MAKALAH TENTANG INKAR SUNNAH I
INGKAR
SUNNAH I
(
Periode Klasik tahun 132 H/750 M – 320 H/ 932 M )
BAB
I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an
dan Sunnah adalah sumber ajaran yang paling pokok dalam agama Islam. Al-Qur’an
dan Sunnah tidak dapat terpisahkan, karenanya mempunyai keterkaitan yang erat
antara keduanya.
Pada
dasarnya Sunnah adalah sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an yang berfungsi
menjelaskan kandungan al-Qur’an secara terperinci, namun Sunnah sebagai sumber
ajaran Islam sering mendapat tantangan, baik yang datang dari orang-orang non-
muslim (orientalis), maupun yang datang dari umat Islam sendiri, yang lazim
disebut sebagai kelompok pengingkar Sunnah.
Inkar
al-Sunnah terbagi kepada
dua periode : periode klasik yang terjadi pada tahun 132 H/750 M, kira-kira
abad ke-2 H dan Periode modern yang muncul pada abad ke-19 H, dalam makalah ini
penulis mengkhususkan pembahasan tentang inkar al-Sunnah periode
klasik. Inkar al-sunnah terdiri dari dua kata yaitu inkar dan al-sunnah
a. Inkar
Inkar al-sunnah
terdiri dari dua kata yaitu inkar dan al-sunnah. Kata inkar
berasal dari bahasa Arab yaitu انكر – ينكر – انكارا yang artinya menyangkal, tidak membenarkan
dan tidak mengakui, sedangkan pelakunya disebut dengan mungkir.[1]
Al-Raghib al-Asfihani, seorang pakar al-Qur’an, mengatakan bahwa kata
“inkar” merupakan antonim dari kata “irfan” yaitu menolak apa
yang tidak tergambarkan dalam hati.[2] Penolakan,
boleh jadi disebabkan oleh ketidak tahuan atau kesombongan (tidak mau tahu).[3] misalnya
firman Allah:
Dan Saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir} lalu
mereka masuk ke (tempat) nya. Maka Yusuf mengenal mereka, sedang mereka tidak
kenal (lagi) kepadanya
Mereka mengetahui nikmat Allah, Kemudian mereka
mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.
b. al-sunnah
Al-sunnah menurut
bahasa (lughah) bermakna jalan yang dijalani, baik terpuji maupun tidak.
Suatu tradisi yang sudah dibiasakan.
Sunnah menurut istilah
Muhadditsin (ahli-ahli hadits) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi
saw. baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir, pengajaran, sifat,
perilaku, perjalanan hidup Nabi saw. sebelum diangkat menjadi rasul, maupun
sesudahnya. Sebagian besar Muhadditsin
menegaskan, bahwa sunnah dalam arti ini, menjadi muradif bagi
kata hadits.[6]
Ulama ushul fiqh membedakan
sunnah dengan hadits. Menurut mereka sunnah adalah :
اقواله وافعاله وتقريره التي تثبت الاحكام وتقررها[7]
“Semua perkataan, perbuatan,
dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”
Dalam
pembahasan ini tidak membedakan antara hadits dan sunnah karena yang dimaksud inkar
al-sunnah adalah mengingkari hadits-hadits Rasulullah SAW.
c.
Klasik
Kata “klasik”
adalah semakna dengan kata qadiim dalam yang atinya adalah yang lama,
kuno, dan dahulu.[8]
Sedangkan yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah masa pada kehidupan Imam
as-Syafi’i bertepatan pada abad ke-2 H sekitar tahun 132 H/750 M – 320 H/ 932 M.
Jadi yang
dimaksud dengan inkar al-sunnah Klasik dalam pembahasan ini adalah suatu
penyangkalan, pengingkaran terhadap otoritas al-sunnah atau hadits
sebagai sumber hukum Islam selain al-Qur’an Atau segala bentuk pengingkaran
atau penyangkalan baik melalui lisan, perbuatan maupun melalui hati terhadap
kompetensi sunnah Nabi Muhammad saw. sebagai hujjah atau dalil hukum syara’
yang terjadi pada masa abad ke-2 H. Atau sekitar tahun 132 H/750 M – 320 H/ 932
M
Pengingkaran
ini, menurut Mushtafa al-Siba’i terjadi karena adanya keraguan tentang
metodologi kodifikasi sunnah yang menyangkut kemungkinan terjadinya kesalahan
yang dilakukan oleh perawinya atau dari pemalsu hadits. Dengan meragukan
metodologinya maka muncul keraguan kebenaran hadits itu sebagai yang bersumber
dari Nabi saw.[9]
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah awal munculnya inkar al-sunnah
Mengenai akan munculnya kelompok inkar
al-sunnah, Rasulullah pernah mengisyaratkan dalam sabdanya, yang artinya “sesunggunhnya
telah diturunkan kepadaku al-Qur’an dan yang semisalnya (hadits), waspadalah!
Kelak akan muncul orang yang perutnya kenyang, ia bermalas-malas di atas
kursinya sambil berkata pakailah al-Qur’an saja...” Rasulullah mengingatkan bahwa pada
suatu saat akan muncul orang-orang yang merasa cukup berpegang kepada Al-Qur’an
saja.[10]
Berbicara tentang kapan, siapa, dan dari golongan mana awal
munculnya inkar al-sunnah tidak bisa diketahui secara pasti. Menurut
keterangan Imam al-Hasan al-Bashri, seorang tokoh Tabi’in, gejala untuk
mengesampingkan Sunnah sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an, telah
tampak pada masa sahabat. Hal ini terlihat, ketika seorang sahabat, yang
bernama Imran ibn Husain sedang mengajarkan hadits, ia diminta oleh seseorang
untuk mengajarkan al-Qur’an saja dan mengesampingkan hadits.[11]
Setelah Rasulullah wafat, terjadi kesepakatan dikalangan umat Islam
untuk menempatkan hadits sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an.
Kesepakatan tersebut dapat bertahan dan terpelihara dengan baik sampai pada
masa Khalifah al-Rasyidin dan Bani Umayah (41 H/661M – 133 H/750 M). Hal ini
dapat dimaklumi karena di samping masa hidup sahabat masih terbilang dekat
dengan masa hidup Nabi, keimanan mereka terhadap Nabi juga masih tinggi,
sehingga tidak mungkin mengingkari sunnah Nabi. Setiap kali mereka mendapat
kalimat dari Nabi maka kalimat tersebut lansung menjadi pegangan dan menjelma
dalam perilaku mereka.
Inkar al-Sunnah ini
pernah terjadi pada masa Umayyah ibn Khalid, yang mencoba untuk hanya merujuk
kepada al-Qur’an saja, dalam mencari jawaban tentang masalah agama. Ketika menanyakan
hal tersebut kepada Abdullah ibnu Umar, ia diperintahkan untuk kembali merujuk
kepada Sunnah, di samping al-Qur’an.[12]
Sikap pengingkaran terhadap hadits-hadits Nabi mulai muncul pada
masa Bani Abbas (132 H/750 M – 320 H/932
M). Hal ini disebabkan karena sudah banyak sahabat yang bergaul dan
berkomunikasi dengan orang luar sehingga mereka mengadopsi pemikiran-pemikiran
Yunani dan Persia ke dalam hadits, masa ini juga bersamaan dengan masa hidupnya
Imam al-Syafi’i abad ke-2 H/7M.[13]
Oleh karena itu Imam Syafi’i banyak berhadapan dengan para
pengingkar sunnah dan termasuk orang yang paling berjasa dalam membela hadits
dari gerakan-gerakan kaum yang berkeinginan untuk menghilangkan hadits dari
aturan-aturan hukum Islam. Itu pulalah yang menyebabkan informasi tentang
ingkar sunnah banyak didapati dalam karya-karya Imam al-Syafi’i. Dalam bukunya al-Umm,
Imam Syafi’i tidak menyingkap secara pasti kapan inkar al-sunnah muncul
untuk pertama kalinya, tapi yang jelas hal itu terjadi sekitar akhir abad kedua
dan awal abad ketiga hijriah. Para penganut inkar al-sunnah ini telah
muncul dengan berbagai argumentasi untuk mempertahankan pendapat mereka. Mereka
semua menolak keberadaan hadits dan sunnah dari Nabi untuk dijadikan sumber
hukum Islam.[14]
Ini sebabnya mengapa kemudian oleh ahli sejarah Islam menamakan
mereka sebagai inkar al-sunnah, tidak dengan nama ingkar hadits. Mereka
tidak mengingkari adanya hadits sebagai perkataan, perbuatan dan ketetapan yang
bersumber dari Nabi saw. Mereka hanya mengingkari kopetensinya dalam hukum
Islam. Hal itu disebabkan dari dulu
mereka sudah meragukan metodologi kodifikasi yang tidak menjamin
kebenaran hadits yang beredar di kalangan umat Islam sampai saat ini benar dari
Nabi.
Kelompok inkar al- Sunnah yang dihadapi oleh Imam al-Syafi’i
dan oleh para ulama hadits disebut sebagai pengingkar sunnah periode klasik.
Sedangkan yang muncul kembali pada peralihan abad XIX ke abad XX Masehi disebut
dengan kelompok pengingkar sunnah periode modern.
B. Inkar
Sunnah Klasik (132 H/750 M – 320 H/ 932 M)
Adapun para
pengingkar sunnah yang muncul pada masa Imam Syafi’i sangat sulit untuk
diidentifikasi, karena Imam Syafi’i sendiri tidak menjelaskan siapa pengingkar
sunnah yang ia hadapi. Namun demikian, Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh
kotemporer Mesir) mempunyai asumsi bahwa kelompok pengingkar sunnah yang muncul
pada saat itu berasal dari kalangan teolog Mu’tazilah. Asumsi semacam ini
disebabkan karena Imam Syafi’i pernah menyatakan bahwa kelompok pengingkar
sunnah tersebut berasal dari Bashrah (Irak). Kalau kita baca sejarah waktu itu,
Bashrah merupakan pusat ilmu terutama Ilmu Kalam yang menempatkan akal pada
posisi yang lebih tinggi sehingga mereka dikenal sebagai kaum rasional.[15]
Walaupun
demikian, Mustafa al-A’zami seperti yang dikutib oleh Yahya Abdul Qadir Jawas
mengatakan bahwa Mu’tazilah tetap mengambil hadits-hadits Nabi sebagai sumber
ajaran tetapi mereka menolak hadits-hadits yang bertentangan dengan kaedah
berfikir mereka. Artinya mereka tidak menolak seluruh hadits Nabi sebagai hujjah
dalam Islam.
Dari uraian di
atas dapat dipahami bahwa sulit mengetahui siapa sebenarnya penginkar sunnah di
periode klasik karena Imam Syafi’i tidak menunjukkan secara jelas orang-orang
yang terlibat dalam gerakan inkar al-sunnah. Karena sulit untuk
mendeteksi keberadaan dan identitas mereka, maka dalam makalah ini penulis akan
membahas tentang beberapa aliran-aliran Teologi Islam yang memberikan tanggapan
yang berbeda terhadap sunnah pada masa itu, seperti Khawarij, Syi’ah dan
Mu’tazilah.
Pembahasan ini juga
dapat dilihat dalam buku karangan Lukman al-Hakim yang berjudul Inkar Sunnah
Klasik.
1.
Pandangan kaum Khawarij terhadap sunnah
Khawarij muncul pada masa sahabat, yaitu pada masa khalifah Ali bin
Abi Thalib. Mereka mulanya merupakan pengikut Ali bin Abi Thalib, karena rasa
kecewanya kepada Ali dan pengikutnya waktu terjadinya tahkim, maka
mereka keluar dari golongan Ali dan mereka mengkafirkan Ali, Utsman dan
orang-orang yang terlibat dalam peristiwa itu serta siapa saja yang menerima tahkim
dan membenarkannya. Mula saat itulah khawarij menilai bahwa sahabat tidak
dapat dipercaya.
Menurut Muhammad Mustafa Azami di dalam buku Dirasat al-Hadits
al-Nabawi wa Tarikh Tadwinihi yang diterjemahkan oleh Ali Mustafa
Yakub bahwa golongan Khawarij masih tetap memakai sunnah Nabi dan mempercayainya
sebagai sumber hukum Islam. Hanya saja ada sumber-sumber dari kalangan Khawarij
sendiri yang mengatakan bahwa mereka menolak hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah sahabat tertentu. Tetapi yang jelas tidak semua golongan Khawarij
menolak hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi baik sebelum maupun sesudah
peristiwa tahkim.[16]
Mustafa al-Siba’i menatakan bahwa penolakan ini didasarkan pada
adanya kesediaan mereka menerima keputusan kedua tahkim (arbitrase)
serta mengikuti kepemimpinan yang menurut Khawarij termasuk zhalim. Oleh karena
itu kaum Khawarij menganggap bahwa para sahabat tersebut tidak termasuk rawi
tsiqqat lagi.[17]
Imam Muhammad
Abu Zahrah mengemukakan asumsi yang berbeda dengan Muhammad Khudri Bek, menurutnya,
kelompok inkar al-sunnah yang muncul pada zaman klasik adalah berasal
dari orang-orang zindiq yang secara lahiriyah menganut agama Islam namun mereka bukan berasal dari kalangan
Mu’tazilah akan tetapi dari kalangan Khawarij yaitu aliran teologi yang pertama
muncul di dunia Islam.[18]
2. Pandangan
Kaum Syi’ah
Syi’ah adalah aliran politik pendukung Ali, yang sudah muncul pada
akhir pemerintahan Utsman, kemudian berkembang pada masa Ali.[19]
Kelompok Syi’ah sagat jelas keberadaannya sebagai pendukung Ali di saat
terjadinya peristiwa tahkim, karena
pada saat itu kelompok Ali terbagi dua, kelompok yang tidak setuju dengan tahkim
dan keluar dari barisan Ali disebut dengan Khawarij dan kelompok yang tetap
mendukung Ali disebut Syi’ah.
Kaum syi’ah menganggap bahwa mayoritas sahabat setelah Nabi wafat
telah murtad, kecuali beberapa sahabat saja, oleh karena itu mereka banyak
menolak hadis-hadis sahabat, mereka hanya menerima hadits-hadits dari ahl
al-bait dan para sahabat yang mendukung Ali.
Jadi sangat sedikit hadits-hadits dari sahabat yang diterima oleh
kelompok Syi’ah, karena mereka hanya mengakui sunnah yang diriwayatkan
orang-orang tertentu saja yaitu ahl al-bait.
3.
Mu’tazilah
Inkar al-sunnah di
zaman Imam Syafi’i tersebut sukar untuk diidentifikasi, kareana Imam Syafi’i
sendiri tidak menjelaskan siapa lawan diskusinya tersebut. Namun Khudari Bek
(seorang ahli usul fikih Mesir) mempunyai asumsi bahwa inkar al-sunnah
di zaman Imam Syafi’i adalah dari
kalangan Mu’tazilah. Asumsi ini muncul berdasarkan isyarat Imam Syafi’i sendiri
yang menunjukkan bahwa mereka itu dari Basrah. Sebagaimana diketahui dalam
sejarah, Basrah ketika itu merupakan pusat kegiatan ilmiah yang menyangkut
ilmunkalam (teologi). Dari kota Basra inilah berkembang paham dari tokoh-tokoh
Mu’tazilah. Dalam Sejarah, tokoh-tokoh Mu’tazilah dikenal sebagai yang banyak
mengkritik Ahlul hadits (orang yang dalam menetapkan hukum hanya
berpegang pada al-Quran dan Hadits) yang tidak mau melakukan ijtihat.[20]
Ada dua alasan
yang mengatakan aliran Mu’tazilah termasuk inkar al-sunnah.
a.
Kaum Mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam yang sangat
mengagungkan akal bahkan lebih mendahulukan akal dari pada wahyu.
b.
Salah satu aliran yang berkembang di Irak dan merupakan tempat
muncul dan berkembangnya gerakan inkar
al-sunnah.[21]
Golongan
Mu’tazilah terdiri dari empat golongan diantaranya : [22]
a.
Kelompok Washil bin ‘Atha’ dan Amr bin ‘Abid, dua kelompok ini pola
pikirannya agak menyimpang dari pemahaman agama tetapi masih menerima Sunnah.
b.
Kelompok Abu Huzayil dia sudah dianggap sebagai pengingkar Sunnah
karena syarat-syarat diterimanya hadits harus ada dari salah satu dari 20 orang
yang sudah dipastikan masuk surga.
c.
Kelompok Nadham, mereka merupakan kelompok yang sering dituding
oleh kelompok Mu’tazilah lainnya. Dan mereka dianggap kelompok Mu’tazilah yang
sesat, mereka mengingkari riwayat tentang mu’jizat Nabi saw, menolak ijma’ dan
qiyas dalam hal-hal cabang syari’at. Dan mereka juga menolak hadits-hadits yang
tidak menghasilkan pengetahuan yang pasti sebagai sumber ajaran Islam. Mereka
juga mengungkapkan bahwa hadits mutawatir tetap mengandung kemungkinan bohong
sekalipun para penerima dan pendengar hadits itu bebas dari kekurangan.
C. Inkar al-Sunnah Muthlak
Orang-orang inkar al-sunnah terdiri dari tiga kelompok
dengan sikap yang berbeda :
1.
Kelompok yang menolak hadits-hadits Rasulullah sebagai
hujjah secara Muthlak.
2.
Kelompok yang menolak hadits-hadits Rasulullah SAW. yang kandungannya
tidak disebutkan dalam al-Qur’an, baik secara implisit atau eksplisi
3.
Kelompok yang hanya menerima hadits-hadits mutawatir sebagai
hujjah dan menolak kehujahan hadits-hadits ahad sekalipun ada di
antara hadits ahad ini memenuhi
syarat-syarat sahih. Alasan utama yang mereka kemukakan adalah karena
hadits-hadits ahad itu zanni.
Argumen
kelompok pertama (inkar al-Sunnah muthlak) dan kedua dalam menolak
hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam adalah sebagai berikut :
a. Al-Qur’an
diturunkan Allah SWT dalam bahasa Arab. Dengan penguasaan bahasa Arab yang
baik, maka al-Qur’an akan dapat dipahami dengan baik, tanpa memerlukan bantuan
penjelasan hadits-hadits Rasulullah;
b. Al-Qur’an,
sebagaimana disebutkan Allah SWT adalah penjelas segala sesuatu (QS. 16 : 89)
...وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“...Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri”
...وَهُوَ
الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا...
artinya
...dan
Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci...(QS. 6 : 114)
Hal ini
mengandung arti bahwa penjelasan al-Quran telah mencukupi segala sesuatu yang
diperlukan oleh umat manusia. Dengan demikian maka tidak perlu lagi penjelasan
lain, selain al-Qur’an.
c. Hadits-hadits
Rasulullah SAW sampai kepada kita melalui proses periwayatan yang tidak dijamin
bersih dari kekeliruan, kesalahan, dan bahkan kedustaan terhadap Rasulullah
SAW. oleh karena itu, nilai kebenarannya tidak meyakinkan (zanni).
Karena status ke-zanni-an ini, maka hadits tersebut tidak dapat
dijadikan sebagai penjelas (mubiyyin) bagi al-Qur’an yang diyakini
kebenarannya (qath’i).
Dari ketiga
argumentasi ini mereka menolak otoritas hadits-hadits Rasulullah SAW sebagai
hujjah dan sumber kedua ajaran Islam. Dengan demikian, dalam prinsip mereka
sunnah tidak perlu ditaati dan diamalka. Sumber satu-satunya ajaran Islam bagi
mereka adalah al-Qur’an.
Imam Syafi’i
memberikan jawaban atas argumen- argumen kelompok inkar al-sunnah
tersebut dengan mengatakan bahwa :[23]
1.
Al-Qur’an sendiri dalam banyak ayatnya mengatakan bahwa umat Islam
harus menjauhi larangan Allah SWT dan Rasul-Nya. Perintah dan larangan itu Rasulullah
SAW ini hanya dapat diketahui setelah wafat, melalui hadits-hadits. Dengan
demikian landasan utama hadits bagi otoritas hadits-hadits sebagai hujjah dan
sumber ajaran Islam kedua setelah ayat al-Qura’an sendiri.
2. Dengan
menguasai bahasa Arab, maka orang akan tahu bahwa al-Qur’an-lah yang memberikan
mereka untuk mengikuti sunnah Rasulullah SAW yang diriwayatkan periwi-periwi
terpercaya. Pernyataan ayat untuk mengikuti sunnah Rasulullah SAW sama halnya dengan
perintah mengikuti al-Qur’an. Dalam hal ini Imam Syafi’i mengemukakan surat al-Jumu’ah
ayat 2 dan surat al-Ahzab ayat 34;
هُوَ
الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ
آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Artinya :
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka
dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
وَاذْكُرْنَ
مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آَيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
Artinya :
Dan ingatlah
apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu).
Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.
Akan tetapi menyimak pada bantahan-bantahan Imam Syafi’i di atas,
argumen kelompok kedua ini pun akan pupus. Jika dikatakan bahwa hadits-hadits
itu zanni karena diproses dengan jalan zanni, maka dari sekian
banyak hadits itu ada juga yang sifatnya qath’i. Terhadap hadits yang zanni
tersebut dapat dijadikan hujah, kecuali kalau hadits-hadits tersebut memenuhi
persyaratan sahih atau hasan. Kekeliruan dan kesalahan dalam periwayatan
sebagian hadits tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi untuk menolak otoritas
hadits sebagai hujah dan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.[24]
Argumen Imam Syafi’i tersebut telah berhasil membendung gerakan inkar
al-sunnah untuk kurun waktu yang cukup panjang, karena sejak saat itu tidak
pernah lagi tercatat dalam sejarah adanya inkar al-sunnah, kecuali pada
akhir abad ke-19 dan abad ke-20.[25]
D. Inkar al-sunnah Ahad
Di atas telah
disinggung bahwa ada diantara pengingkar sunnah yang hanya mengakui hadits-hadits
yang mutawatir saja sedangkan hadits-hadits yang ahad tidak
mereka terima sebagai hujjah, sekalipun ada di antara hadits ahad ini memenuhi syarat-syarat
sahih.
Para inkar
al-sunnah yang menolak hadits-hadits ahad, mereka beralasan bahwa
hadits ahad itu nilainya zanni (proses penukilannya tidak
meyakinkan). Dengan demikian yang datang dari Rasulullah SAW tidak dapat
diyakini sebagai hadits mutawatir.
Argumen mereka
adalah bahwa urusan agama haruslah didasarkan pada dalil qat’i yang
disepakati kebenarannya. Dalil qat’i yang diterima semua umat dan
diyakini kebenarannya hanyalah al-Qur’an
dan hadits-hadits mutawatir. Alasan mereka ini mereka dasari dengan surah al-Isra’
ayat 36 :
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا.[26]
Artinya :
Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya
Imam
Syafi’i, sebagaimana ulama lainnya, mengakui bahwa memang hadits-hadits ahad
tersebut nilainya adalah zanni,
karena proses perawiannya bisa saja mengalami kekeliruan atau kesalahan. Oleh
karena itu tidak semua hadits ahad dapat diterima dan dijadikan hujjah,
kecuali kalau hadits ahad tersebut
memenuhi persyaratan sahih dan hasan. Sehubungan dengan itu adalah kekeliruan
dan tidak yang sebenar pandangan yang menolak otiritas kehujahan secara
keseluruhan hadits-hadits. Alasan lain yang dikemukan Imam Syafi’i adalah
dengan menganalogikan hadits ahad dengan status dua orang saksi dalam membuktikan
sesuatu. Jika dua orang saksi yang mengatakan bahwa seseorang telah membunuh orang lain dapat dibenarkan
kesaksiannya, sedangkan kedua saksi itu masih diragukan kebenarannya atau
paling tidak tingkat kebenarannya zanni, berarti kita telah membunuh
(dalam hukum kisas) seseorang berdasarkan sesuatu yang zanni, sedangkan
larangan tidak boleh membunuh orang dinyatakan secara qat’i dalam
al-Quran. Jika dalam kasus saksi kita dapat melakukan hukuman kisas berdasarka
kebenaran yang sifatnya zanni, timbul pertanyaan mengapa hadits-hadits ahad
yang memenuhi syarat-syarat sahih yang juga sifatnya zanni tidak dapat
diterima.[27]
Jadi menurut Imam Syafi’i hadits Ahad yang memenuhi persyaratan sahih
dan hasan boleh dijadikan hujjah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya cikal bakal
muculnya keragua terhadap sunnah ini sudah terjadi pada masa. Namun munculnya
gerakan inkar al-sunnah baru terlihat
pada masa pemerintahan Bani Abbas tahun 750 – 932 M dan bertepatan pada masa
hidupnya Imam al-Syafi’i pada abad ke 2 H/7 M, gerakan inkar al-sunnah pada
masa ini disebut inkar al-sunnah periode klasik atau inkar al-sunnah tempo
dulu. Imam al-Syafi’i berhasil membendung gerakan ini, sehingga geraka ini
lenyap untuk beberapa abad lamanya, kemudian baru muncul lagi pada abad 14
Hijriah.
B.
Saran
Penulis berharap dengan pembahasan dalam makalah ini yang
terbatas penjelasannya sesuai dengan kemampuan penulis, dapat memotifasi
pembaca untuk lebih menelusuri dan mendalami pemahaman tentang orang-orang yang
inkar al-sunnah, melalui bacaan dan diskusi-diskusi ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ashfihani
Al-Raghib, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Qur’an al-Karim, Beirut : Dar
al-Fikri, t.t
Ash-Shiddieqy Tengku Muhammad Hasbi, Sejarah &
Pengantar Ilmu Hadits, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009
Al-Khatib
Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadits, Bairut : Dar al-Fikri, 1989
Azami
M.M, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, diterjemahkan oleh Mustafa Yakup,
Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994
Azami
Muhammad Mustafa, Dirasat al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinihi,
penterjemah Ali Mustafa Yakub, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodofikasinya Jakarta
: Pustaka Firdaus, 1980
Al-Siba’i
Mustafa, Hadis Sebagai Sumber Hukum, diterjemahkan oleh Dja’far Abd.
Muchith, Bandung : Diponegoro, 1982
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2001
Depag
RI, Al-Qur’an Terjemahan, Bandung : Syamil Cipta Media,2005
Muhdlor,
Ahmad Zuhdi, Kamus Kotemporer Arab-Indonesia, Yokyakarta : Yayasan Ali
Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996
Ritonga
A. Rahman. Studi Ilmu-Ilmu Hadis, Yokyakarta : INTERPENA, 2011
Safri
Edi, Metode Penyelesaian Hadits-Hadits Mukhtalif, (Padang : IAIN IB
Press, 1999)
Safri
Edi, Kajian Ilmu Hadis, Melacak Pandangan Dalimi Lubis Tentang Penolakan
Terhadap Sunnah, Padang : Baitul Hikmah Press, 2001
Zahrah,Muhammad
Abu Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Terjemahan Abd. Rahman Dahlan
dan Ahmad Qarib, dari : Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Jakarta : Logos,
1996
[1] Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta : Ikhtiar Baru
Van Hoeve, 1999), Jilit III, h.718
[2] Al-Raghib al-Ashfihani, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Qur’an al-Karim,
(Beirut : Dar al-Fikri, t.t), h. 526
[3] A. Rahman Ritonga. Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Yokyakarta :
INTERPENA, 2011), h. 285
[6] Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu
Hadits, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009), h.6
[7] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, (Bairut : Dar
al-Fikri, 1989), h. 17
[8] Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kotemporer Arab-Indonesia, (Yokyakarta
: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), hal. 1439
[9]Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib,Op.Cit., h. 286
[11] M.M Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, diterjemahkan
oleh Mustafa Yakup, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), h. 41
[12] Edi Safri, Metode Penyelesaian Hadits-Hadits Mukhtalif, (Padang
: IAIN IB Press, 1999), h.34
[13] A. Rahman Ritonga. Op. Cit., h.267
[14] Edi Safri, Kajian Ilmu Hadis, Melacak Pandangan Dalimi Lubis
Tentang Penolakan Terhadap Sunnah, (Padang : Baitul Hikmah Press, 2001), h.
2
[15]A. Rahman Ritonga. Op. Cit., h.288
[16]Muhammad Mustafa Azami, Dirasat al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh
Tadwinihi, penterjemah Ali Mustafa Yakub, Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodofikasinya (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1980), h. 42
[17] Mustafa al-Siba’i, Hadis Sebagai Sumber Hukum, diterjemahkan
oleh Dja’far Abd. Muchith (Bandung : Diponegoro, 1982), Cet. Ke-2, h. 202
[18]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta :
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), Juz II, h. 226
[19]Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Terjemahan
Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, dari : Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, (Jakarta
: Logos, 1996), h. 34
[20]Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit, h. 226
[21] Lukman al-Hakim, Ingkar al-sunnah, (Jakarta : Hayfa Press,
2004), h. 64
[22] Ibid.
[25]Ibid.
[27] Ensiklopedi Islam, Op.Cit.,227
Komentar
Posting Komentar