MAKALAH I'JAZUL AL-QUR'AN



I’JAZ AL-QURAN

I. Pendahuluan
Sudah menjadi kelaziman dari munculnya seorang Rasul dengan seruan agama baru untuk disertai dengan mukjizat. Dengan mu’jizat itu seorang Rasul baru diberdayakan oleh Allah untuk sanggup membalikkan pandangan umatnya yang sedang mengalamai fase keterkaguman dengan salah satu aspek kehidupan keduniaan, menuju jalan agama Allah yang lurus. Sejarah Nabi dan Rasul menunjukkan kebhinekaan corak mu’jizat yang tidak lain sebagai respon logis dari tuntutan realitas kehidupan umat.
Al-Quran adalah sebuah kitab samawi yang luar biasa. Segala fakta-fakta yang mencengangkan terhimpun dalam kitab ini. Uslub bahasanya tidak dapat dipungkiri kualitas dan keagungannya, yang tidak dapat dikalahkan oleh bangsa jin dan manusia. Sebagai mu’jizat dari Allah SWT tentunya al-Quran sangat menarik untuk didalami.
Dalam makalah ini penulis membahas tentang i’jaz al-Qur’an dengan membatasi pembahasan tentang pengertian i’jaz al-Qur’an, tahapan-tahapan i’jaz al-Qur’an, aspek-aspek kemu’jizatan al-Qur’an.
Pembahasan ini dengan mempergunakan buku sumber utama : Mabahits fi Ulum al-Quran karangan Manna al-Qathan, al-Tibyan fi Ulum al-Quran karangan Muhammad Ali al-Shabuni, Mabahits I’jaz al-Quran karangan Musthafa Muslim, Ulumul Quran karangan Nasruddin Umar, dan Mu’jizat al-Quran karangan M. Quraisy Shihab.

II. Pengertian
Secara etimologis kata  اعجاز(i’jaz) berasal dari akar kata عجز (‘ajzun) artinya tidak mampu/kuasa. Kata عجز adalah jenis kata yang tidak memiliki muatan aktifitas (pasif). Kemudian, kata ini dapat berkembang menjadi kata kerja aktif setelah melalui mekanisme tsulasi mazid harfan dengan penambahan alif  sesuai dengan wazan أفعل (af’ala) أعجز يعجز (a’jaza-yu’jizu) berarti melemahkan. Kata  اعجاز adalah mashdar dari kata kerja ini.[1]
الإعجاز : إثبات العجز وهو ضد القدرة, إذا ثبت الإعجاز ظهرت قدرة المعجز [2]
I’jaz adalah menetapkan lemah pada sesuatu dan i’jaz adalah lawan dari kuasa, apabila telah ditetapkan lemah maka zahir kuasa ma’jaz.
والمراد بالإعجاز : إظهار صدق النبي ص.م في دعوى الرسالة بإظهار عجز العرب عن معارضته في معجزته الخالدة – وهي القرآن.[3]
Yang dimaksud dengan i’jaz di sini adalah memperlihatkan kebenaran Nabi SAW dalam segi dakwah kerasulan dengan memperlihatkan kelemahan orang Arab menentangnya. Mu’jizat Nabi yang abadi adalah al-Qur’an.
Sedangkan kata Mu’jizat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ”kejadian ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia.” Sedangkan menurut bahasa Arab terambil dari kata a’jaza yang berarti “melemahkan atau menjadikan tidak mampu.” Pelakunya (yang melemahkan) dinamai mu’jiz dan kemampuannya melemahkan pihak lain yang luar sangat menonjol sehingga mampu membungkamkan lawan, maka ia dinamai mu’jizat. Tambahan tamarbuthah pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif).[4]

Mu’jizat menurut istilah adalah
أمر خارق للعادة مقرون بالتحدى سالم عن المعارضة[5]
Pebuatan yang luar biasa yang disertakan dengan bertanding secara damai dari orang yang menentangnya. Mengenai al-Qur’an Nabi pernah mengajak orang Arab itu bertanding. Ternyata mereka tidak sanggup menandinginya.

Adapun i’jaz al-Quran adalah kalimat berbentuk idhafi yang terdiri dari dua kata i’jaz dan al-Quran.
Ketika kata i’jaz ini disandarkan kepada kata al-Quran, maka sebenarnya bentuk penyandaran ini tidak keluar dari tiga kemungkinan.[6]
1.   Termasuk dalam bab idhafatul mashdar ila fa’ilihi (penyandaran masdar kepada subyeknya), menurut pendapat ini maka maf’ul bih (objek) dari kata i’jaz dibuang untuk menunjukkan universalitas objek tersebut. Adapun bentuk kalimat secara lengkap berdasarkan pendapat ini adalah i’jaz al-quran khalqallah ‘ani l-ityan bi Mitslihi (Pelemahan Al-Qur’an terhadap makhluk Allah dari mendatangkan sesuatu yang serupa dengan Al-Qur’an).
2.   Idhafah di sini menunjukkan makna min. Berdasarkan pendapat ini maka bentuk lengkap susunan kalimatnya adalah I’jaz Shadirun Min al-Quran (Mukjizat yang timbul dari Al-Qur’an)
3.   Susuna idhafah di sini menunjukkan makna ba’ sababiyah (kausalitas). Berdasarkan pendapat ini maka susunan lengkap kalimatnya adalah I’jaz Hashilun Bisababi al-Quran (Mukjizat yang terjadi sebab adanya Al-Qur’an)

Dari tiga kemungkinan yang timbul disebabkan penyandaran i’jaz dan al-Qur’an dapat dijadikan sebagai barometer untuk membuat sebuah pengertian i’jaz al-Qur’an yang meliputi : pelemahan Al-Qur’an terhadap makhluk Allah dari mendatangkan sesuatu yang serupa dengan Al-Qur’an, Mukjizat yang timbul dari Al-Qur’an, Mukjizat yang terjadi sebab adanya Al-Qur’an.

Adapun Al-Qur’an secara etimologi adalah bentuk mashdar dari qara’a yang berarti tala (membaca). Sedangkan Al-Qur’an secara terminologi adalah :
كلام الله, المنزل على محمد صلى الله عليه وسلم, المتعبد بتلاوته.[7]

Artinya :
Firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW, yang bernilai ibadah membacanya.

Jadi i’jaz al-Qur’an adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi fungsinya sebagai tanda kebenaran Nabi Muhammad SAW., penegasan terhadap risalah yang dibawanya seraya mencari sisi-sisi kemukjizatannya dan memberikan kanter terhadap wacana-wacana yang berusaha merongrong dan menggerogoti otentisitas al-Quran.[8]
Karena itu tidak heran jika ilmu ini menduduki posisi garda depan dalam kajian ulumul qur’an. Bahkan pembahasanya ini telah menjadi perhatian ulama dari generasi ke generasi dan akan selalu aktual disepanjang perjalanan zaman. Nilai aktualitas kajian i’jaz al-Qur’an ini disebabkan karena bersentuhan lansung dengan eksistensi sebuah kitab transendental yang menjadi panutan dan way of life  bagi anak manusia di dunia.
I’jaz al-Qur’an bukanlah dimaksudkan untuk melemahkan dan mematahkan argumentasi peragu-peragu risalah atau memperlihatkan pada manusia bahwa kemampuan mereka tidak signifikan sama sekali dihadapan keagungan al-Qur’an. Pengakuan manusia tentang kebenaran al-Qur’an dan risalah kerasulan Muhammad lah yang menjadi tujuan i’jaz al-Qur’an.[9]

Dari uraian di atas penulis  melihat bahwa Manna al-Qathan memberikan penjelasan dasar tentang pengertian i’jaz dan pengertian al-Qur’an pada bab yang berbeda dalam bukunya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, namun dalam buku yang berjudul Ulumul Quran karangan Nasruddin Umar penulis melihat bahwa Nasrudidin Umar telah berusaha menjelaskan i’jaz al-Quran dari segi lafaz yang terdiri dari mudhaf dan mudhafun ilaih dan dari pemahaman itu dapat disimpulkan bahwa i’jaz al-Qur’an adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi fungsinya sebagai tanda kebenaran Nabi Muhammad SAW., penegasan terhadap risalah yang dibawanya seraya mencari sisi-sisi kemukjizatannya dan memberikan kanter terhadap wacana-wacana yang berusaha merongrong dan menggerogoti otentisitas al-Quran.

III. Tahapan I’jaz al-Quran
Kebenaran sebuah mu’jizat belum teruji jika belum melakukan tantangan kepada umat manusia untuk mendatangkan hal yang serupa atau mirip dengan mu’jizat tersebut. Karena itulah  al-Qur’an dengan jelas telah menantang kepada orang Arab dan makhluk secara umum untuk membuat kitab yang sama, atau paling tidak mirib dengan al-Qur’an. Namun tantangan itu tidak mendapat sambutan yang memuaskan, bahkan beberapa orang kafir yang pernah mencoba menandingi al-Qur’an berbalik keyakinannya menjadi muslim yang tunduk dan meyakini keagungan al-Qur’an.[10]
Dalam rekaman ulama, paling tidak ada empat tahapa tantangan kepada manusia untuk mendatangkan atau menandingi al-Qur’an.[11]
1.      Tatangan untuk membuat kitab seperti al-Qur’an
Tantangan ini terekam dalam firman Allah SWT. :
أَمْ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ بَلْ لَا يُؤْمِنُونَ (33) فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ (34)
Artinya :
Ataukah mereka mengatakan: "Dia (Muhammad) membuat-buatnya." Sebenarnya mereka tidak beriman, Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar. (QS. Ath-Thur : 33-34).

Yang dimaksud dengan kata hadits pada ayat di atas adalah kitab yang serupa dengan al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. namun satupun tidak ada yang mampu menjawab tantangan itu.


2.      Tantangan untuk membuat sepuluh surat seperti al-Qur’an
Ketika tantangan untuk mendatangkan kitab seperti al-Qur’an tidak ada yang mampu melakukannya, maka tantangan itu kembali datang dengan kapasitas yang lebih ringan dari sebelumnya, yaitu mendatangkan sepuluh surat seperti surat yang ada dalam al-Qur’an. Tantangan itu terdokumentasi dalam firman Allah :
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ
 إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (13)
Artinya :
Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar." (QS. Hud : 13)
Lagi-lagi tidak ada yang mampu melayani tantangan untuk membuat sepuluh surat ini. Bahkan orang Arab yang terkenal dengan julukan ahli bahasa dan sastra itu pun tidak ada yang mampu menandinginya. 

3.      Tantangan untuk membuat satu surat seperti al-Qur’an
Tantangan ini terdapat dalam firman Allah SWT. dalam surat Yunus ayat 38 :
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (38)
Artinya :
Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar."

4.      Tantangan untuk membuat satu surat seperti al-Qur’an walaupun kesamaannya hanya pada sebagian saja.
Setelah tiga tahapan di atas tidak tertandingi maka tantangan pun diturunkan kapasitasnya yaitu mendatangkan satu surat yang menyerupai salah satu surat al-Qur’an walaupun bentuk kesamaannya itu hanya sebagian. Tantangan ini terlihat dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 23-24 :
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (23)
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ (24)
Artinya :
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.

Penggunaan redaksi min (مِنْ مِثْلِهِ) pada ayat di atas menunjukkan makna sebagian artinya datangkanlah satu surat walaupun surat itu tidak sama persis dengan surat al-Qur’an. Walaupun demikian tidak satupun yang mampu mendatangkan tantangan ini. Karena itulah dalam ayat yang ke-24 disebutkan bahwa usaha-usaha untuk menandingi al-Qur’an tidak akan dapat dilakukan.






Imam Qurtubi ketika menafsirkan ayat ke-24 :
  "قوله تعالى: "فإن لم تفعلوا" يعني فيما مضى "ولن تفعلوا" أي تطيقوا ذلك فيما يأتي.."[12]
mengatakan bahwa kalimat (فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا) manunjukkan ketidakmampuan makhluk menandingi al-Qur’an pada masa lampau. Dan kalimat (وَلَنْ تَفْعَلُوا) menunjukkan ketidakmampuan menadingi al-Qur’an pada masa-masa yang akan datang.

Demikianlah ayat-ayat tahaddid (tantangan) telah dihadirkan secara jelas dengan redaksi dan model yang berfariasi, namun satupun tidak ada yang mampu menjawab tantangan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa al-Qur’an adalah mu’jizat yang nyata.

III. Aspek-aspek Kemu’jizatanan al-Quran
Dalam menyikapi aspek-aspek kemu’jizatan al-Qur’an, terdapat perbedaan pandangan di kalangan para ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa seluruh al-Qur’an adalah mu’jizat, baik fashahah dan balaghah, maupun kandungannya. Sementara golongan yang lain mengatakan bahwa kemu’jizatan al-Qur’an itu hanya terletak pada kandungannya saja. Bahkan ada ahli yang lebih merinci aspek-aspek yang merupakan kemu’jizatan al-Qur’an.[13]
Manna al-Qathan[14] mengemukakan beberapa pendapat ulama tentang aspek ke-i’jaz-an al-Qur’an, yaitu :
1.       فذهب  أبو إسحاق ابراهيم النظام ومن تابعه كالمرتضى من الشيعة إلى أن إعجاز القرآن كان بالصِرفة, ومعنى
 الصِرفة في نظر النظام : أن الله صرف العرب عن معارضة القرآن مع قدرتهم عليها.
Menurut  Abu Ishak Ibrahim An Nizam dan pengikutnya seperti al-Murtadha dari golongan Syi’ah, katanya,- i’jaz al-Qur’an adanya dengan Shirfah. Arti Shirfah menurut Nizam,-Allah memalingkan orang Arab dari menantang al-Qur’an sekalipun mereka itu kuasa. 
2.       ذهب قوم إلى أن القرآن معجز ببلاغته
Menurut pendapat segolonga orang bahwa al-Qur’an itu ma’jaz segi balaghah. Dalam hal ini al-Qur’an sudah sampai ke tingkat yang tidak dapat dicontohkan. Pendapat ini adalah pendapat ahli bahasa Arab.
3.       وبعضهم يقول : إن وجه إعجازه في تضمنه البديع الغريب المخالف لما عهد في كلام العرب
Ada sebagian orang berkata sesungguhnya bentuk i’jaz itu dalam bentuk kadungan al-Qur’an itu badi’ yang aneh, berbeda dengan ucapan yang lazim dipakai bangsa Arab sendiri.
4.       ويقول آخرون بل إعجازه في الإخبار عن المغيبات المستقبلة التي لا يطلع عليها إلا بالوحى.
Ada pula yang mengatakan i’jaz al-Qur’an itu terletak pada berita-berita ghaib yang akan datang, yang tidak mungkin diketahui kecuali dengan wahyu.atau berita-berita tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlalu.
5.       ذهب جماعة إلى أن القرآن معجز لما تضمنه من العلوم المختلفة والحكم البليغة
Ada lagi yang berpendapat bahwa ma’jaz al-Qur’an itu karena mengandung bermacam-macam ilmu pengetahuan dan hukum

Muhammad Ali Shabuni dalam bukunya al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, menjelaskan secara umum, terdapat empat pendapat tentang aspek i’jaz al-Quran :[15]
1.      Menyatakan bahwa i’jaz al-Quran dapat terlihat dari konstruksi kebahasaannya yang khas sehingga sama sekali berbeda dengan konstruksi bahasa yang pernah dipakai orang-orang Arab.
2.      Menyatakan bahwa i’jaz al-Quran dapat terlihat pada fashahah alfaz-nya dan tingkat ke-balaghan kalimat-kalimatnya.
3.       Menyatakan bahwa i’jaz al-Quran dapat terlihat dari tidak adanya hal-hal yang kontradiktif dalam al-Qur’an, kesempurnaan makna dan pemberitaan ghaib yang tidak diketahui manusia sebelumnya.
4.      Menyatakan bahwa i’jaz al-Quran dapat terlihat pada keindahan bahasanya, gaya membuka, menyampaikan pesan dan gaya menutup surat. Oleh karena itu, pendapat keempat ini mencakup hal-hal sebagai berikut :
a.       Kefashihan lafaz (al-fashahah fi alfazh)
b.      Ke-balaghah-an makna (al Balaghah fi al-Ma’na)
c.       Keindahan bentuk (Shurah al Nizham fi al-Badi’)

Menurut Al-Razqani dalam bukunya Manahil al-Urfan fi Ulum al-Qur’an merinci aspek-aspek kemu’jizatan al-Qur’an hingga 14 aspek yaitu , bahasa dan ushlub, metode penyampaian, kandungan ilmu, strategi ishlah, pemberitaan ghaib, ayat teguran, bagian yang turun setelah masa penungguan yang panjang, keadaan nabi ketika turun wahyu, ayat al-Mubahalah (pelaknatan), ketidakmampuan rasul mengkaryakan sesuatu setaraf al-Qur’an, ayat-ayat yang sebenarnya dinisbahkan kepada Rasul, akan tetapi penisbahan itu tidak berbekas dalam alam pemikiran pembaca bahwa nisbahnya pada Rasul dan pengaruhnya terhadap hati.[16]
Menurut Musthafa Muslim dalam bukunya Mabahits fi I’jazul al-Qur’an menyatakan bahwa aspek i’jazul al-Qur’an hanya mencakup 4 hal saja yaitu, I’jaz al-Bayani, I’jaz al-Ilmi, I’jaz al-Tasyri’i dan I’jaz al-Ghayyibi.[17]

Berikut akan dipaparakan tentang i’jaz al-Qur’an yang terdapat dalam buku Mu’jizat al-Qur’an karangan Quraisy Shihab
Pertama i’jaz al-Lughawi dalam al-Qur’an dapat dilihat dalam sejarah berapa banyaknya orang-orang yang ahli dalam bahasa Arab, mereka menyelidiki dan menggali al-Qur’an itu dari sudut pandang bahasa. Mereka itu tidak berbuat apa-apa selain dari menyatakan kelemahan dan kekurangan ilmu yang mereka miliki itu. Keistimewaan al-Qur’a ini dapat dilihat :


1. Dari susunan kata dan kalimatnya, seperti hal-hal sebagai berikut :[18]
1). Nada dan langgam
Al-Qur’an bukanlah syair ataupun puisi. Namun jika dibaca, akan terdengar keunikan iramanya dan ritmenya. Mengenai hal ini seorang cendikiawan Inggris yang bernama Marmaduke Pickhtall dalam bukunya The Meaning of Glorious Quran berkomentar bahwa sinonim yang timbul dari al-Qur’an tidak ada taranya. Setiap nada bisa menggerakkan manusia untuk menangis dan berduka cita. Hal ini salah satunya dapat kita cermati dalam QS. Al-Naziat ayat  1-5. Setiap ayat ini diakhiri dengan bunyi a. Kemudian begitu pendengar terbiasa mendengar bunyi dalam akhir lima ayat berturut-turut, al-Qur’an mengubah nada dan langgamnya hingga ayat terakhir dengan bunyi ah. Sungguh indah.

2). Singkat dan padat
Tidak mudah menyusun kata yang singkat dan padat. Seperti yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 212 :
...وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya :
...Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.

Ayat ini dapat mencakup makna :
a.       Allah berhak memberikan rezki kepada siapa saja yang dikehendaki tanpa berhak dipertanyakan.
b.       Allah bisa saja memberikan rezki kepada siapa saja tanpa memperhitungkannya.
c.       Allah memberi rezki kepada seseorang tanpa diduga-duga oleh yang bersangkutan.
d.      Allah bisa saja memberi rezki kepada seseorang  tanpa menghitung detail amalnya.
e.       Allah bisa saja memberi rezki kepada seseorang dengan jumlah yang banyak sehingga yang bersangkutan tidak mampu menghitungnya.

3). Memuaskan pemikiran semua orang
Dalam sebuah ayat Allah berfirman :
الَّذِي جَعَلَ لَكُمْ مِنَ الشَّجَرِ الْأَخْضَرِ نَارًا فَإِذَا أَنْتُمْ مِنْهُ تُوقِدُونَ

Artinya :
yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu." (QS. Yasin : 80 )
Bagi orang awam pohon memang dapat menyalakan api. Pemahaman yang berbeda akan muncul dari seorang scientist. Ia akan memahami الشجر (pohon yang hijau) sebagai chloropyll (zat hijau daun) chloropyll adalah sel yang terdapat dalam daun. Sel ini mengkonversi sinar matahari sebagai energi. Energi ini akan berpindah kepada hewan atau manusia jika daun tersebut dikonsumsi.

4). Memuaskan akal dan jiwa
Bahasa al-Qur’an dapat mengeluarkan aturan-aturan dan perintah dapat memuaskan akal dan jiwa. Berbeda dengan manusia, jika mengeluarkan aturan dan perintah, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang tegas dan kaku. QS. Al-Baqarah : 183 adalah salah satu cermin dari bahasa yang memuaskan akal dan jiwa sekaligus :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
        Perintah ayat di atas adalah bukan “Tuhan mewajibkan atas kamu berpuasa” tetapi “diwajibkan atas kamu berpuasa”. Ini untuk mengisyaratkan bahwa manusia sendiri yang kena mewajibkan pada dirinya untuk berpuasa jika ia mengetahui betapa besar manfaat yang ia dapatkan dari ibadah puasa.

5). Keindahan makna dan ketepatan bahasa
Untuk memahami hal ini, terdapat dua contoh ayat al-Qur’an dalam surat Azzumar : 71 dan 73 :
-         وَسِيقَ الَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا فُتِحَتْ أَبْوَابُهَا ...(71)
Artinya :
Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya..
-         وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا حَتَّى إِذَا جَاءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا ...(73)
Artinya :
Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam syurga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke syurga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka

Dalam ayat yang disebutkan di atas, telihat perbedaan yaitu, pada ayat yang berbicara tentang penghuni surga terdapat kata فُتِحَتْ sedangkan, pada ayat yang berbicara tentang penghuni neraka terdapat kata yang sama namun tidak menggunakan huruf waw. Huruf waw memiliki peran penting sehingga makna yang dapat kita pahami adalah jika anda menghantarkan seorang penjahat kepintu tahanan, maka pintu tersebut baru terbuka ketika diketuk dari luar. Berbeda dengan jika anda menghantarkan seseorang yang ditunggu kehadirannya, maka untuk menghormati orang yang anda hantarkan tersebut, pintu gerbang telah terbuka lebar baginya. 

2. Keseimbangan Redaksi al-Qura’n
Rasyad Khalifah memulai pembuktian idenya dengan mengulas kata basmalah yang terdiri dari 19 huruf. Selanjudnya dikatakan bahwa bilangan kata basmalah yang terdapat dalam al-Qur’an tersebut walaupun berbeda-beda namun keseluruhannya habis terbagi oleh angka 19 dengan rincian sebagai berikut :[19]
a .اسم dalam al-Qur’an sebanyak 19 kali
b. الله  sebanyak 2.698 kali yang merupakan perkalian 19 x 142
c. الرحمن  sebanyak 57 kali = 3 x 19
d. الرحيم sebanyak 114 kali = 6 x 19

Di antara keseimbangan redaksi al-Qur’an adalah :[20]
1). Kesimbangan antara jumlah bilangan kata dengan anonimnya
Misalnya :
a. الحياة (kehidupan) dan  الموت (kematian) masing-masing sebanyak 145 kali.
b.الصالحات (kebajikan) danالسيئات   (keburukan) masing-masing 167 kali.
c.الكفر   (kekufuran) dan الإيمان  (iman) masing-masing 17 kali.
2). Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan sinonimnya atau makna yang dikandungnya
Misalnya :
a.القرآن   dan   الوحي    masing-masing 70 kali.
b. الجهر dan   العلانية   masing-masing 16 kali.
c. العجب dan  الغرور  masing-masing 27 kali.
3).Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukkan akibatnya
a.الإنفاق  (menafkahkan) dan  الرضا (kerelaan) masing-masing 73 kali.   
b. الزكاة  (penyucian)  dan البركات  (kebajikan yang banyak) masing-masing 32 kali. 
c. الفاحشة (kekejian) dan  الغضب (murka) masing-masing 26 kali.
  
4).Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukkan penyebabnya
a.الاسلام  (kedamaian) dan الطيبات  (kebajikan) masing-masing 60 kali.      
b. الموعظة (nasihat) dan اللسان (lidah) masing-masing 25 kali.
c. الاسرى (tawanan) dan الحرب  (perang) masing-masing 6 kali.

Kedua adalah i’jaz al-Qur’an dalam hal isyarat ilmiah, i’jazul ilmi ini bukan meliputi penyelidikan ilmiyah yang terkadang terjadi perubahan-perubahan, namun adalah benar bahwa al-Qur’an inilah yang mendorong untuk berfikir secara benar. Di samping itu tidak ada ayat yang bertentangan mengenai kedaan dalam segala hal. Sekarang ilmu pengetahuan sudah maju namun tidak satupun yang bertentangan.
Al-Qur’an adalah yang menjadikan pemikiran itu benar, pandangan itu benar terhadap alam semesta serta isinya. Inilah yang merupakan wasilah terbesar dari segala wasilah iman terhadap Allah SWT. Al-Qur’an mendorong orang berfikir tentang makhluk Allah yang ada dilangit dan di bumi. Sebagaimana firman Allah :[21]
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ, الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا
 وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَاخَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
 (آل عمران : 191-190)
Artinya :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Dan contoh lain adalah firman Allah dalam surat al-Anbiya : 30
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
Artinya :
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?(QS. Al-Anbiya : 30).

Beginilah i’jaz al-Qur’an ilmiy yang betul-betul mendorong manusia untuk berfikir dan membuka pintu-pintu ilmu pengetahuan. Juga menyeru dan memanggil untuk memasuki gudang ilmu.

Ketiga adalah pemberitaan ghaib. Dalam al-Qur’an begitu banyak pemberitaan ghaib yang seandainya jika tidak diberitakan maka manusiatidak akan tahu. Di antara pemberitaan ghaib tersebut ialah deskribsi dan kehancuran kota kaum Ad dan Tsamud, keberadaan Fir’aun, ashhab al-Kahf dan keturunan Romawi. Pemberitaan ghaib al-Qur’an bukanlah berita omong kosong. Pemberitaan tersebut belakangan terbukti melalui catatan sejarah dan penemuan-penemuan para arkeolog.




IV. Kesimpulan
I’jaz al-Qur’an adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi fungsinya sebagai tanda kebenaran Nabi Muhammad SAW penegasan terhadap risalah yang dibawanya seraya mencari sisi-sisi kemukjizatannya dan memberikan kanter terhadap wacana-wacana yang berusaha merongrong dan menggerogoti otentisitas al-Quran.
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa tujuan utama dari i’jaz al-Qur’an adalah menampakkan kebenaran al-Qur’an dan kerasulan Nabi Muhammad SAW kepada orang-orang yang masih meragukan kebenaran al-Qur’an tersebut.
Ketika berbicara tentang aspek-aspek kemu’jizatan al-Qur’an para ulama memiliki pandangan yang berbeda, namun secara garis besar dapat disimpulkan ada tiga hal yaitu, aspek kebahasaan, aspek isyarat ilmiah dan pemberitaan ghaib.
Mempelajari i’jaz al-Qur’an adalah hal yang penting karena dapat memperkokoh keyakinan kita dengan cara ilmiah. Selain itu, pengetahuan dan pemahaman tentang i’jaz menjadi sangat berguna untuk mempertebal keimanan dan kebanggaan terhadap Islam. Dan dapat menambah bekal untuk dakwah Islam dan mematahkan argumen-argumen para pengkritik al-Qur’an.
Dengan mendalami pemahaman tentang i’jaz al-Qur’an diharapkan umat Islam dan orang-orang yang meragukan kebenaran al-Qur’an, menjadi yakin bahwa al-Qur’an adalah benar-benar datang dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, bukan kalam manusia, setelah melihat sisi-sisi kelebihan, keunggulan dan kemu’jizata al-Qur’an yang disajikan dalam pembahasan i’jaz al-Qur’an.

V. Saran
Penulis berharap dengan pembahasan dalam makalah ini yang terbatas penjelasannya sesuai dengan kemampuan penulis, dapat memotifasi pembaca lebih menelusuri dan mendalami pemahaman i’jaz al-Qur’an melalui bacaan dan diskusi-diskusi ilmiah.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Shabuni, Muhammad, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, tt
Al-Rizqani, Muhammad Abd Azim,  Manahil al-Urfan fi Ulum al-Qur’an, Bairut : Dar al-Fikri, 1996
Al-Qathan, Manna, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Mansyuratal Ashri al Hadits, 1990
Abu Abdullah, Muhammad, Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Bairut : Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1985
AM, Rusyadi, Ulum Al-Quran, Padang : IAIN Press, 1999
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir,  Surabaya : Pustaka Progressif, 1997
Shihab,  M.Quraisy, Mukjizat al-Qur’at,  Jakarta : Mizan, 1998
Umar, Nasruddin, Ulumul Quran, Jakarta : Al-Ghazali Center, 2010



[1]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir,  (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997), h.898
[2]Manna al-Qathan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Mansyuratal Ashri al Hadits, 1990), cet ke-2, h.258
[3]Ibid.
[4] M.Quraisy Shihab, Mu’jizat Al-Qur’an, (Jakarta : Mizan, 1998), h.23
[5]Manna al-Qathan, Op. Cit.,h. 259
[6]Nasruddin Umar, Ulumul Quran,(Jakarta : Al-Ghazali Center, 2010), Juz II, h.158
[7] Manna al-Qathan, Op. Cit., h. 21
[8] Nasruddin Umar,Op. Cit., h. 158-159
[9]  Muhammad Ali Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, ( Dar al-Kutub al-Islamiyyah, tt),hal.94
[10] Nasruddin Umar, Op.Cit., h. 159
[11] Ibid., h 160
[12] Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, (Bairut : Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1985), Juz I, h. 233
[13] Rusyadi AM, Ulum Al-Quran, (Padang : IAIN Press, 1999), h.114
[14]Manna al-Qathan, Op.Cit., h. 271
[15]Muhammad Ali Shabuni, Op.Cit.,  hal. 104
[16] Muhammad Abd Azim al-Rizqani,  Manahil al-Urfan fi Ulum al-Qur’an, (Bairut : Dar al-Fikri, 1996), cet. I, hal. 334
[17] Mushtafa Muslim, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Riyadh : Dar al-Muslim, 1996), hal. 121
[18]Ibid., hal. 118-217
[19]Ibid., h. 139
[20]Ibid., h. 140-142
[21] Manna al-Qathan, Op.Cit., hal.86

Komentar

Postingan Populer