Allah akan mewujudkan akibatnya. Allah akan memenuhi permohonan-permohonan dengan sebab-sebab tersebut, padahal Ia maha kuasa untuk mewujudkan akibat-akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Dan Allah taala telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba, oleh karenanya kita bertawassul dengan para nabi dan wali dengan harapan agar dikabulkan permohonan kita oleh Allah.
Tawassul adalah sebab syari yang menyebabkan dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para nabi dan wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang bertawassul keyakinannya adalah bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali Allah. Para nabi dan para wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka. Ke sebab akibat tika seorang nabi atau wali masih hidup Allah yang mengabulkan permohonan hamba, demikian pula setelah mereka meninggal Allah juga yang mengabulkan permohonan hamba, bukan nabi atau wali itu sendiri. Sebagaimana orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah, meskipun keyakinannya pencipta kesembuhan adalah Allah sedangkan obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat dalam contoh ini adalah sabab aadi, maka tawassul adalah sabab syari. Seandainya tawassul bukan sebab syari, maka Rasulullah tidak akan mengajarkan seorang sahabatnya yang buta (yang datang kepadanya) agar bertawassul dengannya.

LANDASAN TAWASSUL

Di antara dalil dibolehkannya tawassul adalah sebagaimana dalam hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam mengajarkan kepada seorang buta untuk berdo'a dengan mengucapkan:

Ya Allah aku memohon dan memanjatkan do'a kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad, sesungguhnya aku memohon kepada Allah dengan engkau berkait dengan hajatku agar dikabulkan.
Orang tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah ini. Orang ini adalah seorang buta yang ingin diberi kesembuhan dari butanya, akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh Allah di belakang Rasulullah (tidak di majelis Rasulullah) dan kembali ke majelis Rasulullah dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat yang lain -yang menyaksikan langsung peristiwa ini, karena pada saat itu ia berada di majelis Rasulullah- mengajarkan petunjuk ini kepada orang lain pada masa khalifah Utsman ibn 'Affan semoga Allah meridlainya- yang tengah mengajukan permohonan kepada khalifah Utsman. Pada saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini. Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta pada masa Rasulullah tersebut. Setelah itu ia mendatangi Utsman ibn 'Affan dan akhirnya ia disambut oleh khalifah 'Utsman dan dipenuhi permohonannya. Umat Islam selanjutnya senantiasa menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ahli hadits juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al Hafizh at Thabarani beliau menyatakan dalam "al Mu'jam al Kabir" dan "al Mu'jam ash-Shaghir": "Hadits ini shahih"-, al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama muta-akhkhirin yang lain.
Hadits ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam pada saat Nabi masih hidup di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi setelah beliau wafat seperti diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman ibn Hunayf kepada tamu sayyidina Utsman, karena memang hadits ini tidak hanya berlaku pada masa Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang menasakhnya.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya dari Abu Sa'id al Khudri semoga Allah meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda:

Maknanya: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia berdo'a: "Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo'a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya dan sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku memohon kepada-Mu: selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya" (H.R. Ahmad dalam "al Musnad", ath-Thabarani dalam "ad-Du'a", Ibn as-Sunni dalam" 'Amal al Yaum wa al-laylah", al Bayhaqi dalam Kitab "ad-Da'awat al Kabir" dan selain mereka, sanad hadits ini dihasankan oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al 'Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).
Dalam hadits ini juga terdapat dalil dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Hadits ini adalah salah satu dalil Ahlussunnah Wal Jama'ah untuk membantah golongan Wahhabi yang mengharamkan tawassul dan mengkafirkan pelakunya.

Komentar

Postingan Populer