Makalah Fiqih Lughah | Objek Kajian Fiqih Lughah - Pasaca IAIN IB



PENDAHULUAN
Bahasa adalah lafadz-lafadz yang diungkapkan suatu kaum untuk menunjukkan maksud mereka. Inilah definisi bahasa yang sering  didengar dalam buku-buku Arab yang menjelaskan arti dari bahasa, yaitu sebuah ungkapan yang menunjukkan maksud yang dikehendaki oleh seseorang. Diantara bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa Arab.   
Jadi tidak heran setelah datangnya Rasulullah SAW yang membawa al -Qur’an, baik para ilmuan dahulu seperti Ibnu Jinny, Ibn Faris, juga As-sya’laby maupun para ilmuan modern seperti Abdul Wafi yang mengkaji bahasa sebagai sesuatu yang sangat fundamental. Mereka menamakan kajiannya dengan nama fiqh al-lughah, karena kajiannya tidak hanya mengkaji bahasa secara internal, namun juga secara eksternal mengenai aspek budaya serta sastranya. kajian bahasa yang tujuannya lebih luas dari hanya sekedar mempelajari bahasa itu sendiri. Karena pada saat itu tidak ada yang bisa menandingi keindahan  bahasa dalam al- Qur’an. Yang mana saat itu mereka menjadikan al- Qur’an sebagai sumber ilmu-ilmu pengetahuan. Jadi mengkaji yang berkaitan dengan bahasa  adalah sesuatu yang penting.  
Pada kesempatan kali ini,penulis akan mencoba membahas tentang :
1.     Bagaimana Sejarah Fiqh Lughah di Kalangan Arab
2.     Apa Perbedaan Antara Fiqh Lughah dan Ilmu al-Lughah
3.     Apa Objek/ Materi Yang Dikaji Dalam Fiqh Lughah
4.     Bagaimana Perkembangan Fiqh Lughah dan Ciri setiap Fasenya
5.     Apa Manfaat Fiqh Lughah





PEMBAHASAN
OBJEK KAJIAN FIQH LUGHAH
A.    Sejarah Fiqh Lughah di Kalangan Arab
Sebenarnya semenjak dari masa  yang paling awal dalam sejarah studi bahasa di kalangan Arab telah muncul beberapa istilah yang merupakan nama atau sebutan bagi kajian-kajian kebahasaan ini dalam bentuk khususnya. Sebagian istilah tersebut terkadang masih terpakai hinggga sekarang meski dengan metodologi yang berbeda. Diantara istilah-istilah yang popular dalam kajian kebahasaan di kalangan Arab dahulu adalah al-lughah, al-nahwu, al-arabiyah. Seperti diketahui bahwa para ulama muslim Arab terdahulu pertama sekali menyebut aktivitas mengoleksi dan mengumpulkan kosakata-kosakata Arab (al-mufradat al-arabiyah) dengan beberapa sebutan, yang paling lama adalah al-lughah. Jadi yang mereka maksud dengan istilah al-lughah atau ilmu al- lughah itu adalah ilmu khusus mengoleksi atau mengumpulkan kosakata-kosakata bahasa Arab, kemudian mereka menganalisa kosakata tersebut sedemikian rupa termasuk mengenai makna-maknanya. Hal ini mereka lakukan terutama terhadap kosakata-kosakata Al-Qur’an yang mereka anggap aneh atau asing yang sulit mereka fahami. Seperti yang pernah dilakukan Ibn Abbas (w. 68 H) ketika dia memfokuskan perhatiaannya kepada kosakata-kosakata aneh  atau asing (al-gharib atau foreign words) yang ada dalam al-Qur’an sehingga lahirlah kitabnya gharib al-Qur’an.[1]
 Orang –orang yang melakukan kegiatan itu mereka sebut dengan al-Lughawi yakni orang yang mengerti dan menguasai sekelompok besar kosakata, terutama yang terkait dengan kosakata yang aneh (gharib)atau bisa juga mereka yang menulis mu’jam (kamus).[2]
Berdasarkan pengertian itu maka Sibawaih tidak bisa disebut dengan al-lughawi akan tetapi al-nahwi, sementara al-Khalil adalah al-lughawi karena dia telah menulis mu’jam al-‘Ain, dan demikian juga Ibn Duraid karena dia telah menulis mu’jam Jamharah al-lughah, termasuk dalam kategori ini al-Jauhari karena dai menulis Tahzib al-Lughah. Pengertian seperti ini kemudian berlangsung beberapa abad lamanya di kalangan arab.[3]
Di samping itu,  sesungguhnya para ulama terdahulu juga membedakan antara apa yang mereka sebut dengan istilah al-lughah dan istilah al-‘arabiyah, yang mereka maksud dengan istilah al-arabiyah adalah al-nahwu dan istilah al-lughah adalah fiqh lughah. Dalam perkembangan selanjutnya istilah al-nahwu untuk menunjukkkan  nama dari ilmu ini, dan al-nahwi untuk menunjuk orang yang menguasai ilmu ini, terkadang sering digandengkan dengan ilmu lain yaitu al-sharf. Dalam khazanah bahasa Arab masing-masing ilmu tersebut memiliki medan kajian sendiri-sendiri akan tetapi sering digandengkan dalam penyebutannya,yakni ilmu al-Qawai’d.[4]
Pada abad ke IV H muncullah istilah teknis baru dalam wacana keilmuan Arab yakni fiqh lughah. Hal ini disebabkan karena Ibn Faris (w. 395 h), menulis sebuah buku yang berjudul al-shahibi fi fiqh al-lughah wa sunan al-arabiyah fi kalamiha. Karya inilah untuk pertama kalinya yang menggunakan istilah fiqh lughah dalam khazanah keilmuan Arab (al-turats al-arabi). Kemudian datang pula al-Tsa’alibi (w. 429 H)menggunakan istilah yang sama pasca ibn Faris. Dia seorang ahli bahasa  dan sastra dan menulis bukunya dengan judul Fiqh al- lughah wa Sirr al-Arabiyah. Kedua buku tersebut secara umum sama-sama membahas problematika al-alfaz al-arabiyah, maka tema besar fiqh lughah bagi mereka berdua adalah ma’rifah al-alfaz al-arabiyah wa dilalatuha (studi terhadap kosakata Arab dan maknanya), tashnif hadzihi fi maudhu’at (mengklasifikasikannya ke dalam topik-topik tertentu) dan segala sesuatu yang terkait dengan itu.[5]
Kitab ibn Faris memuat beberapa permasalahan teoritik seputar bahasa. Diantara yang popular darinya ialah persoalan kemunculan bahasa (nasy’at al-lughah) atau dalam linguistik modern sekarang disebut the origin of language. Ketika para ulama bertikai tentang masalah tersebut, sebagian menganggap bahwa bahasa bersifat konvensional atau ketetapan bersama antara sesama masyarakat (‘urfan ijtima’iyyan), maka ibnu Faris datang membantah pendapat itu dengan mengajukan teori Tauqifi atau berdasarkan wahyu yang diturunkan dari langit. Akan tetapi topik mengenai keterkaitan bahasa dengan wahyu ini tidak terkait dalam kajian ilmu linguistik modern.[6]
Istilah Fiqh Lughah merupakan murni istilah Arab yang terdiri dari dua kata yakni fiqh dan al-lughah. Secara etimologi fiqh itu berasal dari bahasa Arab al-fiqh yang berarti al-fahm (pemahaman).[7] Di dalam sebuah hadits ditemukan pula kata yang seakar dengannya seperti hadits berikut :
من أراد الله به خيرا يفقه فى الدين
Artinya : Siapa yang diinginkan Allah kebaikan padanya maka Ia akan   memberinya pemahaman yang dalam terhadap agama.[8]
Di dalam al-Qur’an juga terdapat ayat yang menggunakan kata yang sama dengan kata tersebut, seperti yang terdapat dalam ayat berikut ini :
وما كان المؤمنون لينفروا كافة فلولا نفر من كل قرية منهم طائفة ليتفقهوا فى الدين ولينذروا قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون
Artinya : Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa beberapa orang dari tiap-tiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama agar mereka bisa memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS.9 :122)[9]
Adapun secara terminologis, para ulama klasik tidaklah memberikan defenisi kongkret menyangkut istilah fiqh al-lughah ini. Ibnu Faris misalnya, yang dianggap sebagai orang pertama yang membidani lahirnya istilah ini tidak memberikan defenisi yang jelas, baginya : kullu ‘ilmin lisyaiin fahuwa fiqh (setiap pengetahuan terhadap sesuatu adalah fiqh).[10]
Amil Badi’ Ya’kub mengatakan bahwa diantara buku-buku klasik yang mengkaji tentang fiqh lughah adalah buku al-Shahibi fi Fiqh al-Lughah wa Sunan al-Arab fi Kalamiha karya Ibn Faris dan kemudian diikuti oleh buku Fiqh al-Lughah wa Sirral-al-Arabiyah, karya Abu Mansur al-Tsa’alibi, akan tetapi kelihatannya Ibn Faris dan al-Tsa’alibi tidak membedakan istilah ini dengan pengertian-pengertian khusus.[11]
Defenisi yang barangkali agak jelas menyangkut istilah ini bisa dilihat dari penjelasan yang dikemukakan oleh Ramadhan Abd al -Tawwab dalam bukunya Fushul fi Fiqh al-Arabiyah, bahwa fiqh al-lughah adalah suatu ilmu yang berusaha mengungkap rahasia-rahasia bahasa, menetapkan kaidah-kaidah yang berlaku baginya dalam hidupnya, mengetahui rahasia-rahasia perkembangannya, mengkaji fenomena-fenomenanya yang berbeda-beda, melakukan studi terhadap sejarahnya disatu sisi, dan melakukan studi deskriptif disisi lainnya.[12]
Ibn Jinni, seorang linguis Arab yang wafat dipenghujung abad ke IV H (392 H), telah menulis buku yang sangat berharga dengan materi dalam kajian kebahasaan yang diberi judul al-Khasasis. Buku tersebut meski tidak secara ekspilisit menyebut kajian kebahasaan dalam bentuk fiqh lughah, akan tetapi melihat isi kandungannya maka banyak ulama tanpa ragu kemudian memasukkannya ke dalam kategori kajian fiqh lughah. [13]  Diantara tema-tema yang dibahas Ibn Jinni adalah tentang : Ashl al-Lughah, Al-Athrad wa al-Syuzudz, Maqayis al-Arabiyah, Ma’ani al-Alfaz fi al-Lughah, Ta’lil al-Zawahir al-Lughawiyah, al-Qiyas fi kalam al-Arab, Tarakkub al-Lughah, Ikhtilaf al-Lahjat, al-Istiqaq, al-Isytirak, al-Thudhat, dan al-Taraduf.[14]    
Pada abad ke-10 Hijriah, Jalaluddin al-Suyuti menulis pula sebuah buku yang bejudul al-Muzhir fi Ulum al- Lughah wa Anwa’iha, yang juga mengkaji masalah-masalah kebahasaan (fiqh lughah), sementara pada abad ke -11 Hijriyah muncul pula sebuah buku yang berjudul Syifa’ al-Ghalil Fima fi Kalam al-Arab Min al-Dakhil yang ditulis oleh Syihab al-Din al-Khafaji. Kemudian pada abad ke -13 Hijriyah muncul pula Ahmad Faris al-Syidyaq yang nenulis buku dengan judul Sirru al-Layal fi al-Qalb wa al-Ibdal, yang membahas tentang al-‘Alaqah baina Ashwat al-kalimah wa Ma’aniha, Dilalah al-huruf fi ‘al – Alfaz ‘ala al-Ashl al-Ma’nawi, Irja’ al-kalimat dan lain sebagainya.[15]
Uraian di atas dapat menjelaskan bahwa istilah fiqh lughah setelah masa al-Tsa’alibi, tidak lagi digunakan oleh para ulama dalam kajian-kajian kebahasaan sebagaimana para pendahulunya, seperti Ibn Faris dan al-Tsa’alibi, akan tetapi model-model kajian mereka lebih  mengerucut dan fokus kepada spesifikasi-spesifikasi tertentu yakni tentang tema-tema atau topik-topik khusus yang yang ada dalam medan fiqh lughah itu sendiri. Jadi setelah al-Tsa’alibi hampir-hampir istilah fiqh lughah itu tenggelam dan tidak pernah muncul lagi dalam karya-karya para ulama selama sekian abad. Pada abad modern istilah ini muncul lagi dalam khazanah kajian kebahasaan di kalangan Arab,yakni sekitar abad ke-20, yang dipopulerkan oleh Ali Abd al- Wahid Wafi dengan menulis buku yang berjudul Fiqh al-Lughah.[16]
Dalam kajian –kajian kebahasaan yang dilakukan oleh ulama mutaakhirin dari kalangan Arab ini masih terikat kepada model kajian kebahasaan dari ulama dulu (salaf). Oleh karena itu, Tammam Hassan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fiqh al-Lughah oleh ulama-ulama  terdahulu (qudama’) maupun ulama-ulama sekarang (al-muhdatsun) dari kalangan Arab adalah di satu sisi, menyangkut kajian tentang al-matn(kosakata), kajian tentang komparasi antara bahasa-bahasa semitik( al-muqaranah al-samiyah), kajian tentang perbedaan dialek(ikhtilaf al-lahjat), tentang bunyi (ashwat), sementara disisi lain adalah kajian tentang lingistik modern. (ilmu al- lughah al-hadits).[17]
B.    Antara Fiqh Lughah dan Ilmu al-Lughah
Polemik panjang telah terjadi sekitar istilah fiqh al-lughah dan ilm al-lughah. Apakah ilmu al-lughah identik dengan fiqh al-lughah atau tidak. Ada yang menyamakan ada pula yang membedakan antara keduanya. Hingga dewasa ini perdebatan mengenai kedua istilah itu masih berlanjut. Polemik ini muncul karena di Barat selain istilah linguistics, terdapat juga istilah philology yang diserap oleh sebagian ahli ke dalam bahasa Arab menjadi al-filulujiya. Lalu apakah ilmu al-lughah sama dengan linguistik, dan fiqh al-lughah sama dengan al-filulujia?
Polemik ini terjadi karena ketika term linguistik yang secara harfiyah dapat diterjemahkan menjadi ilm al-lughah- dikenal oleh para linguis Arab, mereka sudah terlebih dahulu mengenal term fiqh lughah. Fiqh lughah sebagai sebuah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, telah muncul di dunia Arab sejak abad ke-4 H. atau sekitar abad ke 10 M. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat mengenai identik atau tidaknya antara ilmu lughah dengan fiqh lughah.
Kamal Basyar membedakan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah. Sedangkan  Subhi Shalih menyamakan kedua istilah itu. Sementara Abduh al-Rajihi, yang juga termasuk linguis Arab modern, membedakan antara kedua istilah itu. Al-Rajihi  menukil apa yang dikatakan Juwaidi (Guidi), bahwa kata filologi sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kata al-fiqh (الفقه) = al-’ilm (العلم) dan kata  faquha (فقه) = ‘alima (علم). Hanya saja pada penggunaannya kemudian, kata al-fiqh lebih didominasi oleh bidang hukum. Dengan demikian frase ilm lughah sama dengan frase fiqh lughah.
Secara terminologis, ilmu al-lughah (علم اللغة)  adalah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau telaah ilmiah mengenai bahasa seperti yang telah dikemukaan di atas. Sedangkan filologi “hubbub al-kalam li ta’miq fi dirasatihi min haistu qawaidihi wa usulihi wa tarikhihi.
Objek kajian keduanya sama, yaitu bahasa. Kesamaan objek kajian kedua istilah di atas terbukti dengan adanya beberapa buku yang menggunakan judul fiqh lughah yang isinya membahas masalah bahasa. Di antara buku dimaksud adalah ‘Asshaiby fi fiqh al-lughah wa sunani al-Arab fi kalamiha karya Ahmad Ibnu Faris (395 H),  ‘fiqh al-lughah wa sirru al-Arabiyyah karya al-Tasa’alibi (340 H), fiqh al-lughah karya Ali Abdul Wahid Wafi (1945), buku ‘Dirasaat fi Fiqh al-Lughah’ karya Muhammad Almubarak (1960) dll.
Ada beberapa alasan yang mengidentikkan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah yaitu:
      • Ibnu Faris, Tsa’alabi, dan Ibnu Jinni walaupun nampaknya mereka mempelajari bahasa sebagai alat, tetapi pada akhirnya studi mereka diarahkan untuk mengkaji bahasa Alqur’an.
      • Dalam fiqh al-Lughah, orang Arab tidak membahas masalah asal-usul bahasa. Lain halnya dengan para filolog Barat dalam filologinya.
      • Filologi lebih cenderung bersifat komparatif, sedangkan orang Arab dengan fiqh al-lughahnya, tidak pernah melakukan pembandingan bahasa.
      • Filologi lebih cenderung membahas bahasa yang sudah mati, sedangkan fiqh al-lughah tidak pernah membahas bahasa demikian.
Para filolog mengkaji dialek-dialek Indo-Eropa, sedangkan orang Arab mengkaji bahasa Al-Qur’an.[18]
Adapun alasan kelompok yang membedakan antara fiqh al-lughah dengan ilmu al-lughah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ya’qub, adalah sebagai berikut:
  1. Cara pandang ilm al-lughah terhadap bahasa berbeda dengan cara pandang fiqh al-lughah. Yang pertama memandang/mengkaji bahasa untuk bahasa, sedangkan yang kedua mengkaji bahasa sebagai sarana untuk mengungkap budaya.
  2. Ruang lingkup kajian fiqh al-lughah lebih luas dibanding ilmu al-lughah. Fiqh lughah ditujukan untuk mengungkap aspek budaya dan sastra. Para sarjananya melalukan komparasi antara satu bahasa dengan bahasa lain. Bahkan membuat rekonstruksi teks-teks klasiknya guna mengungkap nilai-nilai budaya yang dikandungnya. Sedangkan ilmu al-lughah hanya memusatkan diri pada kajian struktur internal bahasa saja.
  3. Secara historis, istilah fiqh al-lughah sudah lebih lama digunakan dibanding istilah ilmu al-lughah.
  4. Sejak dicetuskannya, ilmu al-lughah sudah dilabeli kata ilmiah secara konsisten, sedangkan fiqh al-lughah masih diragukan keilmiahannya.Mayoritas kajian fiqh al-lughah bersifat historis komparatif, sedangkan ilmu al-lughah lebih bersifat deskriptif sinkronis.
Ada linguis yang mengatakan bahwa ilmu al-lughah mengakaji bukan saja bahasa Arab, tetapi juga bahasa lain (ini yang disebut linguistik umum). Sedangkan fiqh al-lughah hanya mengakaji bahasa Arab. Oleh sebab itu, di antara para linguis Arab ada yang mengatakan bahwa fiqh lugah adalah ilmu al-lughah al-arabiyyah (linguistik bahasa Arab)
Ramdlan Abdut Tawab dalam Fushul fi Fiqh al-Arabiyyah  mengatakan “Term Fiqh al-Lughah sekarang ini digunakan untuk menamakan sebuah ilmu yang berusaha untuk mengungkap karakteristik bahasa Arab, mengetahui kaidah-kaidahnya, perkembangannya, serta berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa ini baik secara diakronis maupun sinkronis.
Secara terminologis,istilah Filologi muncul kira- kira adab 3 SM, oleh sekelompok ahli dari iskandariyah, pencetusnya adalah Eratosthenes. Filologi adalah ilmu yang menyelidiki masa kuno dari suatu bahasa berdasarkan dokumen-dokumen tertulis.” Pernyataan Verhaar ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Tamam Hasan. Menurut Hasan, filologi adalah ilmu yang mengkaji serta mengkritisi teks-teks klasik dari berbagai aspeknya. Menurutnya, ciri khas filologi adalah berorentasi pada bahasa kuno. Secara istilah ilmu yang digunakan untuk mengkaji tulisan yang menyimpan informasi dengan bentuk yang bermacam- macam dimana pada fisiknya terdapat sejumlah bacaan yang rusak.
Pada perkembangan berikutnya, selain berorientasi pada bahasa kuno, filologi juga bersifat komparatif. Hal ini terjadi ketika para filolog Eropa menemukan adanya beberapa persamaan antara bahasa Eropa dengan bahasa Sansekerta. Sampai pase ini, filologi mendapat label baru yaitu komparatif.
Pada akhir masa renaisan, para filolog mulai menjamah bahasa Arab, mereka mengadakan perbandingan antara bahasa Arab dngan bahasa Ibrani. Lambat laun, filologi tidak lagi mengkaji bahasa-bahasa kuno, melainkan mengakaji bahasa yang masih hidup.[19]
C.    Objek/ Materi Yang Dikaji Dalam Fiqh Lughah
Objek kajian Fiqh Lughah berbeda dengan Ilmu Lughah. Jika kajian Ilmu Lughah cenderung mengkaji morfologi, fonem, dan sintaksis, sedangkan Fiqh Lughah mengkaji lafaz (kata) yang berhubungan dengan morfem, morfologi, sintaksis tersebut, baik yang berhubungan dengan kata lain, dengan makna, maupun dalam penerapannya.[20] Secara rincinya akan dikemukakan sebagai  berikut :
1.      Hubungan lafaz dengan lafaz (علاقة اللفظ باللفظ)
a.       Komparasi dengan bahasa Semit (مقارنات سامية)
Komparasi dengan bahasa Semit memiliki arti bahwa Fiqh Lughah mengkaji secara history tentang perkembangan bahasa pada abad-abad permulaan. Ketika itu para teolog Yahudi dan Nasrani merasakan perlunya mengkaji bahasa untuk memahami kitab-kitab suci mereka.
Pada tahun 1798 M, di mana terjadinya perkembangan pengkajian bahasa Semit, perhatian terhadap bahasa mengalami perkembangan pesat sehingga tidak berfokus pada kajian bahasa kitab suci saja. Kajian terhadap perbandingan bahasa Semit membantu menyingkap fenomena-fenomena yang terdapat dalam bahasa Arab. Hal ini menyebabkan para pengkaji bahasa mampu memberikan interpretasi terhadap hal-hal yang masih dianggap membingungkan. Inilah yang menjadi objek kajian Fiqh Lughah.
b.            Komparasi dengan bahasa Arab (مقارنات عربية)
Pada bagian ini, kajian Fiqh Lughah akan membahas perbandingan dialek-dialek dalam rumpun bahasa Arab. Kajiannya tentu tidak berbentuk deskriptif terhadap dialek yang ada, seperti yang menjadi kajian ilmu nahwu, tetapi berfokus kepada faktor penyebab atau alasan terjadinya perbedaan dialek pada bahasa Arab itu.
2.           Hubungan lafaz dengan makna (علاقة اللفظ بالمعنى)
Hubungan lafaz dengan makna terbagi menjadi dua bagian. Pertama, makna jaras yaitu makna yang ditimbulkan dari bunyi. Kedua, makna kata berdasarkan kamus.
a.       Makna bunyi (الجرس)
Seperti yang telah dikemukakan oleh para linguis, bahwa kajian Fiqh Lughah dalam hal bunyi adalah sekitar hubungan antara fenomena bunyi kata dan pengaruhnya terhadap kondisi saat bunyi kata itu terdengar. Kajian bunyi ini terbagi dua, yaitu muhakah dan taklif. Masing-masing akan dijelaskan dengan rinci.
1)      Muhakah (المحاكة)
Muhakah adalah bunyi kata yang menunjukkan makna tertentu. Fenomena bahasa ini dikenalkan pertama kali oleh linguis Ighriq dengan nama ono mato poeia. Fenomena ini terdapat pada semua bahasa manusia. Sebagian mereka menyebutnya sebagai perkembangan bahasa yang pertama.
Para linguis menjadikan bahasa sebagai pemberi berita terhadap suara dalam perkembangannya. Seperti kata-kata: الخرير, الفحيح, atau الحفيف. Demikian juga dengan kata قطف, قطع, dan قطم. Kajian terhadap kata-kata ini hanya terhadap kosa katanya, bukan dalam hal qaidah, yang menjadi objek kajian Ilmu Lughah.
2)      Taklif (التأليف)
Taklif adalah kajian terhadap susunan atau bangunan kata. Apakah huruf-huruf pembentuk kata itu dinilai bagus atau tidak. Kata tersebut dinilai berdasarkan kedekatan makhraj (tempat keluarnya huruf). Seperti مستشزرات dan الهعخ.
b.       Makna Kamus (المعجمي)
Unsur terakhir dalam hubungan bahasa dengan makna dalam Fiqh Lughah adalah makna yang diperoleh dari kamus. Beragam kamus telah dibuat oleh para linguis sebagai bentuk perkembangan bahasa. Kelompok kamus tersebut akan diuraikan berikut ini.
1)      Kamus objek tertentu (معاجم موضوعات خاصة)
a)      Rasail Maudhu’at (رسائل الموضوعات)
Kamus ini memuat kata-kata yang sering digunakan dalam keseharian, bahkan ada yang mengikutsertakan tarkib dan susunan kalimat. Kata-katanya memuat objek tertentu, seperti tentang senjata dan sebagainya. Di antara objek kajian dalam risalah ini adalah sebagai berikut.
(1)     Risalah Lingkungan Arab Gurun, seperti risalah tentang hujan karya Abi Zaid dan Alashmai, risalah tentang badai karya Abu Hanifah Addainury, risalah tentang awan dan hujan karya Ibnu Daryad.
(2)       Risalah Hewan, seperti risalah penciptaan hewan karya Alashmai, risalah tentang kuda karya Ibnu Qutaibah, risalah tentang onta dan kambing karya Alashmai, dan risalah tentang burung karya Ibnu Abi Hatim.
(3)          Risalah Tumbuhan, risalah tentang tumbuhan karya Abu Hanifah, Alashmai, dan Abu Zaid.
b)      Mutaradif (المترادف)
Mutaradif memiliki makna yang sejajar dengan sinonim. Kamus sinonim berisi padanan dari kata, di antaranya terdapat pada kamus Raudhul Makluf Fima Lahu Ismani Ila Uluf karya Alfayr dan Zubadi
c)      Adhdad (الأضداد)
Adhdad adalah satu kata memiliki dua makna yang berlawanan[21] Di antara risalah yang memuat adhad adalah kamus yang dibuat oleh Qithrib, Ibnu Sakkit, Abu Bakr Alanbary, Abu Barakat bin Alanbary, Atawazi, dan Ashaghani.
d)      Musytarak Lafzy (المشترك اللفظي)
Musytarak lafzy adalah beragamnya makna sebuah kata. Di antara risalah yang memuat musytarak lafzy ini dibuat oleh Alashmai dan Ibnu Abi Hatim Assajastani.
e)      Furuq (الفروق)
Al-Furuq merupakan perbedaan-perbedaan dalam bahasa. Kata berbeda namun memiliki arti yang berdekatan dan memiliki muatan makna yang berbeda. Tokoh yang telah membuat risalah al-Furuq adalah Yaqub bin Sakkit dan Abu Hilal Alasykari.
f)       Kamus sains dan teknologi (معاجم فنية)
Kamus ini baru muncul dan berkembang pada masa belakangan ini. Di antara contohnya adalah Kasyaf karya Atahanuwi, Tarif karya Aljurjani, dan Kulliyat karya Abu Baqa Alhusaini.
2)      Kamus Makna (معاجم المعنى)
Kamus ini merupakan kamus yang disusun berdasarkan susunan makna yang khusus. Berdasarkan urutan makna itulah disusun kata-kata bahkan tarkibnya. Di antara contoh kamus ini adalah kitab Alfaz karya Ibnu Sakkit, Tahzib Kitab Alfaz karya Atabrizi, Alfaz alkitabiyah karya Hamzani, Mabadi Lughah karya Aliskafi, dan Almukhashash karya Ibnu Sayyiduh.
3)      Kamus Lafaz (معاجم الألفاظ)
Kamus lafaz berbeda dengan kamus makna. Kamus ini disusun berdasarkan susunan kata kemudian diberi maknanya. Penyusunan kamus yang satu dengan yang lain terdiri atas beragam metoda. Setidaknya terdapat dua jenis, yaitu penyusunan secara fonemik berdasarkan makhraj dan penyusunan berdasarkan huruf hijaiyah.
a)      Penyusunan secara fonemik berdasarkan makhraj terdapat pada kamus seperti kamus Al-Ain karya Khalil, Albari’ karya Alqali, Tahzibul Lughah karya Alazhary, Almuhith karya Shahib Ibn Ibad.
b)      Penyusunan berdasarkan huruf hijaiyah sesuai urutan huruf. Pembagian penyusunannya akan diuraikan berikut ini.
(1)   Susunan kata-katanya beraturan. Terkadang menggunakan taqlibul huruf seperti pada kamus Aljamharah karya Ibn Duraid, dan dengan nizham tatabu daury seperti kamus Maqayis Lughah karya Ibn Faris. Secara rinci terlihat dalam table di bawah ini.
الحرف
البدء
الانتهاء
ب
بب
بأ
ت
تت
تب

Tabel 1: Kamus dengan susunan kata-kata yang beraturan

(2)   Susunan kata-katanya tidak berpedoman kepada tertib kata. Jenis kamus ini terdapat dua macam. Pertama, urutannya berdasarkan huruf awal kata seperti kamus Aljim karya Asyaibani dan Asasul Balaghah karya Zamakhsyari, Almishbah karya Alfuyumi, serta kamus-kamus moderen menggunakan susunan ini. Kedua, susunannya berdasarkan huruf terakhir kata, seperti kamus Diwanul Adab karya Alfarabi dan Lisanul Arab karya Ibn Manzur.
3.      Hubungan lafaz dengan penggunaan / penerapan (علاقة اللفظ بالاستعمال)
a.       Gharib (غريب)
Gharib adalah kosa kata yang jarang atau tidak masyhur penggunaannya dalam keseharian. Kata tersebut tidak diketahui kecuali setelah melewati kajian tertentu. Ia dapat didefenisikan juga sebagai kosa kata asli bahasa Arab yang tidak memakai kaidah bahasa Arab yang masyhur.
Kosa kata yang dipandang gharib ini ada kalanya diambil dari Alquran, seperti yang terdapat dalam kitab Gharibul Quran karya Muarij Assudusy dan Gharibul Quran karya Abu Hatim Assajastani. Ada yang diperoleh dari kitab Hadis Nabi Muhammad SAW, seperti kitab yang dikarang oleh Abu Ubaidah, Alashmai dan sebagainya.
Terdapat juga kitab yang memuat kata-kata gharib dari Alquran dan Hadis, seperti pada kitab Gharibul Quran wa Gharibul Hadis karya Ibn Khurath, Alharwi, dan Almadini. Disamping itu, ada yang diambil dari kalam orang Arab, seperti pada kitab Gharibul Mushnif karya Ibn Salam, Gharibul Lughah dan Kitab Gharibul Lughah wa Musykilul Quran karya Ibn Qutaibah.
b.      Dakhil (دخيل)
Dakhil dalam definisi para linguis memiliki dua jenis, yaitu muarrab dan muwallad. Adapun perbedaan dari dua jenis ini hanya sekitar waktu saja. Mana yang lebih dahulu dan mana yang terjadi baru-baru ini. Meskipun pada hakikatnya memiliki pengertian yang sama. Dua jenis itu akan dijelaskan berikut ini.
1)      Muarrab (معرب)
Muarrab dalam istilah Bahasa Indonesia sejajar dengan serapan. Muarrab adalah proses menyerap kata asing dengan cara adaptasi berdasarkan aturan bahasa Arab dan kebiasaan tutur kata orang Arab atau dengan cara adaptasi dari segi tashrif.
Sebagian linguis Arab ada yang tidak setuju dengan adanya serapan dalam bahasa Arab. Alasan mereka adalah bahwa serapan menunjukkan ketidakmurnian bahasa. Akan tetapi, mayoritas linguis telah sepakat bahwa terjadinya serapan sebagai bentuk kedinamisan sebuah bahasa.
Di antara buktinya adalah bahwa dalam Alquran sendiri terdapat kata serapan dari bahasa lain. Ketika Alquran diturunkan maka kata-kata itu menjadi bahasa Arab, seperti kata الصراط, السندس, الاستبرق, القنطار, الدينار, dan sebagainya.
2)      Muwallad (مولد)
Muwallad merupakan sisi lain dari muarrab. Pola muwallad ini baru muncul pada Dinasti Abasiyah. Hal ini terjadi saat terjadinya penerjemahan besar-besaran terhadap buku-buku asing. Para penerjemah telah berupaya membuat padanan huruf yang tidak ditemukan dalam bahasa Arab yang mendekati fonem Arab.
Di antara huruf yang tidak terdapat dalam bahasa Arab adalah huruf C yang ditulis dengan huruf ق, contoh: موسيقي (music), dan huruf V yang ditulis dengan huruf ب atau و, seperti الأوستا (vista). Akan tetapi, bagaimanapun juga hal ini tidak bisa dijadikan patokan, sebab Fiqh Lughah tidak berfokus pada kaidah-kaidah.
Sebagai bukti, kita dapat menemukan serapan secara adopsi langsung dari bahasa asing yang menyalahi kaidah tashrif seperti التلفزيون (televisi).
Dari penjelasan ini dapat dipahami pembeda antara muarrab dengan muwallad. Jika para pendahulu mengadakan muarrab --menyerap bahasa asing tetapi disesuaikan dengan kaidah bahasa Arab-- untuk kemurnian bahasa, maka para linguis moderen melakukan muwallad --memberikan kebebasan dalam penyerapan bahasa asing-tanpa terpaku kepada kaidah bahasa Arab (serapan-adopsi) untuk kepentingan keilmuan.
Di antara kitab yang mengkaji tentang fenomena serapan ini adalah Kitab Ma Warada fil Quran min Lughatil Qabail karya Ibn Salam Aljumha, Kitab Qasdu Sabil fima fil Arabiyah minad Dakhil karya Dimasyqi, dan Almuarrab min Alfazil Quranil Karim karya Syekh Hamzah Fathullah.
c.       Maudhu’ (موضوع)
Dalam hal ini, ada beragam pertanyaan muncul dalam benak kita tentang Fiqh Lughah. Di antaranya adalah kenapa kita juga membahas tentang musytaq, murtajal, manhut, mulhaq, dan ma’dul dalam Fiqh Lughah, di mana sudah kita pelajari pada nahwu dan atau ushul nahwi. Apa perbedaan kajian pada kedua disiplin ilmu ini dan sebagainya.
Jawaban dari semua pertanyaan itu adalah bahwa kajian Fiqh Lughah terbatas pada penerapan dari semua istilah di atas. Lebih rinci akan kita temukan dalam penjelasan di bawah ini.

1)      Musytaq (مشتق)
Musytaq merupakan proses membuat sebuah kata yang diambil dari satu kata lain atau lebih yang sesuai lafaz dan maknanya. Seperti kata طالب yang berasal dari kata طلب. Kajian Fiqh Lughah tidak sekedar mencari apa asal dari kata itu serta kaidah-kaidahnya, seperti yang dibahas dalam ranah Ilmu Lughah. Akan tetapi lebih mengkaji dan mengamati kepada jenis dan perbedaan makna yang ditimbulkan oleh perbedaan bentuk kata turunan tersebut.
2)      Manhut (منحوت)
Manhut adalah sebuah kata yang diambil dari dua kata lain atau lebih. Kata ini menjadi istilah tertentu. Di antara contoh manhut ini adalah البسملة yang berasal dari kata بسم الله.
3)      Murtajal (مرتجل)
Murtajal adalah sebuah istilah baru yang muncul dari seorang yang terpandang dan tinggi tingkat kafasihannya, dimana belum pernah ada istilah tersebut sebelumnya.
4)      Mulhaq (ملحق)
Mulhaq adalah menambah huruf dalam sebuah kata kemudian ditasrif berdasarkan kaidah asalnya. Seperti ب, ل, ج, menjadi جلبب.
5)      Ma’dul (معدول)
Fenomena ma’dul telah masyhur pada bahasa Arab. Wazan kata terdapat dalam tasrif, namun ia tidak bisa ditasrif. Seperti kata عمر.
d.      Majaz (مجاز)
Seperti yang kita kenal bahwa majaz merupakan kajian Ilmu Balaghah. Pertanyaannya, kenapa terdapat dalam objek kajian Fiqh Lughah? Jawabannya adalah karena majaz berhubungan dengan lafaz dan kaitannya dengan penerapan bahasa.
Menurut Ali Abd al-Wahid Wafi dalam bukunya ilm al-Lughah  mengatkan bahwa lapangan pembahasan ilmu bahasa itu meliputi paling tidak tujuh hal sebagai berikut :[22]
  1. Pembahasan mengenai kemunculaan/asal bahasa manusia نشأة اللغة atau اصل اللغة atau (the origin of language/origine du langage).
  2. Pembahasan mengenai kelangsungan hidup bahasa  atau dikenal dengan istilah حياة اللغة atau (the life of language/ vie du langage)
  3. Pembahsan bunyi bahasa علم الاصوات atau phonetic
  4. Pembahasan mengenai makna atau meaning علم الدلالة \علم معنى atau yang dikenal juga dengan sebutan ilmu semantic. Pembahasan tentang makna ini terkait dengan beberapa pembahasan seperti :
a.      Pembahasan mengenai makna kata (al-kalimat) atau lexicology atau dalam bahasa arab disebut ilmu al-mufradat
b.     Pembahasan mengenai derivasi dan infleksi kata (اشتقاق الكلمات وتصريفها) atau juga dikenal dengan morfologi dan di dalam bahasa arab disebut علم البنية
c.      Pembahasan mengenai pembagian kata (seperti pembagiannya dalam isim, fiil dan huruf dan seterusnya dalam bahsa arab) serta fungsinya dalam makna. Ilmu ini dikenal dengan syntaxe atau  atau علم التنظيم, gabungan dari dua ilmu ini yakni علم البنية dan علم التنظيم inilah yang dikenal dengan sebutan grammer (al-Qawaid).
d.     Pembahasan mengenai gaya bahasa dan perbedaan-perbedaannya seperti gaya bahasa syair, bahasa prosa, bahasa monolog, bahasa dialog, bahasa drama dan lain sebagainya. Ilmu ini dikenal dengan sebutan ilmu stylik dalam bahasa arab  disebut dengan علم الاسلوب .
  1. Pembahasan mengenai asal kata dalam satu bahasa tertentu. Ilmu ini dikenal dengan sebutan etymologi atau اصول الكلمات
  2. Pembahasan mengenai kemasyarakatan yang menjelaskan hubungan bahasa dengan kehidupan social masyarakat serta pengaruh masyarakat, peradabannya, sistem-sistemnya, sejarahnya, lingkungannya, geografinya, dan sebagainya di dalam fenomena kebahasaan. Ilmu ini disebut dengan Sosio- linguistic (علم الاجتماع اللغوى)
  3. Pembahasan mengenai kejiwaan yang mengkaji kaitan antara fenomena bahasa dengan fenomena kejiwaan. Ilmu ini dikenal dengan sebutan psycho-linguistik (علم النفس اللغوى).
Nampaknya di dalam kitab-kitab fiqh al-lughah objek yang dikaji tidaklah sama persis. Namun kita bisa bisa mengatakan bahwa inti dari objek-objek yang dikaji dalam fiqh al-lughah adalah bahasa.  Dan pengkajian bahasa dalam fiqh al-lughah lebih luas dibanding dengan ilm al-lughah. Ini bisa kita lihat dari Kitab Ibnu Faris dan  Tsa’labi yang analisisnya mengacu pada masalah kata-kata Arab. Maka objek fiqh al-lughah menurut mereka berdua adalah identifikasi kata-kata Arab dan makna-maknanya, klasifikasi kata-kata ini dalam topik-topik, dan kajian-kajian yang berkaitan dengan hal itu.
Melihat dari berbagai sumber yang dikaji, penulis bisa memetakan bahwa ruang lingkup dalam fiqh al-lughah adalah apa-apa yang ada dibalik bahasa, segala aspek budaya dan sastra (struktur internal dan eksternal bahasa), atau dapat dikatakan bahwa yang kita pelajari adalah apa-apa yang menjadi tulang rusuk dan otak suatu bahasa. Diantaranya kosa kata, perubahan makna, perbandingan bahasa arab dengan bahasa yang serumpun, perbedaan dialek-dialek arab, bunyi-bunyi pengucapan bahasa Arab dll.

D.    Perkembangan Fiqh Lughah dan Ciri setiap Fasenya
Terminologi Fiqh Lughah telah melalui beberapa fase sampai akhirnya menjadi satu nama bidang kajian keilmuan tersendiri, dengan masalah dan pembahasannya sendiri, terpisah dari ilmu-ilmu Bahasa Arab lainnya. Jika melihat berbagai kajian dan buku yang pernah ditulis mengenai tema ini, maka dapat kita katakan bahwa pembahasan Fiqh Lughah telah melalui tiga fase perkembangan :
1.         Fase pertama dikenal dengan “Marhalah al-‘Adam” masa tiada, dimana belum, atau tidak ditemukannya istilah ini tetapi yang ada adalah berbagai tema kajian yang dikenal. Fase ini diketahui ketika para ulama mengkaji Bahasa Arab kemudian mereka menemukan berbagai fenomena kebahasaan. Salah satu hasil fundamental  yang mereka temukan adalah tema-tema kajian mengenai Fiqh Lughah ni seperti, isytiqoq, al-Tadhod, dan lain-lain. Beberapa buku kemudian ditulis mengenai tema isytiqoq, diantaranya : buku “al-Isytiqoq” oleh Ibnu Duraid, “Isytiqoq al-Asmaa’” oleh al-Ashma’i, dan “Ishlah al-Manthiq” oleh Ibnu al-Sakiit.
2.         Fase kedua dikenal dengan “Marhalah al-Imtizaaj”. Maksudnya adalah fase dimana tema kajian ini bercampur aduk dengan tema-tema lain dalam kajian Bahasa Arab, seperti Balaghoh, Nahwu, Shorf, dan lainnya. Hal ini sangat jelas sebagaimana diungkapkan Ibnu Jinni dalam karya agung beliau: “al-Khashaaish”. Dalam buku tersebut beliau banyak berbicara mengenai tema-tema kajian Fiqh Lughah seperti Isytiqoq, Dilalah, dan sebagainya. Selain itu terdapat pula bahasan mengenai Majaaz, Tasybiih, dan tema ilmu Balaqhoh lainnya disamping ilmu Nahwu dan Sharf.
Bisa dikatakan bahwa Ibnu Jinni, dalam bukunya tersebut telah meringkas apa yang oleh para ulama dahulu bicarakan, dan beliau menambahkan hasil kajian dan renungan matangnya sendiri. Hal itu menambah kejelasan batasan-batasan, dan mengungkap hakikatnya.
3.         Fase ketiga yang dikenal dengan “Marhalah al-Istiqlal”, masa kemandirian.
Masa ini muncul pada abad IV dan V H, dimana tema-tema, atau masalah-masalah Fiqh Lughah disusun dalam satu buku dan diberi nama dengan Fiqh Lughah. Hal ini nampak jelas dari semua buku dengan tema ini, yang ditulis pada dua abad ini. Contoh paling jelas seperti buku الصاحبي في فقه اللغة وسنن العرب في كلامها karya Ibnu Faris (w.395H.), dan buku فقه اللغة وأسرار العربية karya Abu Mansur al-Tsa’alibi (w.429).
Setelah itu bermunculan buku-buku yang memiliki urgensi khusus, menjelaskan, merinci, menafsirkan tema-tema sebelumnya menjadi lebih jelas, dan hal-hal lain yang memiliki korelasi dengan disiplin ilmu ini. Referensi terpenting dapat dilihat dalam beberapa buku seperti المزهر في علوم اللغة وأنواعها oleh al-Al-Suyuthi, “شرح مايقع فيه التصحيف والتحريف”karya Abu Ahmad Hasal al-Askari, “الفروق اللغوية” oleh Abu Hilal al-Askari, dan “مبادئ اللغة” oleh al-Iskafi (w. Abad IV H.)
Para penulis modern pun telah banyak menyusun karya yang penting mengenai tema ini, meski banyak merujuk kepada buku-buku yang dikarang sebelumnya. Sebagai contoh, “خصائص العربية” oleh Hefni Nashif, “عوامل تنمية اللغة العربية” oleh Dr. Taufik Muhammad Syahin, dan “فقه اللغة وعلم الغة” oleh Dr. Ali Abdul Wahid Wafi.[23]

E.    Manfaat Fiqh Lughah
Dalam kitab fiqh al-lughah al arabiyah karya Uril Bahrudin (UIN Malang) tertuliskan bahwa tidak ada keragu-raguan untuk mempelajari fiqh al-lughah. Karena dengan mempelajarinya kita bisa:
a.     Mengetahui sejarah bahasa Arab
b.     Mengetahui pengucapan bahasa Arab dengan benar
c.      Memaksimalkan kemajuan bahasa Arab serta kebanggaannya
 d.        Mempermudah kita dalam mengkaji ilmu-ilmu pengetahuan lain, karena fiqh al-     lughah merupakan jembatan bagi ilmu lain
e.      Mengisi kebutuhan serta mengikuti perkembangan.[24]
Manfa’at  lain dari mempelajari fiqh al-lughah bisa mempermudah kita dalam mempelajari bahasa Arab karena kajian dalam fiqh lughah adalah bahasa Arab, yang tidak lain kita tujukan pada pemahaman bahasa al- Qur’an. Yang dengan itu kita bisa memahami bahasa al-Qur’an dengan berbagai versi dialeknya serta parole  al- Qur’an. Karena seperti telah kita ketahui bahwa sumber segala ilmu pengetahuan berasal dari al-Qur’an.







PENUTUP
  1. KESIMPULAN
1.     Istilah fiqh lughah setelah masa al-Tsa’alibi, tidak lagi digunakan oleh para ulama dalam kajian-kajian kebahasaan sebagaimana para pendahulunya, seperti Ibn Faris dan al-Tsa’alibi, akan tetapi model-model kajian mereka lebih lebih mengerucut dan fokus kepada spesifikasi-spesifikasi tertentu yakni tentang tema-tema atau topik-topik khusus yang yang ada dalam medan fiqh lughah itu sendiri. Jadi setelah al-Tsa’alibi hampir-hampir istilah fiqh lughah itu tenggelam dan tidak pernah muncul lagi dalam karya-karya para ulama selama sekian abad. Pada abad modern istilah ini muncul lagi dalam khazanah kajian kebahasaan di kalangan Arab,yakni sekitar abad ke-20, yang dipopulerkan oleh Ali Abd al- Wahid Wafi dengan menulis buku yang berjudul Fiqh al-Lughah.
2.      Ilmu al-lughah mengakaji bukan saja bahasa Arab, tetapi juga bahasa lain (ini yang disebut linguistik umum). Sedangkan fiqh al-lughah hanya mengakaji bahasa Arab. Oleh sebab itu, di antara para linguis Arab ada yang mengatakan bahwa fiqh lugah adalah ilmu al-lughah al-arabiyyah (linguistik bahasa Arab)Term Fiqh al-Lughah sekarang ini digunakan untuk menamakan sebuah ilmu yang berusaha untuk mengungkap karakteristik bahasa Arab, mengetahui kaidah-kaidahnya, perkembangannya, serta berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa ini baik secara diakronis maupun sinkronis
3.     Ruang lingkup dalam fiqh al-lughah adalah apa-apa yang ada dibalik bahasa, segala aspek budaya dan sastra (struktur internal dan eksternal bahasa), atau dapat dikatakan bahwa yang kita pelajari adalah apa-apa yang menjadi tulang rusuk dan otak suatu bahasa. Diantaranya kosa kata, perubahan makna, perbandingan bahasa arab dengan bahasa yang serumpun, perbedaan dialek-dialek arab, bunyi-bunyi pengucapan bahasa Arab dll.
4.     Fiqh Lughah telah melalui tiga fase perkembangan,yaitu Marhalah al-‘Adam, Marhalah al-Imtizaaj dan Marhalah al-Istiqlal.
5.     Manfa’at dari mempelajari fiqh al-lughah bisa mempermudah kita dalam mempelajari bahasa Arab karena kajian dalam fiqh lughah adalah bahasa Arab, yang tidak lain kita tujukan pada pemahaman bahasa al- Qur’an. Yang dengan itu kita bisa memahami bahasa al-Qur’an dengan berbagai versi dialeknya serta parole  al- Qur’an. Karena seperti telah kita ketahui bahwa sumber segala ilmu pengetahuan berasal dari al-Qur’an
  1. SARAN
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, baik dari segi referensi maupun dari penulisannya. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan masukan dari pembaca berupa masukan, kritik dan saran demi kesempurnaan dimasa mendatang. Mudah-mudahan makalah yang sederhana ini bisa menambah khazanah keilmuan pada kajian fiqh lughah, terutama bagi penulis sendiri.



[1] Muhammad Husain Ali Yasin,al- Dirasat al-Lughawiyah ‘Inda al-arab Ila Nihayah al-Qarn al-Tsalis, (Beirut :  Mansyurat Dar-Maktabah al-Hayat, 1980), h. 78
[2] Abduh Rajihi, Fiqh al- Lughah fi al-Kutub al-Arabiyah, (Beirut : Dar al- Nahdah al-Arabiyah, 1979), h. 37
[3] Mahmud Fahmi Hijazi, Ilmu al-Lughah al-Arabiyah : Madkhal Tarikhi Muqoran fi Dhaw al- Turast wa al-lughat al-Samiyah, (Kairo : Dar Gharib li al-Thiba’I wa al-Naysr wa al-Tawzi, tt), h. 65
[4] Muhammad Husain Ali Yasin. Op.cit,h. 22
[5] Abu Mansur al-Tsa’alibi, Fiqh Lughah wa Sirr al-Arabiyah, (Beirut : Syirkah Dar al- Arqam, 1999),
[6] Mahmud Fahmi Hijazi, op.cit, h.66
[7] Ibn Manzhur, Lisan, al-Arab,(Beirut : Dar al-Shadr, t.th, ), cet I, Juz 13, h. 522
[8] Kitab Shahih al-Bukhari, juz I, h. 39 no. hadis 71
[9] Al-Qur’an dan Terjemahannya,  (Bandung : Diponegoro, 2006), h. 164
[10] Ibn Faris, al-Shahibi fi Fiqh al-Lughah wa Sunan al-arabiyah fi Kalamiha, (Beirut : Muassah Budran, 1964),h. 42
[11] Amil Badi’ Ya’kub,  Fiqh al-Lughah al-Arabiyah Wa Khasaisuha, (Beirut : Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, 1982), h. 40
[12] Ramadhan Abd al-Tawwab, Fushul Fi Fiqh al-Arabiyah,(Kairo : Maktabah al-Khaniji, 1979), h. 9
[13] Amil Badi’ Ya’kub, op.cit,h. 40
[14] Abu Fath ‘Usman Ibn Jinni, al-Khasaish, ( Kairo : al-Mathba’ah al- Hilal, 1913), h. 40, 96,109, 215,200,357, 374
[15] Muhammad Husain Ali Yasin. Op.cit,h. 430
[16] Ali Abd al-Wahid Wafi, Fiqh al-Lughah,(Kairo : Dar al-Nahdah Mishr li Thab’i wa al-Nasyr, 1945), h. 4
[17] Tammam Hassan,  al-Ushul : Dirasah Epistimulijiyah li al-Fikr al-Lughawi ‘Inda al-Arab,( Kairo : al-Hai’at al-Mishriyyah al-Ammah li al-Kitab, 1982), h. 276
[18] Dayudin, blog. Fiqh Lughah Versus Ilmu Lughah, pada 27 April, 2010
[19] Zulkifli, blog. Linguistik Arab, pada 29 Maret 2010
[20] Tamam Hasan,op.cit,h. 248
[21] Muhammad bin Ibrahim Alhamd. Fiqh Lughah. (Riyadh: Dar Ibn Khuzaimah, 2005) h.187
[22] Ali Abd al-Wahid Wafi, op.cit,h. 6-13
[23] Nelly Mujahidah, Kumpulan Materi Ajar Fiqh Lughah, (Pontianak : STAIN Pontianak Press, 2011), h.79
[24] Uril Bahruddin, fiqh al-lughoh al arabiyah,(Malang: UIN-Malang Press), h. 40

Komentar

Postingan Populer